SOLOPOS.COM - Ilustrasi tersangka pelaku tindak kejahatan. (JIBI/Harian Jogja/Reuters)

Para pelaku berasal dari lingkungan yang kurang mendapatkan pengawasan keluarga, beberapa pelaku berasal dari keluarga brokenhome.

Harianjogja.com, JOGJA – Polresta Jogja menangkap tujuh pelaku pembacokan yang membuat Ilham Bayu Fajar, pelajar SMP PIRI 1 Jogja meninggal dunia, pada Selasa (14/3) pagi. Para pelaku berasal dari lingkungan yang kurang mendapatkan pengawasan keluarga, beberapa pelaku berasal dari keluarga brokenhome.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Para pelaku tersebut yaitu FF, 17, warga Banguntapan, Bantul, pelajar salahsatu SMA swasta di Kota Jogja. FF sebagai pembonceng KLX yang membacok Ilham hingga menghembuskan nafas terakhirnya di Jalan Kenari, depan Balaikota Jogja. Adapun yang memboncengkan FF adalah tersangka, AA, 18, warga Sewon, Bantul, berstatus sebagai pelajar home schooling, ia sekaligus motor KLX warna hitam tanpa plat nopol.

Kemudian TP, 14, warga Depok, Sleman, pelajar kelas VIII salahsatu SMP swasta di Bantul, sebagai joki pengemudi motor yang memboncengkan tersangka JR, 15, warga Kotagede, Kota Jogja yang juga membawa sajam. JR tercatat sebagai pelajar kelas VIII salahsatu SMP swasta di Bantul. Polisi juga meringkus MK, 15, warga Ngampilan, Kota Jogja yang juga pelajar home schooling bertindak ikut dalam rombongan dengan membonceng Honda Vario hitam. Kemudian dua anak lainnya yang turut ditangkap adalah RB, 19, warga Sewon, Bantul dan NS, warga Mergangsan, Kota Jogja yang keduanya berada di rumah MK.

“Saya juga kasihan sebenarnya, ini adik-adik kita, anak-anak kita masih remaja masa depannya masih sangat panjang sekali, tetapi sangat disayangkan melakukan tindakan yang tidak kita inginkan bersama,” tegas Kapolda DIY Brigjen Pol Ahmad Dhofiri di Mapolresta Jogja, Selasa (14/3/2017).

Dhofiri mengapresiasi Polresta Jogja yang dalam waktu kurang dari dua hari bisa menangkap pelaku. Keterangan awal, terindikasi pelaku berjumlah sembilan anak, baru tertangkap tujuh pelaku, dua diantaranya kini masih diburu petugas.

Dhofiri yang sempat menemui para pelaku secara tertutup di Ruang Rapat Utama Mapolresta Jogja, mengaku prihatin karena para pelaku masih anak-anak. Hampir semua pelajar SMP, hanya satu saja yang SMA. Lebih memprihatinkan lagi, mereka lepas dari pengawasan orangtua.

“Kembali ke latar belakang orangtuanya. Hampir semuanya ini mereka jauh dari pengawasan orangtua, ada yg ortunya berpisah, dia tinggal sama orang lain,” ungkap Dhofiri.

Ia meminta peran keluarga untuk meningkatkan pengawasan terhadap anak. Seharusnya, sudah tidak logis, anak seusia SMP, SMA pada pukul 02.00 WIB dinihari masih keluyuran di jalanan. Fakta itu jelas anak tersebut minim perhatian orangtua, sehingga menimbulkan potensi aksi klithih.

“Kalau di kepolisian hampir tiap malam patroli, yang terpenting adalah kerjasama, dari sekolah, Pemda dan imbau para orangtua untuk memberikan pengawasan, masak pelajar jam 02.00 malam masih keluyuran ini kan tidak umum kalau pelajar. Kami mewarning, ini betul-betul masalah serius dan kami senantiasa menangani masalah klithih siang malam,” tegasnya.

Menanggapi tertangkap pelaku klithih, Wakil Gubernur DIY Sri Paduka Paku Alam X menyatakan, para pelaku harus diproses sesuai hukum yang berlaku. Akan tetapi, penyidik harus tetap berpegang teguh pada UU No.11/2012 tentang sistem peradilan anak, karena secara prinsip penanganan jelas berbeda dengan pelaku dewasa.

“Kami prihatin, jane kurang opo to kita leh upaya [sebenarnya kurang apa sih kami berupaya mencegah], cuma ternyata masih kurang,” ungkap di Kepatihan.

Ia mengakui, DIY memang belum memiliki Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus anak, tetapi bukan berarti menjadi alasan untuk tidak memenuhi hak anak. Sehingga dalam proses hukum tersebut, biaknya bukan saja memberikan efek jera, namun juga mengedepankan sisi edukasi.

Soal wadah bagi remaja, lanjutnya, di DIY dinilai sudah sangat cukup. Ruang publik dengan banyak kegiatan, seperti Malioboro, titik nol, taman budaya digelar banyak acara yang dapat merangkul remaja untuk berekspresi. Bagi yang ingin menguras energi, bisa mengikuti panjat tebing atau road race dan lainnya. Bahkan bagi remaja yang hobi bertengkar, bisa menyalurkannya dengan bergabung di perguruan silat.

“Hobi bertengkar, ya mungkin kan juga banyak perguruan silat bela diri dan lainnya, olahraga juga bisa,” ujarnya.

Meski demikian, Paku Alam X mengembalikan titik persoalan itu pada keluarga. Karena keluarga harus memperhatikan mereka, semisal kalau sudah malam tetapi belum pulang, harus memiliki kepekaan mendapatkan informasi kegiatan yang dilakukan. Tak kalah pentingya memeriksa tas mereka untuk mengetahui isinya. “Tetapi sekarang ini kan orangtua sibuk cari uang, sibuk kegiatan, ibunya juga sibuk. Di rumah juga ngapain, akhirnya ada beberapa pendapat dan itu diamini, akhirnya orangtua merestui kan. Wis kowe timbangane nang omah, dolano wae. Ini kan fenomena, selalu saya sampaikan, polisi, pemerintah tidak bisa sendirian [menangani],” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya