SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pedagang sayur asal Jogja ini harus menanggung rasa sakit yang sangat karena kanker hidung yang dideritanya. Tak kuat menahan rasa sakit, dia sempat ingin bunuh diri.

Pada awal 2010, Waljiyantini, 49, masih berjualan sayur-sayuran, telur, beras, penyedap rasa, kecap dan sebagainya. Barang kebutuhan yang lebih dikenal sebagai sembako atau sembilan bahan kebutuhan pokok itu dijual di teras rumahnya di Mergangsan Kidul, MG II/1346, Jogja.

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Meja dan kursi kayu dia gunakan untuk menggelar dagangan.

Waljiyantini biasa pergi ke pasar untuk kulakan barang dagangan yang akan dijual kembali di rumah. Selama menjalani aktivitas itu dia merasa sehat. Waljiyantini kala itu jauh dari penyakit. Hidung, mata, telinga, lidah, atau semua inderanya berfungsi dengan baik.

Pada suatu hari, masih 2010, Waljiyantini terserang sakit pilek. Semula sakit itu dianggapnya biasa. Namun, setelah beberapa waktu pilek yang dideritanya tak kunjung mereda. Ingus tak henti-hentinya keluar dari hidung ibu dua anak ini. “Pertamanya kami kira dia sakit polip,” kata Waljiyanto, 58, kakak kandungnya, ketika ditemui Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI) di rumahnya, Senin (1/8) siang.

Pilek itu semakin lama semakin mencekiknya, membuat napasnya sesak. Oleh keluarga dia dibawa ke suatu rumah sakit swasta di Jogja untuk diperiksa. Karena pilek tak jua sembuh, Waljiyantini disarankan mengikuti penyinaran rontgen. Kata dokter, Waljiyantini kemungkinan besar terkena penyakit kanker.

Istri dari Palung Suprianto, 45, itu sulit bernapas karena hidungnya tersumbat ingus yang tak berhenti keluar. Hal itu tidak berlangsung sehari atau seminggu, melainkan berbulan-bulan. Saat ada uang, Waljiyantini diperiksakan ke rumah sakit yang berbeda. Di rumah sakit itu diketahui penyakit kanker hidung yang dia derita telah mencapai tingkat stadium I.

“Waljiantini ditawari kemoterapi, disuruh bayar Rp15 juta tapi enggak ada uang. Beberapa bulan kemudian diperiksa lagi, ternyata kankernya sudah stadium IV,” kata Waljiyanto.

Menurutnya, adiknya itu juga diperiksakan ke pengobatan alternatif di Boyolali, Jawa Tengah. Di situ mereka merasa tertipu. “Awalnya disuruh bayar Rp1 juta, katanya 95% sembuh, terus dikasih obat ini,” kata Rifki Hendrianto, 17, anak kedua Waljiyantini sambil mengambilkan obat alternatif yang diwadahi botol. Sudah diminum hampir habis, obat alternatif itu tidak mengantarkan Waljiyantini ke kesembuhan.

Namun seiring waktu berjalan, penyakit menjalar. Perlahan-lahan fungsi organ di kepala Waljiyantini mengendur. Penglihatannya melemah, pendengarannya berkurang seperti budek, hidungnya tidak bisa digunakan untuk bernapas serta pipinya kaku. “Ibu bernapas pakai mulut,” kata Rifki.

Karena lemas, Waljiyantini juga kesulitan untuk makan sendiri sehingga perlu disuapi. Setiap hari Waljiyantini harus dirawat oleh keluarganya dan dituntun serta digandeng ketika berjalan. “Ibu nggak bisa keluar rumah,” kata Rifki.

Tak jualan
Akibat terserang penyakit yang membuatnya tak berdaya itu  Waljiyantini tidak bisa berjualan sembako lagi.  Waljiyantini kini lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Karena keadaannya yang dianggap telah parah, Waljiyantini kerap mengeluh.

Keluhannya tidak hanya didengar seisi rumah, tapi tetangga sekitar. Tidak jarang dia sering menangis malam-malam dan minta untuk dibunuh.

“Patenana aku… patenana aku… dia bilang begitu, mungkin dia merasa hidupnya tidak berguna,” kata Waljiyanto. Pernah pula saking sakitnya Waljiyantini berniat menghabisi nyawanya sendiri alias bunuh diri.  Perempuan itu berjalan menuju sumur dan telah memasukkan satu kakinya ke lubang sumur. “Tapi akhirnya dia enggak berani,” kata Waljiyanto.

Adiknya itu mengurungkan niat untuk menghabisi nyawa sekaligus untuk menghabisi rasa sakit yang menyerang syaraf-syarafnya. Penyakit itu sungguh menyiksanya.

Menunggu mukjizat
Untuk mengusahakan kesembuhan Waljianti, keluarga telah mengeluarkan uang yang banyak.

“Dulu ngurus surat-surat untuk Jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat), segala macem, katanya bisa gratis, eh ternyata enggak,” keluh Waljiyanto.

Waljiyantini juga dianjurkan untuk kemoterapi. Namun lagi-lagi karena terhalang biaya, pengobatan itu urung dilakukan.

“Kini kanker semakin parah yakni stadium IV. Butuh kemoterapi dengan biaya sekitar Rp60 juta sampai Rp70 juta,” tambahnya.

Akhirnya, keluarga Waljiyanti berpaling ke pengobatan alternatif. “Waktu itu ke Ustadz Yahya di Maguwoharjo. Ikut pengajian diberi obat. Obatnya enggak boleh dibeli, tapi gratis. Itu malah ada perubahan. Tapi antrinya itu ratusan orang,” cerita Waljiyanto.

Keluarga telah pasrah dengan keadaan Waljiyantini. Waljiyanto malah menyebut, menunggu mukijizat.

Menyerang siapa saja
Secara umum, penyebab penyakit kanker hidung ada tiga yaitu genetika, lingkungan serta perilaku. Penyakit kanker hidung dapat menyerang siapa, terutama bila memiliki riwayat merokok yang lama atau hidup di lingkungan yang kurang sehat.

Dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorokan di Poliklinik Telinga Hidung dan Tenggorokan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Bambang Hariwiyanto, mengatakan kanker merupakan tumor yang ganas.

“Kalau tumor hidung biasanya sudah menjalar ke sinus,” kata Bambang ketika ditemui di RSUP Dr Sardjito, Rabu (3/8). Menurut Bambang, khususnya di Indonesia, kebanyakan kanker hidung tidak hanya berada di hidung melainkan bisa menjalar ke sejumlah organ di sekitarnya. Kanker hidung dapat menyerang siapa saja.(Wartawan Harian Jogja/Yodie Hardiyan)



HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya