SOLOPOS.COM - Perjuangan ledek dan sinden menuju lokasi ritual Ngalangi di pengalapan di Pantai Nglambor, Purwodadi, Tepus Gunungkidul. (JIBI/Harian Jogja/Kusnul Isti Qomah)

Tuntutan pekerjaan terkadang membuat seseorang harus mau melalui medan yang berat. Tak ada kata berhenti, apalagi menyerah. Ini terlihat dalam kehidupan seniman ledek asal Gunungkidul. Naik turun tebing yang terjal, adalah hal biasa. 

“Baru sekali ini,” seru Ayu Candra Kirana, seorang ledek asal Kecamatan Semin. Kalimat itu terucap dari bibirnya yang dipoles gincu warna merah muda.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Gadis ini baru saja menuruni dan menaiki batu karang di Pantai Nglambor. Wanita yang akrab disapa Caca ini tidak sendirian. Caca bersama dua rekannya, Linda dan Merian merasa sudah niat bergabung dengan kesenian ledek.
Caca dan Linda bertugas menjadi ledek, sedangkan Merian menjadi sinden.

Mereka berangkat dari Semin pukul 07.00 WIB, Senin (22/9/2014). Menuju Desa Purwodari, ketiga wanita itu memiliki tujuan untuk menghibur para penduduk desa. Tak terbersit sedikit pun di benak mereka, jika harus melalui medan berat ketika sampai di Purwodadi.

Ekspedisi Mudik 2024

Kedatangan mereka untuk melaksanakan prosesi Ngalangi di Pantai Nglambor. Sebuah prosesi yang dikenal pula dengan nama Bersih Segara, ritual yang rutin digelar setiap tahun. Ketiga wanita itu pun diantar warga ke lokasi Ngalangi.

Semula, mereka kira akan langsung menuju gedepe (tratag yang terbuat dari kayu dengan atap daun kelapa) dekat Watu Kaum. Di situlah mereka akan menjentikkan ujung sampur dengan gemulai.

Siapa sangka, mereka harus berpetualang terlebih dahulu. Dengan mengenakan pakaian ledek lengkap dengan sanggul, mereka harus menuruni batu karang.

Warga pun selalu siap mengamankan dan membantu ketiga wanita itu menuju sebuah cerukan batu karang yang disebut pengalapan untuk rangkaian ritual dalam Ngalangi.
“Ini hot and cold namanya,” celoteh Caca lagi.

Ketika menapaki karang, mereka harus rela bertelanjang kaki agar tidak terpeleset. Ketika harus menuruni karang yang cukup curam, mereka juga harus menyingsingkan jarit. Dengan ragu-ragu mereka melangkahkan kaki. Namun, warga terus membujuk mereka dan menjamin keamanan mereka.

“Saya dua kali tampil di Ngalangi, tapi dulu tidak sampai menuruni karang. Namun, karena tuntutan, saya harus siap,” ujar dia.

Ia senang menjadi bagian ritual yang masih dilestarikan warga. Sebuah ritual yang ia harapkan bisa membawa kemakmuran bagi semua.

Jika Caca sudah dua kali tampil di Ngalangi, berbeda dengan Linda dan Merian. Mereka baru pertama kali tampil di Ngalangi. Mereka juga baru satu kali ini melalui medan yang berat.

“Wow, menakjubkan sekali,” ujar Linda.

Harus bersusah payah menuju tempat ritual membuatnya mendapatkan pengalaman luar biasa. Menyibakkan sampur di tepian pantai membuatnya istimewa. Pengalaman yang menurutnya tidak bisa dilupakan.

Seusai mengikuti ritual di pengalapan, mereka menuju batu kaum untuk menari. Warga yang sudah datang duduk setengah lingkaran sembari menyaksikan kedua ledek menari dengan gemulai.

Ritual ini dilaksanakan sebagai tanda syukur warga dan permohonan akan kelimpahan rezeki dan kemakmuran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya