SOLOPOS.COM - Bayi Sahar Dofdaa yang mati mengenaskan karena kelaparan (Theguardian.com)

Begini kisah tragis di balik foto bayi Suriah yang meninggal kelaparan.

Solopos.com, BEIRUT – Foto bayi bernama Sahar Dofdaa di Suriah yang meninggal mengenaskan akibat kelaparan viral di dunia maya. Foto itu membuat banyak orang prihatin dengan krisis kemanusiaan akibat perang saudara di Suriah yang tak kunjung berakhir.

Promosi UMKM Binaan BRI Ini Jadi Kuliner Rekomendasi bagi Pemudik di Pekalongan

Dalam foto itu, kondisi bayi Sahar tampak sangat memprihatinkan. Tubuhnya sangat kurus dengan menyisakan tulang berbalut kulit. Gizi buruk membuatnya hanya mampu bertahan hidup selama satu bulan. Dia akhirnya mengembuskan napas terakhir setelah menjalani perawatan di rumah sakit Kota Hamouria, Ghouta Timur, Suriah, Sabtu (21/10/2017).

Foto bayi Sahar yang beredar itu akhirnya menguak kisah tragis di tanah kelahirannya. Bukan hanya Sahar, ada lebih dari 350.000 orang yang menderita gizi buruk, termasuk ibunya. Saking parahnya, ibu Sahar sampai tak bisa menyusui.

“Ibu Sahar tidak bisa menyusui. Dia bahkan tidak bisa berdiri karena menderita gizi buruk. Kebanyakan ibu tidak makan karena makanan yang ada disimpan untuk anak mereka. Bahkan, beberapa yang lain sampai tidak bisa menemukan makanan hinggan akhirnya meninggal,” ujar seorang penduduk bernama Siraj, seperti dikutip Solopos.com dari The Nation, Jumat (27/10/2017).

Warga di Ghouta Timur mengalami penderitaan semacam itu sejak 2012 lalu. Pasalnya, pemerintah telah mengepung wilayah tersebut dan sering berperang dengan kelompok pemberontak. Pada akhirnya, warga sipil menjadi korban lantaran terowongan yang dipakai sebagai jalur masuknya kebutuhan pokok terputus.

Satu-satunya jalur penyeberangan darat utama dikuasai oleh pemerintah. Warga sipil tidak diperkenankan melintas tanpa izin khusus. Akhirnya, mereka hanya bisa pasrah hidup dalam keterbatasan selama bertahun-tahun.

“Kami sangat menderita. Semua harga barang kebutuhan pokok sangat mahal. Kami tidak sanggup membelinya. Ini semua adalah salah pemerintah, pemberontak, dan pedagang yang membuat kehidupan kami menjadi sulit,” sambung Siraj.

Siraj menambahkan, harga kebutuhan pokok di Ghouta Timur tak sebanding dengan jumlah penghasilan penduduk. Upah pekerja selama seharian bekerja hanya cukup untuk membeli satu pak roti. “Upah kami sangat sedikit, hanya cukup membeli roti dengan harga paling murah. Roti itu masih harus dibagi dengan anggota keluarga di rumah,” imbuh dia.

Sementara seorang aktivis lokal bernama Ingky Sedky memperkirakan 70 persen penduduk Ghouta Timur menganggur. Selama ini mereka menggantungkan hidup pada bantuan pemerintah. Alhasil, saat terjadi konflik mereka kelaparan lantaran pemerintah tak lagi memberikan bantuan.

“Mereka mengalami gizi buruk karena terlalu bergantung pada bantuan. Terakhir kami ke sana memberikan bantuan pada September 2017. Kami memberikan makanan untuk 25.000 orang selama satu bulan. Jumlah itu jelas tak cukup karena banyak penduduk yang menganggur. Apalagi kondisi di sana saat ini sangat buruk,” terang Ingky.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya