SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SRAGEN — Sekitar 50 warga Desa Tempelrejo, Mondokan, Sragen, Jawa Tengah, menggantungkan hidup dari hasil berburu kelabang. Salah satunya Alvi Andika, 23, warga Dusun Teguhan, Tempelrejo, yang mampu menangkap 50 kelabang dalam satu hari.

Pada Minggu (20/1/2019), Alvi Andika menyingkirkan tumpukan daun jati kering di sebuah kebun tak jauh dari rumahnya menggunakan batang kayu dengan ujung yang terbuat dari besi berbentuk letter L.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Seperti ayam yang sedang mencari makan, Alvi Andika terus mencari sesuatu di balik tumpukan daun kering itu. Setelah hampir 15 menit mencari, “santapan” yang ditunggu-tunggu itu akhirnya terlihat.

Seekor kelabang terlihat berlari menghindar. Binatang yang dikenal punya gigitan beracun itu berusaha bersembunyi di balik tumpukan daun. Dengan bantuan sebuah sabit, Alvi Andika berusaha menangkap binatang arthropoda di kelas chilopoda dan myriapoda itu.

Saat paling menegangkan ialah ketika Alvi Andika berusaha memegang kepala dari kelabang itu. Jika meleset, ia bisa saja terkena gigitan sang kelabang yang bisa berakibat fatal. Saat hendak menangkap bagian kepala, kerap kali ada gangguan dari bagian tubuh dan ekor binatang ini.

Namun, Alvi yang sudah delapan tahun berburu kelabang ini terlihat mahir dalam memegang binatang ini. “Yang terpenting tangkap kepalanya dulu. Dua giginya harus segera dipotong menggunakan gunting. Dengan begitu, kelabang itu sudah tidak bisa menggigit,” jelas Alvi saat berbincang dengan wartawan di lokasi.

Pada awal menggeluti usaha pencari kelabang ini, Alvi Andika mengaku sempat beberapa kali digigit oleh kelabang buruannya. Akibat gigitan kelabang itu, telapak tangannya bengkak dan dia merasakan nyeri yang luar biasa. Rasa nyeri itu baru reda setelah dua jam.

Di Balik Bebatuan

Dibutuhkan waktu dua hari supaya telapak tangannya tak lagi bengkak. Namun, nyeri itu seketika langsung tidak terasa setelah ia mendapat bayaran dari pengepul kelabang.

“Harga kelabang naik turun. Sekarang Rp2.200/ekor. Harga bisa naik jadi Rp3.100/ekor. Saya sendiri paling banyak pernah mendapat 50 ekor/hari. Kalau teman-teman saya yang sudah mahir berburu kelabang bisa dapat 100 ekor bahkan lebih/hari,” papar Alvi.

Dia menerangkan di Desa Tempelrejo, terdapat sekitar 50 warga yang menggantungkan hidup dengan berburu kelabang. Tak hanya di kawasan Sragen, mereka bergerilya berburu kelabang hingga Karanganyar, Ngawi, Boyolali, Klaten, hingga kawasan DIY.

Biasanya lahan tegalan yang bertanah merah menjadi habitat dari kelabang. Binatang ini biasa bersembunyi di balik tumpukan daun kering atau berlindung di balik bebatuan. Oleh warga, kelabang itu kemudian disetor kepada seorang pengepul. Mereka bisa langsung mendapat bayaran dari pengepul.

Bila bisa mendapat 100 ekor kelabang, warga tersebut bisa mendapat bayaran Rp220.000 dengan catatan harga satu ekor kelabang berada di titik terendah yakni Rp2.200/ekor.

Bila harga sedang naik menjadi Rp3.100/ekor, warga tersebut bisa membawa pulang Rp310.000 dari pengepul. Oleh pengepul, kelabang yang sudah mencapai 10.000 ekor baru dikirim kepada seorang eksportir di Jawa Timur.

“Sebelum diekspor, biasanya kelabang ini dikeringkan dahulu dengan cara dioven. Kalau dikirim dalam kondisi hidup nanti bisa membusuk. Setelah dioven, kelabang dikemas untuk diekspor ke Tiongkok dan Korea Selatan. Di sana, kelabang ini dijadikan bahan dasar pembuatan obat. Obat untuk apa saya kurang tahu,” ujar Suwito, 45, warga yang sudah dua tahun menjadi pengepul kelabang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya