SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo (Istimewa)

Kolom edisi Senin (27/6/2016), ditulis jurnalis Solopos Mulyanto Utomo.

Solopos.com, SOLO — Sekitar 17 tahun lalu ketika koran harian ini diterbitkan, berita politik yang disajikan begitu banyak mendapat kritik dari berbagai pihak, tentu saja terutama dari para politikus.

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

Mereka adalah pribadi-prabadi yang memiliki kepentingan kekuasaan, apalagi pada awal 1999, pascareformasi digaungkan, partai politik lantas bertumbuhan. Yang terjadi adalah kepentingan tunggal masing-masing partai politik atas sesuatu yang mereka anggap benar sulit sekali diperdebatkan.

Koran ini yang tumbuh bersama dengan era reformasi kemudian menjadi salah satu sasaran ketidaksenangan mereka atas pemberitaan-pemberitaan yang mereka anggap tidak adil, kurang proporsional, dan bahkan mereka anggap tidak benar.

Ekspedisi Mudik 2024

Partai A menganggap koran ini “simpatisan” partai B, sementara partai B menduga koran ini terlalu “membela” partai A. Celakanya, partai C malah terang-terangan mengatakan koran ini tidak mengakomodasi partainya dan terlalu banyak “memihak” partai A dan partai B.

Asumsi, tuduhan, dan mungkin sekadar anggapan bahwa koran ini bersikap partisan tentu saja sama sekali tidak benar. Sejak awal diterbitkan, pengelola koran ini berkomitmen koran ini harus menjadi koran profesional.

Media massa yang dikelola dengan idealisme, norma, kaidah, dan kredo jurnalisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan untuk kepentingan publik. Koran ini tetap mendapat kepercayaan.

Mengutip Bang Ashadi Siregar, yang saya anggap sebagai bapak jurnalisme Indonesia, dia ikut serta memberikan dogma jurnalisme kepada awak koran ini pada awal penerbitan, bahwa media massa yang ideal pada dasarnya adalah untuk menjadikannya sebagai lembaga (institusi) kemasyarakatan yang menjalankan fungsi imperatif dari kepentingan warga dalam perspektif masyarakat madani.

Untuk itu basis keberadaan media massa adalah dari konsep kebebasan pers (press freedom) sebagai bagian dari norma untuk tatanan dalam kehidupan masyarakat dan negara. Kebebasan pers adalah sebutan populer untuk hak warga dalam membentuk dan menyatakan pendapat baik dalam konteks masalah publik maupun estetis (ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/idealisme-pers-indonesia).

Itu artinya media massa sesungguhnya tidak bisa digunakan sebagai alat oleh seseorang atau kelompok demi kepentingan tertentu, baik itu bersifat ekonomi maupun politik.

Media massa dalam pemberitaannya harus menghindari pengaruh kepentingan pemilik, pengusaha, kelompok, atau golongan tertentu agar tidak muncul conflict of interest.

Nah, dalam perjalanan waktu, setelah 17 tahun berlalu, era cybermedia atau media siber kini kian mendominasi kebutuhan masyarakat terhadap berita. Yang kita saksikan sekarang publik mulai meragukan idealisme media massa.

Sebagian di antara anggota masyarakat menganggap semua media massa memiliki kepentingan ekonomi maupun politik. Ada sekelompok masyarakat yang menganggap sebuah media melakukan agenda setting (merancang berita) untuk menjatuhkan kelompok tertentu, menjatuhkan nama baik seorang pejabat, atau secara terang-terangan menyerang pribadi seseorang atau pejabat tertentu agar apa yang menjadi tujuan tercapai.

Di sisi lain, publik juga bertindak ambigu dalam membaca berita di era media siber sekarang ini. Mereka menggap hal-hal yang tidak sesuai dengan harapannya, keinginannya, atau tak sesuai dengan apa yang menjadi idealismenya atas sebuah pemberitaan kemudian berita itu dianggap tidak benar.

Publik ambigu dalam bersikap. Sekalipun sebuah media massa mempraktikkan jurnalisme secara benar, sesuai kaidah, dan menaati kredo, mereka tetap menganggap hal itu sebagai sesuatu yang keliru.

Sebagian publik setuju, sepaham, dan menganggap sebuah berita itu “benar” sekalipun dalam prosesnya dilakukan secara serampangan, memutar balikkan fakta, dan tidak mempraktikkan kaidah-kaidah jurnalisme secara benar.

Publik pembaca kini semakin leluasa memperoleh berita yang sesuai keinginan mereka, terkadang tanpa mempertimbangkan prosedur, praktik, dan proses jurnalistik yang ditempuh sebuah media. [Baca selanjutnya: Disiplin Verifikasi]Disiplin Verifikasi

Ini ditunjang dengan kian leluasanya media sosial merambah ke semua lini kehidupan dan mempraktikkan ”pemberitaan” (baca: jurnalisme) secara serampangan.

Setiap pribadi boleh beropini, bebas menyampaikan pendapatnya yang sesuai dengan kehendak dan kepentingannya. Ini bisa tergambar dari status yang mereka tuliskan di akun media sosial mereka masing-masing.

Di era media siber sekarang ini, media mainstream semakin mendapat tantangan keras dari masyarakat pembaca untuk membuktikan bahwa mereka tetap profesional, masih mempraktikkan kaidah jurnalistik, menaati norma dan kode etik jurnalistik.

Kredo jurnalistik atau keyakinan tentang kebenaran yang harus dicari dalam jurnalistik tetaplah menjadi prioritas utama. Kata dosen jurnalistik saya, Pak Mursito B.M., berita harus benar. Setiap informasi harus dicek dan dicek ulang pada berbagai sumber.

Oleh Bill Kovach, kegiatan mengecek dan mengecek ulang itu sebagai bagian dari disiplin verifikasi. Dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme, Kovach menulis bahwa disiplin verifikasi adalah praktik-praktik seperti mencari sekian saksi untuk sebuah peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan minta komentar dari banyak pihak (Kovach dan Rosentiel, 2004: 95).

Bagi Kovach, disiplin verifikasi untuk wartawan itu bisa diterjemahkan sebagai jangan pernah menambah sesuatu yang tidak ada, jangan pernah menipu audiens, berlakulah setransparan mungkin tentang metode dan motivasi jurnalis, andalkan reportase dirimu sendiri, dan bersikaplah rendah hati.

Dengan konsep profesionalisme yang jelas seperti itu, mestinya publik bisa mencermati apakah sebuah media itu bertindak benar, menjalankan praktik jurnalisme sesuai dengan kaidah, norma, dan etika yang berlaku.



Ini penting karena kebenaran dalam jurnalisme itu, seperti dikatakan Kovach dan Rosentiel, adalah ”kebenaran fungsional”. Kebenaran dalam jurnalisme memang sering dipertanyakan oleh publik. Publik menganggap kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda.

Tiap-tiap agama, ideologi, atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah juga sering direvisi. Lantas, kebenaran menurut siapakah dalam jurnalistik itu?

Wartawan sebagai pembuat berita adalah manusia biasa, bukan malaikat. Pembaca mempertanyakan, sebagai manusia tidakkah seorang wartawan pandangannya bisa bias?

Seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau bahkan agamanya, bisa menghasilkan penafsiran terhadap kebenaran yang berbeda-beda.

Menjawab pertanyaan itu, Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional.

Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.

Apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru.

Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah, bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi. Begitu pula kebenaran dalam berita yang dihasilkan oleh media massa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya