SOLOPOS.COM - Ardian Nur Rizki (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO -- Guru tidak bisa main komedi. Guru tidak bisa mendurhakai ia punya jiwa sendiri (…). Guru yang hakikatnya hijau akan ”beranak” hijau, guru yang sifatnya hitam akan ”beranak” hitam, guru merah akan ”beranak” merah (…). Guru adalah rasul kebangunan. Demikian potongan pidato Bung Karno berjudul Menjadi Guru di Masa Kebangunan.

Mudah untuk bersepakat bahwa guru merupakan pilar utama pembangun peradaban, meski zaman telah banyak berubah. Betapa pun sumber pengetahuan kian bertambah, peran sentral guru sebagai saka guru pembangunan manusia tetap harus pantang terbantah.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Jepang pernah bersusah payah dalam Perang Dunia II dan Sang Kaisar langsung mencari guru untuk mengikhtiarkan kebangkitan negeri itu. Amerika Serikat juga sempat tertatih-tatih dalam persaingan Perang Dingin. Senator John F. Kennedy merespons ketertinggalan Amerika Serikat dalam teknologi ruang angkasa (Sputnik) dengan pertanyaan satire,”What’s wrong with American classroom?”

John F. Kennedy beranggapan bahwa keberhasilan Amerika Serikat dalam persaingan global sangat ditentukan oleh guru dan kualitas pendidikan. Pada zaman kiwari, urgensi guru tetap tidak tergantikan, meski perannya bertransformasi.

Dalam lesat-pesat gerak zaman dan tunggang-langgang laju teknologi, implementasi pendidikan kini cenderung berorientasi pada hasil. Pendidikan diselenggarakan secara pragmatis dan materialistis sehingga tunduk terhadap tuntutan pasar.

Guru, disadari atau tidak, turut terdampak ekses pragmatisme pendidikan. Philip Altbach dalam The Decline of the Guru menyebutkan bahwa pragmatisme pendidikan berpotensi mendegradasikan esensi pendidikan. Pendidikan yang pragmatis mendiskreditkan konten yang dianggap tidak menopang keterampilan praksis.

Orientasi pendidikan yang bertumpukan kuantitas semacam ini berdampak pada dekontekstualisasi dan dehumanisasi pendidikan. Untuk itulah, perlu kesadaran komprehensif dan kolektif dari seluruh stakeholders untuk mengembalikan muruah guru dan esensi pendidikan. Para pendiri bangsa bersepakat bahwa guru merupakan ujung tombak pendidikan.

Sebaik-baiknya konsepsi kurikulum, jika dieksekusi dengan tombak yang majal berpotensi besar untuk gagal. Menyadari betapa agungnya peran guru, Bung Karno bahkan menyebut guru sebagai ”rasul pembangunan”. Guru bukan sekadar penyuluh pengetahuan, tetapi juga pengobar inspirasi melalui laku dan teladan.

Menjiwai Profesi

Bung Karno berpesan agar guru benar-benar menjiwai profesi dan tidak bermain komedi. Artinya, guru harus memiliki jiwa yang tulus dan etos kerja yang kudus, baik di dalam maupun luar ruang kelas.Menurut Bung Karno,  hanya guru yang benar-benar rasul pembangunan dapat membawa anak-anak atau siswa-siswa ke dalam alam pembangunan.

Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa pembangunan dapat menurunkan kebangunan ke dalam jiwa murid. Dengan demikian, figur guru paripurna memerlukan perpaduan jiwa yang arif, laku yang latif, dan otak yang lantip.

Lebih jauh, Bung Karno menghendaki agar setiap orang memerankan diri sebagai guru. Pahlawan politik menjadi guru bagi massa yang mendengarkan pidato dan mengikut taktik perjuangannya, jurnalis menjadi guru bagi pembaca surat kabarnya, lurah menjadi guru bagi masyarakat desa, tukang kopi menjadi guru bagi anak istri yang membantu pekerjaannya.

Andai Bung Besar hidup pada zaman kiwari, boleh jadi pidatonya akan dipungkasi dengan seruan, “Youtuber dengan 27juta pengikut harus menjadi guru bagi para pengikutnya sehingga pantang mengumbar konten yang mengangkangi nilai-nilai pendidikan.”

Tentu masih lekat dalam ingatan kita bahwa selepas pernikahan sensasionalnya, Atta Halilintar--youtuber dengan lebih dari 27 juta pengikut-- memublikasikan konten-konten video bertajuk Malam Pertama Aurel di Rumah Atta, Buka Kado Malam Pertama Atta Aurel, Persiapan Atta Aurel Honeymoon Malam Pertama, dan sejenisnya.

Atta Halilintar memang bukan guru yang memiliki tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik sebagaimana diamanatkan UU No. 14 Tahun 2005. Andaikan Att --juga para youtuber dan selebritas lainnya-- berkenan menunaikan misi mulia untuk menjadi guru bagi manusia Indonesia, tentu slogan “Bergerak Serentak, Wujudkan Merdeka Belajar” dapat tertunai dengan nyata--dan tidak hanya menjadi penghias twibbon perayaan Hari Pendidikan Nasiona.

Akhir kata, terkait perayaan Hari Pendidikan Nasional pada Minggu, 2 Mei 2021 lalu, mari kita bertekur dan bertafakur untuk kemudian berikhtiar mengimplementasikan petuah Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara bahwa setiap tempat menjelma sekolah, setiap orang menjadi guru. Mari menanamkan kesadaran dalam diri, bahwa kita adalah guru bagi semesta! Ya, kita harus menjadi guru!

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya