SOLOPOS.COM - Suyadi, 37, warga Dusun Penthur, Desa Selodoko, Ampel, ayah Wafa Dhia Faiha Khairunnisa, 8, terbaring di kasur, Rabu (27/7/2016). (Hijriyah Al Wakhidah/JIBI/Solopos)

Kisah tragis dari Selodoko, Ampel, Wafa, tetap memilih menemani ayahnya meski ada tawaran sekolah di Salatiga.

Solopos.com, BOYOLALI–Ponsel milik Ketua RT 001, Dusun Penthur, Desa Selodoko, Kecamatan Ampel, Boyolali, Sudardi, berdering saat dirinya berbincang santai dengan Suyadi, 37, ayah Wafa Dhia Faiha Khairunnisa, 8, Rabu (27/7/2016).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Suyadi yang terbaring di kasur karena mengalami kelumpuhan total menyimak pembicaraan Sudardi dengan suara pria dari ponsel tersebut. “Anaknya [Wafa] ndak mau sekolah jauh-jauh. Maunya sekolah di sini katanya biar tetap dekat sama bapaknya,” kata Sudardi. Saat itu, Sudardi dihubungi petugas dari Dinas Sosial Provinsi Jateng yang menawarkan Wafa untuk dirawat dan sekolah di panti asuhan milik Pemerintah Provinsi Jateng. Dinsos Pemprov Jateng ingin membantu biaya hidup dan sekolah Wafa sampai tingkat SMP.

Ekspedisi Mudik 2024

“Namun sekolah sama pantinya ada di Salatiga, Wafa ndak mau,” kata Suyadi. Suyadi sendiri keberatan jika harus berjauhan lagi dengan anak pertamanya setelah harus jauh dari anak keduanya, Ahmad Tsabiq Elfatin, yang dirawat keluarga almarhumah istrinya di Simo.

Suyadi mengalami kelumpuhan total sejak dua tahun lalu.  Sedangkan istrinya, Mulyati, meninggal dunia saat Wafa masih berusia 6,5 tahun, atau dua bulan setelah melahirkan adik Wafa. Di usia belia, Wafa harus ditempa beban hidup yang cukup berat.

“Semua akan ada hikmahnya. Wafa tumbuh menjadi anak yang lebih mandiri ketimbang anak seusianya. Bagi saya ini hikmah yang luar biasa. Sejak ibunya meninggal, dia ndak pernah mau dimandikan, maunya mandi sendiri. Mau sekolah pun, semua dia persiapkan sendiri,” ujar Suyadi.

Bagi Suyadi, Wafa adalah anak yang sangat gemati. “Terutama sama saya. Tidur selalu sama saya. Kadang dia juga yang merawat saya, menggantikan perban di luka yang ada di dekat tulang belakang saya, menyemprotkan obat pada luka. Kadang kalau saya mau minum obat, dia bilang, rene pak tak bukake obate.”

Suyadi sangat berharap Wafa bisa menjadi orang yang sukses. “Mau bagaimana lagi saya hanya bisa bantu doa. Seandainya bisa, saya ingin sekali membalas kebaikan orang tua teman-teman Wafa yang bersedia membantu biaya pendidikan anak saya.”

Kepada Suyadi, Wafa pernah menuturkan ingin menjadi seorang perawat. “Kenapa ndak dokter saja sekalian? Saya tanya begitu. Jawabnya kalau dokter itu memeriksa sekali sudah, kadang hanya dilihat, tapi kalau perawat pagi siang sore bisa merawat pasien. Dia ingin merawat bapaknya katanya.”

Di tengah ketidakberdayaannya, Suyadi sering menahan rindu pada anak keduanya yang sekarang tinggal di Simo. Dia pernah ditemui tiga orang yang berniat mengadopsi dan merawat Ahmad. Namun, dia teringat perjuangan istrinya saat hamil kedua sambil merawat dirinya yang lumpuh, dia tidak tega menyerahkan anaknya kepada orang lain.

“Ndak sampai hati saya. Perjuangan istri saya waktu itu luar biasa, dia melahirkan saya tidak bisa menunggui, saya sakit dia yang merawat, namun saat dia yang sakit saya tidak tahu. Sampai akhirnya dia pergi selama-lamanya.”

Sudardi menuturkan banyak lembaga sosial dan komunitas yang datang ke kampungnya untuk memberikan uluran tangan bagi Suyadi dan anaknya Wafa. “Yang terakhir dari Dinsos Provinsi Jateng. Setelah Wafa tidak bersedia sekolah di Salatiga, mereka siap membantu jika ke depannya Wafa menemui kendala sekolah terutama saat masuk SMP.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya