SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (10/11/2018). Esai ini karya Aris Setiawan, etnomusikolog dan pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Alamat e-mail penulis adalah segelas.kopi.manis@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Berbondong-bondong masyarakat datang ke Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta untuk menyaksikan pertunjukan wayang kulit dalam rangkaian Hari Wayang Dunia pada 6-9 November 2018.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Puluhan dalang silih berganti mempertontonkan kebolehan berolah wayang. Ratusan pengrawit hadir mendukung acara itu. Dari peristiwa ini kita dapat mengetahui peta perkembangan wayang di Indonesia dan Jawa pada khususnya.

Hari Wayang Dunia tidak hanya menjadi panggung eksistensi, namun juga etalase mobil-mobil mewah milik oleh para dalang. Di mobil itu kita bisa membaca label masing-masing dalang, seperti ”Dalang Oye”, ”Dalang Slank”, ”Dalang Jedher”, ”Dalang Edan”, ”Dalang Setan”, dan lain sebagainya.

Kesuksesan seorang dalang pada abad ini kemudian diukur dari hitung-hitungan kalkulasi materi dengan berbagai merek mobil mahal yang dimiliki, rumah megah,  dan jumlah istri. Aduh!

Warisan

United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) telah memasukkan wayang Indonesia ke dalam Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity sejak 2008.

Pada 7 November 2003, wayang diumumkan oleh UNESCO sebagai Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity.  Hal ini menunjukkan fungsi penting wayang di Indonesia diakui dunia dan sekaligus ada tanggung jawab moral untuk menjaga dan melestarikan.

Dalang kemudian menjadi garda terdepan bagi nasib wayang. Persoalannya jika wayang dianggap sebagai intangible cultural heritage of humanity atau warisan budaya nonbenda bagi manusia, pada hari ini apa yang dapat dipetik dari pertunjukan wayang kulit?

Jargon yang mengetengahkan wayang sebagai tuntunan (bukan semata-mata tontonan) masihkah layak digaungkan? Menjadi dalang bukan lagi ziarah untuk membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik, sebagaimana para wali dan misionaris menyebarkan nilai-nilai religiositas dan kemanusiaan lewat wayang.

Menjadi dalang kini adalah pekerjaan yang prestisius. Semakin terkenal maka semakin mahal tarifnya. Hal ini menyebabkan apa pun bisa digarap sejauh menghasilkan keuntungan. Lakon-lakon wayang terdistorsi oleh berbagai kepentingan.

Wayang menjadi kumpulan dari segala episentrum seni, dari klenengan gending-gending gamelan hingga musik dangdut, pop, campur sari, bahkan lawakan (humor) picisan. Barangkali lakon wayang sekarang tidak penting. Banyolan dan goyangan penari dan penyanyi yang ditunggu.

Hingga detik ini dunia pewayangan adalah salah satu bentuk seni yang paling sepi dari kritik. Siapa penulis dan kritikus wayang hari ini? Terlalu sulit untuk menjawab. Akibatnya, tidak ada ruang kontrol atau media kontemplatif, penyeimbang, dan ruang koreksi.

Imajinasi

Seorang dalang leluasa mengumpat dan memaki di panggung. Sinden-sinden yang pamer pantat dengan joget sensual menjadi jamak. Tepuk tangan riuh penonton didapat. Semakin aneh pertunjukan wayang dianggap semakin menarik  dan ”laris”.

Kita kemudian memperingati hari wayang dengan mimpi dan imajinasi agar wayang kembali menjadi alat kontrol sosial. Berharap nilai-nilai wayang dapat tersalurkan kepada generasi masa kini yang semakin gemar mencaci, membenci, dan berprilaku anarkis.

Di panggung pertunjukan wayang nilai-nilai kearifan hidup itu justru semakin pudar, dipandang membasi dan tak menjual. Panggung-panggung wayang berubah layaknya panggung musik rock atau malah dangdut dengan gemerlap tata lampu dan pengeras suara yang bombastis.

Menyaksikan wayang seperti menyaksikan pertandingan sepak bola; keras, gaduh, dan bising. Kita juga melihat kehidupan dalang sering kali bergelimang harta, sementara nasib hidup pengrawit (musikus dan pemusik wayang) tak tentu arah.

Jika pengrawit adalah sebuah pekerjaan, ke mana mereka harus mengadu jika diberhentikan secara sepihak atau kena pemutusan hubungan kerja yang diterapkan seorang dalang karena usianya yang renta dan digantikan pengrawit baru yang lebih muda jebolan sekolah seni?

Ke mana para pengrawit itu harus meratap jika tak dibayar layak oleh seorang dalang? Pertanyaan-pertanyaan itu yang hingga detik ini tidak pernah terjawab tuntas.

Hari Wayang Dunia

Hari Wayang Dunia idealnya tidak hanya menjadi selebrasi atau perayaan dan pesta berupa deretan pertunjukan wayang berhari-hari, namun juga menjadi ruang kontemplasi untuk memikirkan nasib hidup wayang beserta perantinya pada masa depan.

Melihat pertunjukan wayang tak ubahnya pemanggungan atas lakon-lakon kehidupan. Apa yang terjadi saat generasi milenial lebih menyukai kecepatan dan keringkasan atas sesuatu kemudian dihadapkan dengan pertunjukan wayang semalam suntuk?

Apakah bahasa (Jawa) dalam pertunjukan wayang dengan berbagai kerumitan masih relevan kala kebanalan berbahasa (baca: bahasa gaul) pada hari ini telah tercipta?



Kala lapangan atau lahan-lahan kosong semakin susah dijumpai, ditandai dengan bangunan-bangunan yang semakin padat, apakah pergelaran wayang dengan panggung megah dan kelir bermeter-meter itu masih menemukan ruang?

Hal yang paling mendasar, apakah penting menonton lakon-lakon wayang kala hidup yang senyatanya lebih dramatis daripada lakon itu? Lakon tentang kebencian, perang, keculasan, dan intrik.

Hari Wayang Dunia dapat menjadi momentum yang baik untuk  menjawab persoalan-persoalan itu serta sebagai upaya merumuskan dan memetakan sekaligus menyadarkan posisi penting wayang dan dalang dewasa ini. 

Membaca dalang dan wayang adalah tolok ukur ideal dalam melihat gejolak sosial di masyarakat. Perdebatan yang berkembang di tengah masyarakat idealnya digarap menjadi narasi lakon yang kemudian berhasrat memberi solusi bijak.

Wayang barangkali hanya sekadar boneka yang digerakkan, namun bukankah lewat kisah-kisah wayang kita dapat mengenali dan menelisik kembali tentang arti penting siapa dan dari mana sejatinya kita berasal? Hari Wayang Dunia setidaknya dapat menjadi upaya membaca tentang hal itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya