SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, WONOGIRI — Suparno, 54, sudah menjadi sopir bus bumel trayek Solo-Wonogiri selama 27 tahun. Asam-garam menjadi sopir sudah pernah ia alami.

Suparno termasuk saksi sekaligus pelaku yang mengalami masa kejayaan hingga masa redup bus bumel Solo-Wonogiri. Suparno atau lebih dikenal sebagai Nano, menjadi sopir bus bumel Solo-Wonogiri sejak 1995.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sebelumnya, selama tiga tahun ia pernah mencoba menjadi sopir antarkota antarprovinsi Wonogiri-Jakarta.

“Cita-cita saya sejak SMA memang ingin jadi sopir. Saya tidak mau menjadi pegawai kantoran seperti saudara atau kerabat saya. Saya ingin hidup bebas,” kata Nano saat ditemui di rumahnya, Keloran, Selogiri, Senin (27/6/2022).

Ketika berbincang dengan Solopos.com, Nano kerap mengatakan bahwa dia orang jalanan. Bagi Nano, sebagai orang jalanan dia bebas menentukan kapan harus bekerja dan kapan tidak. Ia bisa mengatur hidupnya sendiri sebagai sopir.

Baca Juga: Ratapan Kru Bus Bumel Jurusan Solo-Wonogiri yang Tergilas Roda Zaman

Setiap hari pukul 04.00 WIB, Nano mengeluarkan bus bumel dari garasi perusahaan otobus (PO) Raya di kelurahan Wonokarto, Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri. Dalam mengoperasikan bus bumel, Nano ditemani dua kondektur yang usianya jauh di bawah dia.

“Dulu sebelum pandemi Covid-19, saya pakai bus PO Raya warna merah. Orang-orang sering menjuluki bus itu sebagai Bus Setan kalau saya yang nyetir. Sebab larinya pasti kencang. Sekarang busnya sudah rusak di garasi,” ujar dia.

Selama menjadi sopir bus bumel, Nano pernah mengalami kecelakaan sebanyak tiga kali. Satu kali menabrak pohon, dua lainnya ditabrak sepeda motor sekira 2008 dan 2012. Pengalaman buruk itu tidak menjadikan Nano trauma. Justru menjadi pelajaran lebih berhati-hati.

Kejar-kejaran dengan bus lain sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Nano. Hal semacam itu tidak bisa dihindari para sopir bus karena dituntut tepat waktu dan mencari penumpang sebanyak-banyaknya.

Baca Juga: Masih Bertahan, Bus Bumel Solo-Jogja Setia Layani Penumpang Lajon

Meski demikian, antarsopir bus sudah saling paham. Mereka tidak ada perselisihan.

“Kalau sudah sampai terminal, kami ya guyonan enggak ada itu musuhan. Kami tetap saling sapa. Enaknya jadi sopir, jadi orang jalanan itu seperti itu, kami kompak,” beber dia.

Sesekali Nano menerima marah dari pengendara lain. Terutama pengendara mobil yang belum banyak pengalaman. Biasanya dia menanggapi hal itu dengan bersikap biasa saja dan cukup mendengarkan.

“Kadang ya memang ada yang marah-marah ke saya. Tapi sudah saya dengarkan saja. Kemudian lanjut jalan,” ucap Nano.

Baca Juga: Apa Artinya Bus Bumel, Berbeda dengan Bus Ekonomi?

Bagi sebagian orang, sambung Nano, jalan di Wonogiri sulit karena banyak bergelombang naik turun. Tetapi bagi Nano, jalan di Wonogiri laiknya jalan-jalan lain. Bisa ia lalui dengan mudah.

Dia justru lebih senang jalanan di Wonogiri dibandingkan di Solo. Sebab di Solo kerap terjadi macet.

“Lebih sulit Solo daripada Wonogiri. Kalau di Solo itu suka macet, susah kalau mau jalan,” ungkapnya.

Menurut dia, penghasilan menjadi sopir bus bumel tidak banyak. Nano enggan menyebutkan secara pasti berapa penghasilan yang ia dapatkan. Yang jelas, bisa mencukupi hidup satu keluarga. Nano mempunyai dua anak. keduanya sudah rampung sekolah.

Baca Juga: Bumel Ternyata Bukan Istilah Bus, Tapi Sepur

Nano sempat merasakan masa kejayaan bus bumel Solo-Wonogiri, yakni era 1990-an sampai 2010. Kala itu, penumpang bus bumel banyak. Bahkan sering overload.

Bus yang ia sopiri tidak pernah sepi penumpang. Padahal kala itu jumlah bus bumel tidak sedikit dan banyak saingan dari PO lain.

“Dulu di sini [Terminal Bus Pracimantoro] setiap lima menit sekali ada bus bumel datang. Jadi waktu itu bus-bus enggak pernah ngetem lama. Paling lama 10-15 menit. Sedangkan sekarang, coba lihat, sudah setengah jam saja enggak ada yang naik. Dulu kalau ngetem setengah jam di terminal, pasti penumpang sudah ramai sekali,” terang Nano sembari menunggu penumpang di Terminal Pracimantoro, Selasa (28/6/2022).



Kondisi tersebut diperparah dengan adanya Pandemi Covid-19. Penumpang seketika turun drastis. Armada bus pun terpaksa banyak yang tidak beroperasi. Bahkan sempat beberapa bulan seluruh bus bumel di perusahaan dia bekerja tidak ada yang beroperasi.

“Waktu itu saya sempat mencoba jadi petani tembakau di Pracimantoro. Saya sewa lahan di sana sekitar dua hektare. Saya mulai dari nol, segala macam alat saya beli. Tapi sayangnya enggak berhasil. Saya rugi Rp60 juta. Sekarang kembali jadi sopir,” tutur dia.

Baca Juga: Apa Itu Bumel, Kok Dipakai Untuk Menggambarkan Bus

Sementara itu, kondektur bus bumel PO Raya, Mulyanto, mengaku sudah menjadi kondektur sejak 2009. Sebelumnya, dia menjadi kondektur bus di semarang.

Pada 2016, Mulyanto baru bergabung di PO Raya yang melayani trayek Solo-Wonogiri. Ia pindah karena perusahaan saat ini lebih dekat dengan tempat tinggalnya.

Menurutnya, pandemi covid-19 sangat mengubah nasib para pekerja di bidang angkutan umum. Banyak karyawan yang terpaksa cari penghasilan tambahan di luar kerja menjadi kru bus bumel.

“Perbedaannya sangat jauh. Dulu masih mudah cari penumpang, sekarang sulit,” kata pria asal Eromoko itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya