SOLOPOS.COM - Ilustrasi pasir laut. (Freepik).

Solopos.com, JAKARTA — Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai aturan baru terkait pengelolaan hasil sedimentasi seperti pasir di laut, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut merupakan upaya komersialisasi laut.

“Peraturan ini sesungguhnya menyembunyikan orientasi utama komersialisasi laut di balik kedok pelestarian lingkungan laut dan pesisir melalui pengelolaan hasil sedimentasi,” kata Ketua Umum KNTI Dani Setiawan dalam keterangan di Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dani mengungkapkan beleid itu menegaskan bahwa pemerintah mengalihkan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak asasi setiap warga negara Indonesia terhadap lingkungan yang baik dan sehat, terutama di wilayah laut dan pesisir.

Hal itu merupakan amanat UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menjadi tanggung jawab sektor swasta atau pelaku usaha.

Peraturan itu, lanjutnya, juga dinilai lebih buruk dari Keputusan Presiden RI No. 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang dibuat oleh Presiden Kelima RI Megawati Soekarno Puteri.

Aturan dibuat untuk mengendalikan dampak negatif pemanfaatan pasir laut bagi lingkungan, nelayan, dan pembudidaya ikan.

Selain itu, PP No. 26/2023 juga merupakan langkah mundur dalam pelestarian ekosistem pesisir dan laut dengan kembali membuka perizinan usaha bagi penambangan pasir laut untuk tujuan komersial dan bahkan untuk ekspor.

Rezim pengaturan hukum itu dinilai sengaja dimaksudkan untuk merevisi Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut, aturan yang dikeluarkan delapan bulan pasca KEPPRES No. 33/2002.

“Di masa lalu, ekspor pasir laut merupakan bisnis menggiurkan, namun juga telah merugikan negara jutaan dolar akibat ekspor ilegal pasir laut. Penambangan pasir laut menjadi tidak terkendali dan merusak lingkungan laut dn pesisir, mengancam kehidupan nelayan, dan menguntungkan negara lain,” imbuh Dani.

KNTI juga menyayangkan bahwa PP ini sama sekali tidak menyinggung nelayan dan pembudidaya yang berpotensi terkena dampak dari aktifitas pemanfaatan pasir laut, baik dalam konsideran maupun pasal-pasal di dalamnya.

“Nelayan dan pembudidaya merupakan kosa kata yang asing dan tidak dikenal dalam peraturan yang justru sangat dekat dengan kedua aktor ini,” tuturnya.

Ketua DPP KNTI Bidang Advokasi dan Perlindungan Nelayan Misbachul Munir mengatakan, penambangan pasir laut secara ekologi dapat meningkatkan abrasi pesisir pantai dan erosi pantai.

Selain itu, menurunkan kualitas perairan laut dan pesisir pantai, berpotensi meningkatkan pencemaran pantai, dan menurunkan kualitas air laut dengan meningkatnya kekeruhan air laut.

Penambangan pasir laut juga dapat merusak wilayah pemijahan ikan dan nursery ground, merusak ekosistem mangrove, dan mengganggu lahan pertambakan.

Di samping itu, mengubah pola arus laut yang sudah dipahami secara turun menurun oleh masyarakat pesisir dan nelayan, hingga kerentanan terhadap bencana di perkampungan nelayan.

“Kerusakan daya dukung ekologi akibat pemanfaatan/penambangan pasir laut akan mengakibatkan terganggunya ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir,” tutur Misbachul.

Di antaranya adalah menurunnya pendapatan nelayan, biaya operasional melaut yang makin tinggi, dan larangan akses dan melintas di areal penambangan pasir laut, hingga hilangnya lokasi penangkapan ikan bagi nelayan tertentu, seperti nelayan pertorosan atau tadah arus di Surabaya.

 

Sumber: Antara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya