SOLOPOS.COM - Suwarmin (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (21/9/2015), ditulis jurnalis Solopos Suwarmin.

Solopos.com, SOLO — Sebuah kisah kemanusiaan yang relatif tidak banyak mendapat sorotan masyarakat kita saat ini tengah berlangsung di Eropa.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ratusan ribu warga Timur Tengah, sebagian besar dari Suriah, Irak, dan Afganistan, melepaskan diri dari ikatan negeri leluhur mereka menuju tanah harapan: Eropa.

Mereka rela menyeberangi daratan dan lautan, meninggalkan negeri mereka yang dikoyak perang saudara. Mereka pergi demi mempertahankan hidup.

Sebuah pentas drama kolosal dipertontonkan di tengah panggung dunia. Ratusan ribu pengungsi disambut gembira dan hangat di Jerman dan sejumlah negara Eropa.

Tahun ini diperkirakan sekitar sejuta warga Timur Tengah mengungsi ke Benua Biru. Krisis yang tak ada tanda-tanda mereda di Suriah dan Irak membuat ratusan ribu warga kedua negara itu merasa tak punya jalan lain selain meninggalkan negeri mereka.

Kabur ke negeri jauh dianggap menjadi pilihan yang lebih baik. Jika bentrok antara milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) melawan pasukan dari berbagai negara tak segera berakhir, gelombang pengungsi yang lebih besar akan terjadi.

Perjalanan darat dan lautan, dalam panas dan dingin, hidup nomaden dalam rentang jarak ribuan kilometer, membuat tak sedikit pengungsi tumbang di perjalanan. Sebagian pengungsi kelaparan dan terlunta-lunta di Hungaria.

Sebagian ditemukan tak bernyawa di lautan, di pinggir pantai, bahkan di jalanan. Meski para pemimpin Eropa menyerukan bahwa menampung pengungsi yang melarikan diri dari perang adalah panggilan kemanusiaan, tidak semua orang Eropa senang dengan kedatangan mereka.

Sejumlah kelompok anti-imigran di Jerman membakar bangunan yang disediakan pemerintah untuk menampung mereka. Seperti dikutip media Jerman, DW, Kanselir Jerman Angela Merkel disambut demonstrasi kelompok ekstrem kanan ketika mengunjungi fasilitas penampungan pengungsi.

Akhir Agustus lalu, 71 jenazah pengungsi Timur Tengah ditemukan di salah satu ruas jalan tol di Austria. Dari 71 mayat itu, empat di antaramereka adalah anak-anak. Menurut catatan DW, para pengungsi yang tak bernyawa itu bertumpuk di dalam truk pengangkut barang yang ditinggal di tepi jalan, sekitar 50 kilometer sebelah tenggara ibu kota Austria, Wina.

Kisah tentang bocah balita Aylan Kurdi juga mengguncang dunia. Seperti dikutip detik.com, foto jenazah Aylan yang terdampar di Pantai Bodrum, Turki, memicu kemarahan dunia.

Aylan bersama kakaknya, Ghaleb, dan ibunya Rihana, tewas tenggelam saat keluarga ini hendak menyeberang ke Eropa melalui Laut Aegea, sebuah percabangan Laut Tengah yang sebagian besar termasuk wilayah Yunani.

Aylan, Ghaleb, dan Rihana akhirnya dikebumikan di Kobane, daerah asal mereka. Aylan yang baru berumur tiga tahun dan Ghaleb yang baru berusia empat tahun menjadi korban pertaruhan hidup yang dipilih orang tua mereka.

“Saya tidak menyalahkan siapa pun atas hal ini. Saya hanya bisa menyalahkan diri saya. Saya harus membayar harga atas pilihan saya, sepanjang sisa hidup saya,” tutur Abdullah, ayah Aylan.

Abdullah pasti menyadari perjalanan panjang yang dilakukannya bisa saja berakhir duka atau bahagia. Hal yang tidak diharapkan yang justru benar-benar terjadi.

Kisah Abdullah bak bumi dan langit dengan Osama Abdul Moseh, seorang warga Suriah yang melarikan diri ke Eropa. Sebagaimana diberitakan berbagai media, awalnya Osama sempat mencari suaka ke Hungaria.

Ketika melarikan diri dari kejaran aparat keamanan Hungaria, Osama dan dua putranya dijegal oleh seorang perempuan reporter. Foto saat Abdullah terjatuh yang beredar luas di berbagai media itu mengundang berkah bagi keluarga itu.

Canafe, sekolah sepak bola di Madrid, Spanyol, bersimpati kepada Osama. Pria yang pernah menjadi manajer klub divisi satu Suriah, Al Fotuwa, itu kemudian mendapat pekerjaan melatih di sekolah itu.

Osama dan anaknya bahkan diundang menyaksikan pertandingan Liga Primera antara klub raksasa Real Madrid melawan Granada.

“Rasanya seperti mimpi bisa berada di sini. Terima kasih Madrid dan terima kasih Spanyol,” ujar Osama yang ditemani anaknya, Zain, 7, dan Mohammad, 18, saat tiba di Madrid, Kamis (17/9). [Baca: Drama Kemanusiaan]

 

Drama Kemanusiaan
Sekelumit kisah di atas hanyalah kisah-kisah yang terungkap dari drama-drama kemanusiaan yang kebetulan muncul ke permukaan. Tentu masih banyak yang tersembunyi dari kisah perjalanan para pengungsi dari Timur Tengah menuju Eropa.

Sebagian besar negara Eropa, terutama Jerman, berbaik hati menampung mereka, meskipun ada ancaman dari pemimpin ISIS bahwa mereka telah menyelundupkan anggotanya berbaur bersama pengungsi ke Eropa.



Bukan tugas yang ringan bagi negara-negara Eropa dalam menangani banjir pengungsi kali ini. Barang kali inilah drama kemanusiaan terbesar di Eropa sejak era Perang Dunia II lebih dari 70 tahun silam.

Eropa yang stabil secara politik dan makmur secara ekonomi memungkinkan mereka membuka pintu lebih lebar untuk menampung ribuan pengungsi. Jerman yang mempunyai sejarah kemanusiaan kelam karena kekejaman Nazi terhadap bangsa Yahudi merasa mempunyai kesempatan untuk menulis lembaran kemanusiaan yang lebih indah.

Dalam beberapa tahun ke depan, Jerman dan sejumlah negara Eropa akan menerima dampak positif atau negatif dari langkah yang mereka lakukan saat ini. Bisa saja kawasan tempat tinggal imigran di Eropa kelak akan membebani mereka karena rawan kasus kriminal.

Di sisi lain, menerima ratusan ribu pengungsi juga bisa menjadi berkah bagi Eropa. Kondisi demografi Eropa yang tidak tumbuh, bahkan berkurang sangat cepat, bisa tertutupi dengan kedatangan para pengungsi.

Sebuah penelitian dari Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan imigran yang menetap di negara yang didatangi bisa berarti produktif bagi negara tersebut karena memberi kontribusi lewat pajak, pembayaran asuransi kesehatan, dan dana pensiun.

Lalu di mana kita? Ekonomi yang lesu, kemakmuran umum yang masih jauh dari harapan, membuat kita hanya bisa menjadi penonton, tak berdaya melihat kepedihan mereka.

Jangankan ratusan ribu pengungsi dari Timur Tengah, sedangkan menampung 964 pengungsi etnis Rohingnya asal Myanmar pun pemerintah kita kerepotan. Saat ini warga Rohingnya ditempatkan di penampungan sementara di Lhokseumawe, Aceh, hingga tahun depan.

Kita bisa belajar dari tragedi ini. Langkah kaki ratusan, bahkan jutaan, warga Timur Tengah ke Eropa ini mungkin tidak terbayangkan 20 tahun lalu. Bukankah mereka pada umumnya merupakan warga negeri-negeri yang makmur?

Kini negeri mereka terkoyak perang saudara yang keras dan nyaris kehilangan sendi-sendi kemanusiaan. Kita bisa saja seperti mereka jika setiap kelompok kepentingan atau kelompok keyakinan hanya mengedepankan kepentingan dan kebenaran masing-masing, serta mengerdilkan kelompok lain.

Ajaran warisan nenek moyang agar kita tepa selira, bertenggang rasa, dan saling menghormati, layak kembali dijunjung tinggi sampai kapan pun agar kita tak kehilangan kedamaian di tengah masyarakat kita sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya