SOLOPOS.COM - Wisatawan melihat kerbau bule keturunan Kyai Slamet di Sitihinggil Kidul Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kamis (28/9/2017). (M. Ferri Setiawan/JIBI/Solopos)

Kisah unik tentang kebo bule milik Keraton Solo berdasarkan penuturan sang pawang.

Solopos.com, SOLO — F.X. Sumanto, 53, menyapu kandang sisi timur di Kompleks Alun-alun Kidul (Alkid) Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kamis (28/9/2017) pagi. Kandang itu merupakan tempat tinggal kerbau pusaka Keraton atau dikenal sebagai kebo bule.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Setelah kandang itu bersih, kerbau paling besar bernama Kyai Sumali dan Nyai Asih mendekatinya. Sumanto menyambut kedua kerbau itu dengan mengelus-elus kepalanya.

“Kyai Sumali ini biasa saya keluarkan dari kandang nanti pukul 24.00 WIB. Kalau kerbau di kandang sisi barat itu saya keluarkan sore. Mereka itu perlu jalan-jalan di alun-alun biar kakinya tidak kaku, biar sehat terus,” kata Sumanto, salah satu abdi dalem Keraton yang dipercaya merawat kerbau pusaka saat berbincang dengan Solopos.com, Kamis.

Ekspedisi Mudik 2024

Kebo bule milik Keraton di Kompleks Alkid ada 15 ekor. Tiga belas ekor berada di kandang sisi selatan, dua ekor lainnya di kandang di sisi utara. Tiga belas kerbau di kandang sisi selatan juga dibagi menjadi dua.

“Tiga belas kebo itu harus dipisah, karena ada dua yang jantan kalau dicampur nanti malah tarung,” ujar Sumanto.

Kebo di kandang sisi barat namanya Kyai Sukro, Nyai Apon, Nyai Welas, Nyai Juminten, Nyai Paing, Kyai Jabo, dan Nyai Mugi. Mereka adalah tujuh kerbau yang dikirab saat Malam 1 Sura Kamis (22/9/2017) lalu.

Nyai Mugi adalah kerbau paling muda berusia sekitar lima bulan, anak Nyai Apon. “Kalau yang lain suka makan ketela, Nyai Mugi ini dikasih ketela tidak mau. Maunya rumput.”

Sedangkan kandang sisi timur masing-masing dihuni Kyai Sumali, Nyai Asih, Nyai Suti, Nyai Ngatmini, Kyai Setu, dan Nyai Sogi. Dua kerbau di kandang sisi utara namanya Kyai Joko dan Nyai Manis.

“Mereka itu usianya paling tua, lebih dari 10 tahun mungkin, harus dipisah dari yang 13 ekor itu karena yang 13 ekor itu masih muda dan nakal-nakal. Apalagi yang namanya Kyai Sukro itu maunya menang sendiri,” imbuh pawang kebo bule lainnya, Heri Sulistiyono, 35, warga Gurawan, Kelurahan Pasar Kliwon.

Setiap harinya, Kyai Sukro yang berusia sekitar tujuh tahun tak mau berbagi makanan dengan kerbau sekandangnya. Makanan untuknya harus disediakan di tempat tersendiri.

“Suruh rayahan tidak mau. Apalagi waktu kirab kemarin, maunya jalan di depan sendiri, tidak mau dilanggar [disalip]. Kalau ada kerbau yang nyalip, langsung disundul pakai kepala.”

Di antara lima belas kerbau yang dia rawat, Heri paling sayang pada Kyai Joko. “Kerbau paling tua sifatnya paling ngemong. Tapi semuanya tetap saya perlakukan sama,” tutur pria yang mulai menjadi pawang kerbau pusaka sejak 2012 lalu.

Lain halnya dengan Heri, di antara tiga belas kerbau itu Sumanto merasa paling dekat dengan Nyai Juminten. “Kalau saya panggil Inten pasti langsung menengok, matanya itu paling indah dibanding kerbau lain. Juminten itu kesayangan karena saya merawat dia sejak lahir, saya ingat betul dulu saat usianya masih 15 hari sudah diikutkan kirab 1 Sura,” papar Sumanto.

Selain Nyai Juminten, Sumanto juga dekat Kyai Setu. “Nek wayahe adus karepe sik dhewe [Saat mandi maunya paling dulu],” tutur Sumanto.

Banyak warga yang menganggap kebo bule itu kerbau pusaka. Namun bagi Heri dan Sumanto kebo bule keturunan Kyai Slamet itu sama seperti kerbau lainnya. “Hanya warnanya yang membedakan, kulit putih makanya disebut kebo bule.”

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya