SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini ditulis Ketua Dewan Redaksi Solopos Ahmad Djauhar.

Solopos.com, SOLO — Perasaan kesal dan sedih semestinya melanda anak bangsa ini yang waras dan sadar hukum ketika menyaksikan betapa sikap sejumlah pemimpin nasional seakan-akan kehilangan–atau bahkan tidak memiliki–etika dalam menyikapi persoalan yang melanda diri dan kelompoknya.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Betapa tidak. Kita menyaksikan bagaimana salah seorang pemimpin bangsa yang tetap merasa tidak bersalah ketika perilakunya yang tidak terpuji itu terpapar sedemikian rupa sehingga membuat melek hampir setiap orang di negeri ini.

Skandal pencatutan nama presiden dan wakil presiden oleh Setya Novanto, Ketua DPR, dalam rangka memperoleh saham PT Freeport Indonesia menunjukkan betapa etika tidak lagi menjadi landasan moral.

Ekspedisi Mudik 2024

Begitu terkuak skandal tersebut, seharusnya yang bersangkutan bersikap ksatria dan memiliki etika luhur, yakni dengan tindakan satu-satunya yang harus dia lakukan adalah mundur dari posisinya sebagai Ketua DPR, bukan malah menjadikan jabatan tersebut sebagai alat tawar politik.

Tidak sekali ini perilaku negatif tokoh tersebut mengemuka. Sebelumnya, figur yang seharusnya menjadi panutan tersebut terlibat berbagai perbuatan yang dalam ukuran orang waras sebenarnya tidak pantas dilakukan.

Kelicinannya yang melebih belut dan rimbunnya perlindungan politik dari partai tempat dirinya bernaung menjadikan berbagai upaya untuk memprosesnya secara hukum selalu layu sebelum berkembang.

Dari berbagai bukti terkini, seharusnya figur seperti dia sangat tidak pantas menjadi orang nomor satu di lingkungan lembaga yang sangat terhormat itu. Sebuah lembaga yang seharusnya menghasilkan berbagai produk aturan untuk meningkatkan kemaslahatan rakyat dan atau ikut memikirkan bagaimana kepentingan rakyat banyak dibahas dan diperjuangkan.

Lembaga terhormat itu kini tampak sebagai panggung dagelan murahan yang tidak lucu, padahal untuk membiayai panggung tersebut tidak murah. Keringat, darah, dan bahkan nyawa rakyat terbayarkan karenanya.

Berdasarkan catatan, produktivitas lembaga tersebut di bidang peraturan perundang-undangan nyaris tidak ada karena yang lebih mengemuka adalah pembicaraan politik dan politik semata. Berbagai kegiatan pembahasan undang-undang hampir mandek karena berbagai alasan.

Untuk urusan yang berkaitan dengan kepentingan langsung para wakil rakyat itu, mereka sedemikian getol membahasnya. Rencana pembangunan gedung baru, program studi banding ke berbagai negara, serta dana aspirasi memperoleh porsi perhatian dna pembahasan terbesar, sedangkan penyelesaian sejumlah produk legislasi sering kali terabaikan.

 

Kredibilitas Pemimpin
Mau tidak mau, tudingan atas berbagai ketidakberesan di bidang legislasi ini berkaitan dengan kredibillitas pemimpin lembaga tersebut, yang dalam waktu setahun lebih banyak didera persoalan ketimbang menyelesaikan persoalan yang seharusnya mereka atasi.

Hal yang teramat menyesakkan dada adalah sikap kolega atau teman-teman dekat sang ketua yang tampak membelanya habis-habisan. Mereka malah mempersoalkan berbagai hal tidak substansial yang justru menampakkan kekonyolan dan, maaf, kedunguan mereka.

Dari wacana yang mereka lontarkan sebagai serangan balik guna membela sang sahabat, tampak sekali gambaran sangat nyata bahwa mereka ini benar-benar berkomplot atau bisa jadi diterjemahkan sebagai pemufakatan jahat.

Tujuannya tentu saja tidak lain dan tak bukan untuk melanggengkan kekuasaan yang mereka miliki saat ini agar tidak sampai terkikis, yang jika benar-benar terjadi pada gilirannya juga akan menggusur mereka dari kursi kekuasaan.

Demi kekuasaan pula, mereka tidak segan-segan bersilat lidah, memutarbalikkan berbagai fakta, sehingga terkesan bahwa pihak yang benar justru menjadi salah dan batas-batas kebenaran moral pun terkoyak dibuatnya.

Ini sungguh merupakan sebuah tahapan memilukan dari perilaku politik para pemimpin di negeri ini, khususnya mereka yang kini mengemban amanah sebagai penyambung suara rakyat.

Masyarakat yang secara mayoritas masih menjunjung tinggi nilai moral menjadi ragu-ragu, terlebih mereka yang selama ini menjagokan mereka sebagai wakil rakyat terhormat itu. Hal itu tecermin dari sikap mereka di berbagai media sosial yang sering mengekspresikan pendapat dengan nada mengambang dan tidak yakin akan kebenarannya.

Pepatah mengatakan ”guru kencing  berdiri, murid kencing berlari” atau ada pula yang mengatakan ”guru kencing berdiri, murid mengencingi guru”. Artinya jelas bin gamblang, yakni pemimpin adalah teladan.

Kalau para pemimpin menunjukkan ketidakpedulian terhadap aturan alias tidak menjunjung etika, jangan berharap mereka yang dipimpin juga akan beretika. Lihat saja perilaku sebagian (besar) masyarakat kita yang semakin permisif terhadap berbagai pelanggaran aturan atau bahkan hukum.

Mau contoh paling konkret? Lihatlah sikap sebagian masyarakat kita dalam berlalu lintas, lebih khusus pengendara sepeda motor yang boleh dikatakan tidak mengindahkan etika lagi.

Sudah jelas arus lalu lintas di ruas jalan tersebut seharusnya dari titik A ke B, misalnya, tapi bagi para pengendara sepeda motor tunaetika, mereka nekat berkendara dari titik B ke A dengan cara melipir di bagian jalan paling kiri.

Atau, bagi pengendara yang cenderung tidak waras, mereka sengaja melawan arus dengan melalui trotoar yang jelas-jelas berfungsi sebagai jalur pedestrian alias jalur para pejalan kaki.



Ini fenomena yang tampaknya sudah merata di berbagai kawasan di negeri ini, baik di Jakarta maupun di berbagai kota lain  di negeri ini. Tidak jarang petugas berseragam yang seharusnya menertibkan  pelanggaran lalu lintas justru ikut-ikutan melanggar.

Hal ini terjadi karena itu tadi, nilai-nilai kebenaran tidak lagi mutlak dipercayai, melainkan apa yang dipraktikkan oleh banyak orang dianggap sebagai kebenaran baru.

Selagi perilaku para pemimpin bangsa masih suka plintat-plintut atau bahkan melakukan pengingkaran dan hipokrisi, sampai kapan pun akan sulit untuk membangun masyarakat yang taat pada hukum dan peraturan.

Kembali lagi, pemimpin seharusnya memberikan teladan tentang kebenaran agar rakyat juga menaati law and order. Bukankah Rasulullah Muhammad SAW telah berpesan: katakanlah yang benar, meskipun pahit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya