SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Y. Bayu Widagdo bayu.widagdo@bisnis.co.id Wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia

Y. Bayu Widagdo
bayu.widagdo@bisnis.co.id
Wakil Pemimpin Redaksi
Bisnis Indonesia

Sekali lagi, ini soal Joko Widodo alias Jokowi. Bukan masalah latah atau karena saya salah satu penggemar Gubernur DKI Jakarta yang nyleneh ini. Ini hanya masalah momentum.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Kebetulan enam hari lalu bertepatan dengan satu tahun Jokowi resmi menjabat Gubernur DKI Jakarta. Tidak ada perayaan berlebihan pada hari itu. Hanya ada pertemuan antara sang gubernur dan wakilnya, Basuki T. Purnama alias Ahok, dengan ratusan warga yang berkumpul di Taman Monumen Nasional (Monas).

Melalui sebuah stasiun televisi yang menayangkan secara langsung, kita bisa melihat warga DKI Jakarta menanyakan aneka hal, menyalurkan unek-unek mereka kepada para pemimpin di DKI Jakarta itu.

“Saya ingin membuat pertanggungjawaban kepada pemegang saham yaitu warga DKI. Masyarakat bisa memberikan evaluasi apa saja yang telah kami kerjakan,” kata Jokowi, Jumat malam itu.

Lewat  acara nyleneh itu—apa ada pejabat lain yang ulang tahun kepemimpinannya dirayakan dengan lesehan bersama rakyat?–sekali lagi Jokowi-Ahok memberikan contoh bagaimana para pemimpin seharusnya bertindak melayani masyarakat.

Sepak terjang kedua pemimpin DKI Jakarta itu selama setahun pertama memerintah memberikan harapan bagi warga DKI bahwa Jakarta baru yang lebih baik bisa diciptakan.

Hal ini berbeda sekali dengan gubernur di provinsi sebelah yang sedang menjadi bulan-bulanan di media massa dan media sosial karena ternyata memanfaatkan kekuasaannya untuk memupuk kekayaan setinggi langit, sementara warga yang dipimpinnya justru masih banyak yang menderita.

Memang belum semua persoalan di Jakarta terurai dengan baik. Namun, setidaknya aneka terobosan yang dilakukan Jokowi-Ahok mampu memberikan semangat baru bagi warga Jakarta. Bahkan, karena berbagai langkah positif itu, banyak orang dari provinsi lain mengidolakan kedua pemimpin itu bisa menjadi pemimpin negara ini pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.

Harus diakui, di tengah minimnya stok pemimpin yang mau bekerja untuk rakyat, penampilan Jokowi-Ahok ibarat oase di tengah gurun pasir yang panas. Tidak aneh bila mereka pun digadang-gadang bisa berkuasa di posisi yang lebih tinggi.

Terus terang, saya termasuk dalam kalangan yang berharap keduanya bisa ikut kontes pemilihan presiden mendatang. Paling tidak mereka berdua bukan tipe pemimpin seperti gubernur provinsi sebelah yang mengabaikan pembangunan jembatan di wilayahnya sendiri.

Juga bukan seperti para pemimpin lain yang susah didekati rakyat kecil kala sudah menjabat. Namun ada satu alasan lain kenapa Jokowi perlu menjadi presiden tahun depan. Sepengetahuan saya, mantan Wali Kota Solo ini belum punya rumah di Jakarta, atau di daerah sekitarnya, di kawasan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Apa urusannya? Karena tidak punya rumah di Jabodetabek itu, bila Jokowi terpilih jadi presiden, harus dipastikan dia tinggal di Istana Negara, baik sebagai kediaman sehari-hari maupun sebagai tempat kerja.

Selama bertugas sebagai Gubernur DKI Jakarta, salah satu prioritas Jokowi adalah mengatasi kemacetan lalu-lintas. “Tahun 2014, saya fokus ke transportasi, masalah kemacetan di Jakarta masih menjadi prioritas,” kata dia pekan lalu.

Persoalannya–suka tidak suka–salah satu penyebab kemacetan lalu lintas di Jakarta adalah pergerakan rombongan kepresidenan yang sering berlalu-lalang. Setiap kali berjalan, konvoi kendaraan kepresidenan terdiri dari 12-15 unit kendaraan roda empat dan 4-6 unit sepeda motor besar.

Kebetulan saya tinggal di dekat Puri Cikeas, tempat tinggal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tempat ini berjarak sekitar 30 kilometer dari Istana Negara, kantor presiden.

Ada enaknya tinggal dekat rumah presiden. Kondisi jalan dari arah Puri Cikeas ke utara menuju Jakarta selalu mulus. Bahkan, sejak beberapa tahun lalu, jallan beraspal menuju Tol Jagorawi diperlebar menjadi tiga lajur. Kondisi sebaliknya, ke arah selatan Cikeas, jalan beraspalnya berlubang-lubang dan sempit.

Kalau saya berangkat kantor pagi hari, hampir selalu berjumpa dengan konvoi presiden itu. Bila lewat lima menit sebelum konvoi muncul, jalan cukup nyaman dilewati karena petugas yang berdiri setiap 200 meter berusaha menggiring kendaraan lain cepat menyingkir supaya konvoi presiden dapat bebas melaju.

 

Runyam

Namun, bila kurang dari lima menit sebelum presiden lewat, ini yang repot karena semua kendaraan terpaksa dihentikan. Sekali dihentikan, buntut kemacetan panjang. Terlebih bila penghentian arus lalu lintas dilakukan di jalan tol kala jam sibuk. Bila rombongan ini lewat, jangan coba-coba tidak berhenti. Bakal runyam urusannya.

Jadi Anda bisa membayangkan kerepotan selama hampir 10 tahun ini kala konvoi presiden selalu menempuh jarak 60 kilometer pergi pulang dari rumah ke Istana Negara setiap hari. Para pembayar pajak harus mengalah, menghentikan laju kendaraan mereka, supaya presiden bisa lewat terlebih dahulu.

Belum lagi bila bicara soal efisiensi. Kendaraan konvoi presiden jelas terdiri dari mobil dengan ukuran mesin besar, yang lahap minum bahan bakar minyak (BBM). Asumsinya mobil seperti itu paling bagus menjangkau delapan kilometer untuk setiap liter BBM.

Artinya, sehari dibutuhkan paling tidak 120 liter BBM untuk 15 kendaraan pergi pulang Puri Cikeas-Jakarta. Sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.1/2013, rombongan mobil presiden itu tentunya menggunakan Pertamax.



Jadi, dengan asumsi harga Pertamax Rp9.500/liter, dibutuhkan anggaran BBM sekitar Rp1,14 juta per hari atau Rp400-an juta per tahun. Kelihatannya kecil. Namun harap diingat, itu hanya anggaran untuk BBM, belum biaya pemeliharaan kendaraan.

Belum lagi bila dihitung biaya untuk pengamanan yang lain. Juga belum biaya BBM yang dibuang masyarakat yang terpaksa menghentikan kendaraannya karena konvoi RI-1 lewat.

Jadi, dari segi efisiensi biaya serta kenyamanan bagi warga masyarakat, alangkah indahnya bila Presiden RI mendatang tinggal di Istana Negara. Tidak ada lagi keribetan masyarakat Jakarta harus menghentikan kendaraan.

Dulu saat baru terpilih menjadi presiden pada 2004, Presiden SBY memang pernah menyatakan akan tinggal di Istana. ”Saya akan tinggal di Istana. Pertimbangannya demi efisiensi. Yang lebih utama, tidak akan bikin macet jalan, kalau saya lewat,” kata Presiden SBY kala itu.

Namun, ternyata presiden kita ini tidak betah tinggal lama di Istana Negara dan akhirnya kembali tinggal di Puri Cikeas. Cerita yang saya dengar, Istana Negara yang dibangun pada 1848 oleh pemerintah kolonial Belanda ini konon memiliki penghuni dari dunia lain, dan katanya sering kali mengganggu sehingga membuat tidak betah.

Selama Indonesia merdeka, hanya Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid yang tinggal lama di Istana Negara. Bisa jadi mereka berdua cukup sakti menghadapi penghuni dunia lain itu atau paham bagaimana hidup berdampingan secara damai dengan mahluk lain.

Jadi, apakah Jokowi nanti juga akan tinggal di Istana Negara bila jadi presiden? Itu yang harus kita dorong. Sebagai pengusaha yang selalu berpikir efisien, tentunya tinggal di Istana Negara harus dipilih karena akan menghemat anggaran.

Dia belum punya rumah di Jakarta, kalau jadi presiden ya harus tinggal di Istana Negara sebagai rumah dinas. Jangan dibuatkan rumah dinas baru. Bagaimana dengan penghuni lain di Istana Negara?

Dengan pengalaman keberhasilan memindahkan pedagang kaki lima di Solo maupun pasar Tanah Abang serta penghuni liar di Waduk Pluit tanpa konflik, bisa jadi Jokowi juga bisa memindahkan penghuni Istana Negara yang suka iseng dengan sukses.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya