SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<p lang="zxx"><strong>Solopos.com, SOLO &ndash; </strong>Perbedaan status berdasarkan jenis kelamin ternyata masih terjadi di era modern ini. Masih banyak orang yang menganggap seorang pria lebih tinggi kedudukannya dibandingkan wanita. Tanpa disadari, <a href="http://semarang.solopos.com/read/20180422/515/911932/kisah-tragis-nama-kartini-diagungkan-begini-nasib-keturunannya-sekarang">ketimpangan gender</a> ini membuat segelintir orang merasa tertekan. Bahkan, ada orang yang dipaksa menyembunyikan identitas asli hanya agar dipandang tinggi oleh masyarakat.</p><p lang="zxx">Nasib <a href="http://news.solopos.com/read/20180415/497/910070/kisah-tragis-diet-vegan-30-tahun-wuhan-nyaris-lumpuh-">tragis</a> semacam itu dialami oleh seorang wanita bernama Sitara Wafadar. Gadis asal Afghanistan ini dipaksa menyamar menjadi seorang pria selama 18 tahun. Gadis malang ini tinggal bersama keluarganya di Nagarhar, Afghanistan Timur.</p><p lang="zxx">Setiap pagi, Sitara berdandan layaknya remaja pria mengenakan kemeja longgar, celana panjang, dan sandal jepit. Kadang, dia menutupi rambut cokelatnya dengan syal dan membesarkan suaranya. "Saya selalu berpenampilan seperti pria. Bahkan, saya hampir lupa kalau sebenarnya seorang wanita," kata Sitara seperti dilansir <em>NDTV, </em>Senin (23/4/2018).</p><p lang="zxx">Selama ini, ayah Sitara, Noor, selalu menyebut anaknya sebagai seorang pria. Itulah sebabnya Sitara harus menjalani tradisi <em>bacha poshi </em>yang artinya berpakaian seperti laki-laki. Hal ini harus dilakukan lantaran di Afghanistan seorang pria dianggap memiliki kedudukan yang tinggi.</p><p lang="zxx">"Ayah selalu berkata kepada orang-orang jika saya adalah putra sulungnya. Sebagai putra sulung, saya sering mewakilinya menghadiri berbagai acara," sambung Sitara.</p><p lang="zxx">Tradisi <em>bacha poshi </em>ini telah mengakar di kehidupan masyarakat Afghanistan yang lebih menghargai <a href="http://viral.solopos.com/read/20180324/486/905555/kisah-tragis-terjepit-kursi-bioskop-nyawa-pria-ini-melayang">pria</a> daripada wanita. Jadi, keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki akan meminta putri mereka melakukan tradisi tersebut agar hidup menjadi lebih aman. Selain itu, para gadis yang melakukan tradisi ini juga bisa merasakan kebebasan di luar rumah. Biasanya, kewajiban menjadi pria ini berakhir saat usia seorang gadis sudah akil balig.</p><p lang="zxx">Tapi, Sitara tetap menjalankan tradisi tersebut untuk melindungi dirinya saat berada di tempat kerja. Sebab, dia harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya. "Banyak orang mengatakan saya tidak perlu menyamar sebagai pria lagi. Tapi, saya tetap melakukannya demi melindungi diri. Jika saja teman kerjaku tahu saya adalah wanita, maka akan banyak masalah yang timbul. Saya bisa saja mengalami pelecehan seksual atau bahkan diculik. Padahal saya harus bekerja untuk membantu ayah menafkahi keluarga," imbuh dia.</p><p lang="zxx">Meski telah mendarah daging, tradisi <em>bacha poshi </em>berbahaya bagi perkembangan mental seorang gadis. Hal ini diungkapkan oleh pakar sosiologi dari Universitas Kabul, Afghanistan, Baryalai Fetrat. "Para gadis ini akan mengalami kesulitan menghadapi kehidupan setelah selesai menjalankan tradisi <em>bacha poshi. </em>Mereka dibiasakan menjadi seorang pria sejak kecil. Setelah menikah, mereka akan mengalami kebingungan yang bisa berujung pada kekerasan dalam rumah tangga karena kurang mengerti peran istri," tegas Baryalai Fetrat.</p>

Promosi Direktur BRI Tinjau Operasional Layanan Libur Lebaran, Ini Hasilnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya