SOLOPOS.COM - Pemimpin Redaksi Solopos, Suwarmin (JIBI/dok)

Suwarmin suwarmin@solopos.co.id Wartawan Solopos

Suwarmin
suwarmin@solopos.co.id
Wartawan Solopos

Orang Jawa selalu punya cerita panjang jika berbicara tentang pulung. Sebutan pulung ini mengacu tentang keberuntungan yang diterima oleh seseorang, menyangkut kedudukan, kekuasaan, derajat kepemimpinan, dan yang serupa dengan itu.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Sebutan lain yang senada adalah kewahyon atau wahyu.
Dia, si pulung itu, lebih sebagai given atau pemberian. Betapa pun usaha si manusia, jika tidak ada pemberian dari Yang Maha Esa, pulung tak akan singgah pada dirinya.

Karena pemberian, maka pulung tidak bisa dimereni. Atau dengan kata lain, kita tak perlu merasa iri jika seseorang dimudahkan menjadi sosok pejabat, sementara orang yang kelihatannya berpeluang, punya balungan pejabat, punya bobot dan bibit pejabat, tapi ternyata tak mampu meraih derajat pejabat.

Orang jaman dulu berburu pulung melalui olah mesu raga, menjalani tapa brata, tetirah, bertarung dengan mencari kedirian di tempat-tempat keramat. Biasanya, hal itu dilakukan setelah melewati beberapa tahapan perbuatan atau laku.

Setelah agama masuk dalam ranah kebudayaan Jawa, sejumlah laku itu diperkaya. Misalnya melalui puasa sunah, dan sebagainya. Dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilu legislatif 9 April 2014, semakin meriah pula tingkah polah para pemburu pulung pejabat bernama anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) atau dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD).

Satu-dua calon anggota legislatif (caleg) nekat kungkum atau berendam di tempuran (pertemuan dua anak sungai). Siapa tahu dengan begitu dia mendapatkan kekuatan pikir, ketenangan jiwa, dan sebagainya. Namun, mesti hati-hati. Selain serangan dingin yang akut, juga bisa-bisa gagal jadi caleg karena kaki digigit ular.

Cobalah melintasi jalan-jalan kampung di berbagai daerah. Saat melintasi Sukoharjo dan Klaten pada Sabtu dan Minggu (8-9/3), di antara jalan-jalan antarpedesaan yang rusak, bergelombang, dan penuh genangan air, wajah-wajah caleg bertebaran di pinggir jalan.

Tua-muda, pria-wanita, mengikuti kontes wajah di pinggir jalan, adu senyum, adu ganteng, adu cantik. Sebagian besar tersenyum manis. Sebagian besar memasang wajah, gambar partai, dan nomor urut. Namun, ada pula yang sekadar memasang kata-kata tertentu.

Entahlah, sudah berapa duit dibuang di jalanan dalam bentuk gambar-gambar, bendera, spanduk, dan lain-lain. Sayangnya ketika saya bertanya kepada beberapa warga, gairah memilih dalam pemilu itu nyaris tak terlihat.

”Caleg di sini siapa yang ramai, Mas?” tanya saya kepada seorang kerabat.

”Walah, sepi-sepi saja. Ndak seperti dulu, posko-posko ramai. Sekarang sepi,” kata dia. Dia lantas menyebut hanya partai anu yang terlihat terkoordinasi agak rapi, karena ada dukungan logistik yang memadai.

”Mungkin yang bersemangat hanya para caleg, itu pun tidak semua caleg bekerja keras, dan orang-orang yang mendapat duit dari para caleg. Misalnya, para kader dan tim sukses, pengusaha yang punya kaitannya dengan bisnis pemilu ini,” kata dia sembari terkekeh. ”Minggu sore saya harus ke Jakarta, golek pangan, ndak tahu nanti bisa nyoblos atau ndak.”

Kadang saya berpikir, melihat begitu indah dan mulianya janji-janji para caleg, alangkah baiknya jika tidak sekadar diwujudkan dalam kehidupan masyarakat. Bukan hanya sekadar memasang gambar beberapa bulan sebelum pemilu digelar.

Jika sejak dua atau tiga tahun lalu seorang calon caleg sudah memasuki kehidupan warga, dengan menyediakan tim pelayan warga untuk membantu semua keluh kesah warga, mulai dari hasil panen yang kurang berhasil, sulitnya mencari modal usaha dan sebagainya, niscaya namanya telah cukup harum.

Namanya sudah matang untuk dipanggungkan pada hari pemilihan. Betapa akan senangnya masyarakat kita melihat begitu banyak ”malaikat” berseliweran di sekitar mereka, menawarkan semua bantuan yang mungkin dilakukan. Rakyat terbantu, diberdayakan.

Tetapi, logika itu saya sanggah sendiri. Logika bertarung di ajang pemilu saat ini bukan seperti itu. Mulai dari kemenangan yang ditentukan oleh suara terbanyak, maka siapa pun bisa menjadi caleg dari partai apa pun, tak peduli dengan latar belakangnya.

 

Lupakan Idelologi

Lupakan tentang ideologi, karena sejatinya hal itu tinggal tertera di lembar platform partai, tak hidup dalam nurani kebanyakan caleg. Logika pemilu ini mengarah pada hubungan politik yang transaksional antara partai dengan caleg dan antara caleg dengan para pemilih.

Jadi, saya tidak heran ketika mendengar seorang calon anggota DPR memilih tetap beraktivitas di Jakarta, hanya sesekali memerlukan turun ke daerah Solo dan sekitarnaya. Dia sangat percaya pendekatan fulus atau uang yang tepat akan mengantarnya menjadi wakil rakyat yang terhormat.

”Dia bilang, telah menjanjikan mobil Toyota Avanza untuk para lurah yang daerahnya mampu memenangkan dirinya. Dia sangat yakin menang,” jelas seorang kolega di Jakarta.

”Ah…., bukankah si lurah biasanya lebih dekat dengan partai sang bupati atau pejabat politik di daerah?” tanya saya.

”Jangan salah. Pejabat politik di daerah lebih mementingkan mengamankan perolehan kursi partai untuk mendukung posisinya di daerah. Di luar itu, mereka kurang peduli.”



Entahlah. Uang menjadi sarana paling mudah digunakan untuk mengantarkan si caleg ”membeli” pulung jabatan. Jangan terlaku berharap kita akan menemukan wakil rakyat yang produktif mewakili rakyat dalam situasi politik yang penuh transaksional seperti ini.

Namun, semoga saja alam masih menyediakan jalan bagi para caleg yang mempunyai kualitas dan perilaku baik, untuk mampu dan bisa memenangi pertarungan dalam pemilu.

”Kalau sampeyan menyebut saya sebagai orang baik, lalu eman-eman kalau saya ikut menjadi caleg dan bertarung di pemilu, apa sampeyan ingin semua wakil rakyat kelak hanya berisi orang-orang brengsek?” tanya seorang kenalan yang kebetulan jadi caleg.

Ya begitulah, makin ke sini saya juga makin pesimis masih adakah caleg yang mampu bertahan dalam ”kebaikannya” di tengah gempuran iklim transaksional.

Saya juga makin pesimis, pemilu akan bisa dimenangi oleh seseorang yang hanya sekadar bermodal orang baik dan orang pandai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya