SOLOPOS.COM - Petugas dari Polsek Wonoasri Kabupaten Madiun menasihati Handoko, 30, warga RT 004/RW 001, Desa Plumpungrejo, Kecamatan Wonoasri, sebelum melepaskan rantai yang membelenggu kaki pria tersebut, Selasa (7/2/2017). (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

Kisah tragis, seorang pria yang memiliki gangguan kejiwaan asal Madiun dibuka rantainya karena dianggap telah sembuh.

Madiunpos.com, MADIUN — Setelah tujuh tahun menjalani hidup dengan kedua kaki dirantai, seorang pria yang mengalami gangguan kejiwaan asal Kabupaten Madiun akhirnya dibebaskan, Selasa (7/2/2017), karena dinilai kondisinya sudah membaik.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pria tersebut bernama Handoko, 30, warga RT 004/RW 001, Desa Plumpungrejo, Kecamatan Wonoasri, Kabupaten Madiun. Pembukaan rantai yang mengikat kaki Handoko disaksikan anggota Polsek Wonoasri, petugas kesehatan jiwa dari Puskesmas Wonoasri, perangkat Desa Plumpungrejo, anggota TKSK, dan keluarga Handoko.

Handoko mengaku merasa bebas setelah rantai yang mengekang kakinya sejak 2010 silam dibuka. Dibukanya rantai pengikat itu disambut gembira dan kecemasan dari keluarga.

Kakak kandung Handoko, Hartono, mengatakan Handoko mengalami gangguan jiwa pada saat berusia 21 tahun atau pada tahun 2008. Ia bercerita adiknya itu sempat mengenyam pendidikan hingga tamat SMP. Setelah tamat sekolah, Handoko sempat bekerja di rumah makan di Surabaya dan bekerja di pabrik kayu.

Hingga suatu ketika, lanjut dia, setelah selesai Salat Magrib berjamaah tiba-tiba Handoko mengalami kejadian aneh dan langsung pingsan. “Katanya seperti ditendang makhluk halus. Setelah selesai salat Magrib di musala langsung pingsan,” kata Hartono kepada wartawan, Selasa.

Setelah mengalami hal itu, kondisi kejiwaan Handoko semakin memburuk. Anak bungsu dari tujuh bersaudara itu kerap marah tanpa sebab dan memukul orang di sekitarnya. Handoko pun lebih mudah tersinggung, apalagi ketika keinginannya tidak segera dituruti.

“Biasanya kalau minta rokok ketika tidak segera diberi, dia langsung mengamuk,” kata Hartono. Atas kondisi tersebut, keluarga kemudian memutuskan untuk merantai dan menggembok kaki Handoko pada tahun 2010.

Hartono menjelaskan almarhum ayahnya pernah membawa Handoko berobat ke rumah sakit dan ke sejumlah tempat pengobatan alternatif. Handoko pernah dirawat di UPT Rehabilitasi Sosial eks Psikotik Kediri, RSJD Solo, dan RSJ Menur di Surabaya.

Dia menceritakan saat dirawat di RSJD Solo, Handoko melarikan diri dan pulang ke rumah. Padahal, saat itu adiknya itu baru menjalani perawatan sebulan.

Kakak kandung Handoko lainnya, Hariningsih, 45, mengaku sedikit khawatir setelah rantai dan gembok yang mengikat kaki Handoko dibuka. Dia takut Handoko mengamuk dan memukul orang lagi.

Ibu kandung Handoko, Sumiyati, 65, mengaku lega rantai yang mengikat kaki Handoko dibuka. Dia mengaku tidak tega melihat anaknya dirantai dan hidup dengan kaki terikat setiap hari. “Kalau saya sudah lama ingin rantainya dilepas. Soalnya kasihan,” kata dia.

Sementara itu, petugas kesehatan jiwa dari Puskesmas Wonoasri, Sujarwo, menyampaikan awalnya pembukaan rantai Handoko sempat ditolak keluarga dengan alasan keamanan. Namun, setelah diberi penjelasan akhirnya keluarga menyetujuinya.

Selama satu hingga dua hari ke depan, kata dia, Handoko masih dalam tahap pengawasan dari petugas. Petugas juga memberikan obat-obatan untuk kesembuhan Handoko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya