SOLOPOS.COM - Samiyati (duduk, berjilbab), 57, berkumpul bersama anak dan cucu-cucunya di rumahnya di Gabusan, Jombor, Bendosari, Sukoharjo, Senin (20/7/2015). Samiyati dan mendiang suaminya sukses menghidupi keluarga dengan berjualan jamu. (Rudi Hartono/JIBI/Solopos)

Kisah sukses perantau ini datang dari seorang penjual jamu gendong asal Sukoharjo.

Solopos.com, SUKOHARJO – Samiyati, 57, meraih kesuksesan berkat berjualan jamu gendong. Dari hasil berdagang jamu, wanita yang tinggal di Gabusan RT 003/RW 005, Kelurahan Jombor, Bendosari, Sukoharjo, itu mampu menguliahkan anaknya-anaknya hingga ada yang menjadi dokter.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Selain itu, Samiyanti berhasil membangun rumah tiga lantai. Berdasarkan pengamatan , rumah Samiyati sangat menonjol di banding bangunan rumah lainnya di Gabusan. Sebab, rumah warga lain di sekitarnya tak ada yang setinggi gedung itu.

Samiyati berkisah, dirinya bersama mendiang suaminya, Budiono, menjadi saksi betapa kerasnya hidup di tanah perantauan di Jayapura, Papua, pada 1977 silam.

Samiyati menceritakan kegetirannya saat kali pertama bekerja menggendong tenggok berisi delapan botol dipenuhi jamu buatannya sendiri yang beratnya mencapai 15 kg

Sejak pagi buta dia harus membuat jamu beras kencur, kunyit asam, kunyit sirih, sambiloto, dan lainnya. Menjelang fajar menyingsing dia berangkat bekerja dengan menumpang angkot.

Sesampainya di tempat tujuan dia menyusuri jalanan penuh batu sepanjang 5 km dengan membawa satu tujuan, mencari pembeli jamunya.

“Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya setelah lulus SD saya ikut saudara di Sumatra membantu berjualan jamu. Setelah itu pada 1977 saat berusia 18 tahun, saya menyusul kakak saya di Jayapura. Di sana saya berjualan jamu gendong sendiri. Botol numplak [tumpah], kesandung, jatuh, sudah menjadi makanan saya sehari-hari waktu itu. Pas awal-awal menggendong jamu itu rasanya punggung seperti mau patah. Tapi, saya enggak pernah menyerah,” kata Samiyati.

Setahun berlalu dia bertemu lelaki dari Plesan, Nguter, Sukoharjo, yang akhirnya menjadi suaminya. Kala itu Budiono juga berjualan jamu, namun dengan dipikul.

Setelah menikah mereka tetap berjualan jamu hingga 21 tahun lamanya. Dari hasil perjuangan itu mereka bisa membeli sepeda motor Honda 70 yang digunakan Budiono untuk berjualan.

Selain itu mereka bisa membeli tanah seluas 500 meter persegi di Gabusan tempat lahir Samiyati yang kala itu seharga Rp4,5 juta. Mereka membangun rumah cukup besar di lahan tersebut.

Sampai akhirnya pada 1998 mereka bisa menyewa kios yang kemudian diberi nama Depot Jamu Sami Rejo. Tak hanya itu, mereka juga mendirikan warung makan tak jauh dari kios jamu. Kedua usaha tersebut beromzet Rp20 juta/bulan pada tahun itu.

“Dulu saya setiap ada rezeki membeli emas. Waktu itu 1 gram emas harganya Rp2.000. Kalau butuh sesuatu menjual emas. Bisa membangun rumah tiga lantai di belakang rumah ini juga dari hasil menjual jamu,” beber dia.

Berawal dari jamu gendong, kini Samiyati telah memiliki rumah mewah. Iajuga berhasil menguliahkan keempat anaknya hingga menjadi dokter, lulusan universitas di Australia dan sebagainya.

Sejak setahun lalu Samiyati berhenti bekerja karena dorongan keempat anaknya yang memintanya beristirahat. Meski begitu, perempuan empat cucu itu masih melayani pemesanan jamu dari Jayapura.

Anak bungsunya, Novi Indrianisa, 26, mengatakan liku-liku hidup kedua orang tuanya menjadi motivasi bagi dirinya dan ketiga kakaknya untuk selalu tekun dan telaten dalam bekerja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya