SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<blockquote><p>Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (7/8/2018). Esai ini karya Irvan Liberty Williams, jurnalis dan alumnus Jurusan Komunikasi Politik Program Pascasarjana Universitas Paramadina Jakarta. Alamat e-mail penulis adalah ivan_sihombing@yahoo.com.</p></blockquote><p><strong>Solopos.com, SOLO –</strong> Ketika Presiden Joko Widodo menggelar makan malam dengan para ketua umum partai politik pengusung dirinya di pemilihan presiden 2019, koalisi partai politik penantang belum juga terbentuk.</p><p>Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang dimotori Prabowo Subianto, sang calon penantang terkuat, masih terus melakukan tawar-menawar yang alot dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN).&nbsp;</p><p>Sebaliknya, Joko Widodo malah terlihat begitu ceria dalam jamuan makan malam bersama ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) di Istana Bogor, Senin (23/7) lalu.</p><p>Mengutip pernyataan Ketua Umum PPP Romahurmuziy, acara malam itu adalah makan malam dengan menu rendang koalisi. Pertemuan tersebut memang penting mengingat waktu pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah 4-10 Agustus 2018.</p><p>Calon wakil presiden sudah mengerucut dan partai politik politik pengusung menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada Joko Widodo. Pesan yang hendak disampaikan kepada public, termasuk calon penantang, ialah tidak ada lagi ego sektoral di koalisi pengusung Joko Widodo, semua &rdquo;tunduk&rdquo; pada kemauan sang kandidat presiden petahana.</p><p>Prabowo Subianto masih harus mencari jalan tengah karena PKS dan PAN sama-sama menyodorkan kader sebagai calon wakil presiden.&nbsp; PKS menyodorkan Sembilan orang, antara lain mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.</p><p>PAN juga menyodorkan Zulkifli Hasan sebagai calon wakil presiden umtuk mendampingi Prabowo. Posisi calon wakil presiden bagi PKS dan PAN menjadi sangat krusial karena akan menentukan nasib partai politik tersebut dalam pemilihan umum 2019.</p><p>Di berbagai media hal itu sering disebut dengan istilah <em>coat tail effect</em> (efek ekor jas), yakni partai politik akan mendapatkan limpahan suara dalam pemilihan umum anggota legislatif bila mencalonkan orang yang populer.</p><p>Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Djayadi Hanan, mengatakan partai politik pengusung Joko Widodo berpeluang besar merasakan <em>coat tail effect</em>. Hal ini rupanya kurang berlaku buat partai politik pengusung Prabowo Subianto.</p><p>PKS dan PAN mati-matian mencalonkan kader terbaik mereka untuk menjadi calon wakil presiden. PKS merasa berhak menempati posisi tersebut karena pada pemilihan umum 2014 telah mengalah dari PAN yang menduetkan Hatta Rajasa dengan Prabowo Subianto melawan Joko Widodo-Jusuf Kalla.</p><p>Menurut Hidayat Nur Wahid, perolehan suara PKS mengacu pada pemilihan umum 2009 lebih besar daripada perolehan suara PAN. &ldquo;Tahun 2014, waktu itu PKS suaranya 57, PAN 43. PKS rida dan legawa PAN jadi calon wakil presiden, padahal suaranya lebih jauh dari PKS,&rdquo; kata Hidayat di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, 4 Mei 2018.</p><p>Penjelasan Hidayat diulangi oleh politikus PKS, Mahfudz Siddiq, di acara diskusi <em>Manuver Merebut Posisi Cawapres</em> di Resto Bumbu Desa, Jakarta Pusat, 18 Juli 2018. "2014, PKS sabar calon wakil presiden dari PAN. Pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, PKS juga sabar, gubernur enggak wakil gubernur enggak (dari PKS). Pemilihan gubernur Jawa Barat 2018, PKS cuma dapat (jatah) wakil gubernur bukan calon gubernurnya," kata Mahfudz.</p><p>PAN merasa lebih berhak daripada PKS karena perolehan suara di pemilihan umum 2014 lebih besar, yakni 7,59%. PKS hanya mendapatkan suara 6,79%. Partai politik yang dipimpin Zulkifli Hasan itu memang harus <em>ngotot</em> meraih posisi calon wakil presiden bagi Prabowo agar bisa bertahan di pemilihan umum 2019.</p><p>PAN pasti mengharapkan <em>coat tail effect</em> demi meraih setidaknya 4% suara dalam pemilihan umum 2019. Pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan 4% suara tidak berhak memiliki kursi di parlemen.</p><p>Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny J.A. pada 8 Mei 2018 merilis data bahwa hanya lima partai politik yang akan lolos ambang batas parlemen. Lima partai politik lain berpotensi mendapatkan suara di bawah ambang batas parlemen, yakni PAN (2,5%), Partai Nasdem (2,3%), Partai Persatuan Indoensia atau Perindo (2,3%), PKS &nbsp;(2,2%), dan PPP ( 1,8%).</p><p>Enam partai politik lainnya punya elektabilitas di bawah nol koma. Survei itu dilakukan 28 April sampai 5 Mei 2018 terhadap 1.200 responden di seluruh Indonesia dengan menggunakan metode <em>multistage random sampling </em>dan melakukan wawancara tatap muka serta kuesioner.</p><p>Di tengah pertarungan antara PKS dan PAN dalam memperebutkan posisi calon wakil presiden, Prabowo tiba-tiba mendapat sinyal bahwa Partai Demokrat ingin bergabung dalam barisan partai politik calon penantang Joko Widodo.</p><p>Ia kemudian mendatangi rumah Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Mega Kuningan, Jakarta, tepat sehari setelah makan malam Joko Widodo dengan menu rendang koalisi. Dalam pertemuan itu belum tercapai kesepakatan bahwa Partai Demokrat dan Partai Gerindra akan berkoalisi.</p><p>Prabowo menyiratkan sikap bersedia meminang &rdquo;putra mahkota&rdquo; Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai calon wakil presiden. &rdquo;Umpama nama AHY muncul (menjadi salah satu kandidat wakil presiden), saya harus katakan <em>why not</em>,&rdquo; ujar Prabowo dalam konferensi pers seusai pertemuan tersebut.</p><p>PKS dan PAN &nbsp;bisa sedikit bernapas lega karena bila Partai Demokrat dan Partai Gerindra resmi berkoalisi mereka sulit untuk mengatur-atur Prabowo terkait posisi calon wakil presiden.</p><p><strong>Demokrasi yang Sehat</strong></p><p>Partai Demokrat dan Partai Gerindra saja sudah cukup untuk membentuk koalisi ramping di pemilihan presiden 2019 karena sudah memenuhi syarat minimal mengusung calon presiden dan calon wakil presiden, yaitu 20%, karena Partai Gerindra meraih 11,81% dan Partai Demokrat meraih 10,19% (total 22%).</p><p>PAN dan PKS bila menarik diri dari koalisi tersebut dan membentuk poros ketiga tidak akan bisa karena belum memenuhi syarat minimal 20%. Berbagai cara dilakukan kedua partai politik itu agar Prabowo tidak berduet dengan Agus Harimurti Yudhoyono.</p><p>PKS mengirimkan sinyal akan tetap memperjuangkan rekomendasi ijtimak ulama yang mendorong Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri dan Uztas Abdul Somad untuk dipilih Prabowo sebagai calon wakil presiden.</p><p>Ijtimak itu digelar di Hotel Peninsula, Slipi, Jakarta, 27 Juli 2018, atau selang tiga hari setelah pertemuan SBY-Prabowo. Dalam acara tersebut, tidak ada nama Agus sebagai calon wakil presiden. PAN seperti masih berpikir-pikir untuk tetap berada di barisan Prabowo.</p><p>Partai politik tersebut malah berencana menggelar rapat kerja nasional pada 6-7 Agustus 2018, menjelang tenggat akhir pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden. Bukan tidak mungkin PAN malah berbalik arah dan bersama-sama dengan Joko Widodo di pemilihan presiden 2019.</p><p>Ketika koalisi calon penantang Joko Widodo masih begitu cair, kandidat presiden petahana terlihat semakin solid. Sembilan sekretaris jenderal partai politik pendukung Joko Widodo bertemu di Istana Bogor pada akhir Juli 2018.</p><p>Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa mereka dan Joko Widodo membahas empat hal, salah satunya membahas tim kampanye. Tidak ada lagi soal mengenai siapa calon wakil presiden pendamping Joko Widodo tetapi lebih ke arah teknis pemenangan pemilihan presiden.</p><p>Pada hari pertama pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden 4 Agustus kemarin, Joko Widodo malah menghadiri rapat umum sukarelawan pendukung dirinya di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat.</p><p>Salah satu yang mencuat di acara tersebut ialah agar para sukarelawan tidak mencari musuh, tetapi siap membela diri bila diganggu. Hal ini kemudian ditanggapi secara berlebihan oleh sejumlah kader Partai Demokrat, seperti Andi Arief, yang menilai ucapan tersebut bisa memicu terjadi perang sipil.</p><p>Budayawan Sudjiwo Tedjo menilai tidak ada yang salah dengan ucapan tersebut. Menurut dia, kalau ingin damai memang harus siap untuk berperang. Alih-alih mematangkan koalisi, Partai Demokrat malah terpancing menari di tabuhan genderang Joko Widodo.</p><p>Perencanaan yang baik adalah setengah dari keberhasilan. Bagaimana mungkin mau menang melawan calon presiden petahana jika kubu calon penantang malah sibuk dengan hal-hal yang remeh? Rakyat sejatinya menginginkan Prabowo atau siapa pun maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden menantang Joko Widodo dan pendampingnya.</p><p>Jangan sampai Joko Widodo dan pasangannya maju sendiri di pemilihan presiden 2019. Walau diperbolehkan konstitusi, calon tunggal tidaklah sehat untuk demokrasi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya koalisi partai politik penantang benar-benar mempersiapkan diri dan berupaya memenangi kontestasi lewat adu gagasan dan adu visi dan misi demi kemajuan Indonesia.</p>

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ekspedisi Mudik 2024
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya