SOLOPOS.COM - Ampyang buatan Misih, warga Dusun Brambangan RT 002 RW 017, Desa Gunungan, Kecamatan Manyaran, Wonogiri, Selasa (8/3/2022). (Solopos/Luthfi Shobri Marzuqi)

Solopos.com, WONOGIRI—Kisah mulanya berawal dari Satinah. Puluhan tahun lalu, ia membuat ampyang yang biasa dijual di pasar tradisional. Warga Dusun Brambangan RT 002 RW 017, Desa Gunungan, Kecamatan Manyaran, Wonogiri itu lalu sukses berjualan ampyang dan menjadikan namanya terkenal di masyarakat sekitar.

Kesuksesan menjadi produsen ampyang tak berhenti di Satinah karena ia turut mewariskan usaha ke lima anak perempuannya. Salah satunya Misih, 55. Anak nomor dua Satinah itu mengatakan belajar dari Ibunya dalam membuat ampyang.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

“Sudah sejak usia 25 tahun, waktu itu saya ingat kalau anak saya yang pertama masih berumur lima tahun dan sekarang sudah berumur 35,” kisah Misih kepada Solopos.com, Selasa (8/3/2022).

Baca Juga: Kisah Sukses Pemuda Karanganyar Raup Ratusan Juta Rupiah dari Jualan Ampyang dan Sambel Pecel 

Waktu kali pertama berjualan ampyang, ibu dan ayahnya memberi modal senilai Rp6.000. Besaran uang yang 30 tahun lalu dinilai tak sedikit itu digunakan Misih berjualan ampyang di pasar tradisional. “Saya bikin dan jual eceran dulu setiap hari, melanjutkan usaha Ibu,” terangnya.

Seiring waktu berjalan dari tahun ke tahun, ampyang buatannya selalu laku dan mendapat pesanan, yang bahkan seringkali dijadikan oleh-oleh bagi warga pendatang maupun perantau dari kampung halaman ke daerah lain.

Oleh karenanya, produksi ampyang Misih berhasil menyaingi usaha Ibunya dan lebih jauh melanjutkannya dan bertahan hingga sekarang. Seperti saat Solopos.com berkunjung ke rumahnya, Selasa (8/3/2022) siang. Kebetulan Misih telah selesai memasak ampyang yang rencananya akan dikirim ke Kecamatan Tirtomoyo.

Baca Juga: 239 UMKM Wonogiri Bermitra dengan Rumah BUMN

Ya, Misih sudah sampai menjangkau kecamatan lain, selain rutin menyetor ke toko-toko di Kecamatan Manyaran. “Di Tirtomoyo itu sudah ada sembilan toko yang sudah berlangganan ampyang buatan saya. Ampyang yang hari ini [Selasa] dan besok [Rabu] saya masak itu buat dikirim Kamis [10/3/2022],” ujarnya. Diketahui jumlahnya sekitar 20 kilogram ampyang dalam bentuk kemasan mika.

Dan 20 kilogram itu tak hanya milik Misih, namun juga anak-anak Satinah lain yang ikut terjun sebagai produsen ampyang di Dusun Brambangan. “Semuanya tinggal di sini [satu dusun] dan produksi ampyangnya sudah menyebar di kecamatan hingga kabupaten lain,” jelasnya.

Penyebaran produksi ampyang buatan keluarga penerus Satinah tersebut antara lain di Kecamatan Manyaran, Tirtomoyo, Ngadirojo, Wonogiri, hingga Watukelir dan Tawang (Sukoharjo). Populernya produksi ampyang milik generasi penerus Satinah itu lantas membuat Dusun Brambangan di Desa Gunungan, Kecamatan Manyaran, Wonogiri, dicap sebagai sentra industri ampyang.

Baca Juga: Cari Makanan Buka Puasa dan Kebutuhan Lebaran? Coba Mampir Ke Bazar Ramadan UMKM Wonogiri!

Uniknya, lanjut Misih, selama membuat ampyang dari usia produktif sampai menjelang usia senja, Ia tak pernah mengandalkan karyawan, bahkan anak-anaknya tak bisa membuat ampyang seperti dirinya. Dari kedua tangannya, Misih mengaduk campuran gula, kacang, dan bahan-bahan lainnya. “Paling anak-anak nanti membantu sewaktu membungkusi ampyang,” ucapnya.

 

Masalah

Yang jadi problem dalam produksi ampyang Misih hanyalah pandemi Covid-19 dan kenaikan harga gula dan kacang. Ia menyebut, sejak pandemi Covid-19 terjadi, seringkali ampyangnya tak laku. “Dari yang biasanya dalam satu bulan menyetor enam kali, bisa jadi hanya dua kali,” jelas Misih.

Itu terjadi karena kebanyakan warga yang membeli ampyang terdiri atas kalangan perantau dari Wonogiri ke daerah lain, yang saat mereka mudik menyempatkan membeli ampyang sebagai oleh-oleh. Meski demikian Misih mengaku saat ini penjualannya pelan-pelan pulih.

Baca Juga: Ternyata Pendaftaran Program Bantuan UMKM Wonogiri Gelombang II Diubah, Tak lagi Online

Kemudian, kenaikan harga gula pasir dan kacang turut memengaruhi mekanisme produksi ampyang milik Misih. Diketahui dalam pembelian terakhir, kenaikan kacang mencapai Rp6.000 sedangkan gula pasir naik Rp2.000. Guna mengatasi kenaikan harga, produksi ampyang miliknya lebih kecil dari ukuran biasanya. “Kalau untuk menaikkan harga ampyang soalnya saya takut kalau nanti jadi mengacaukan pasar,” ungkap Misih saat ditanyai alasannya tak menaikkan harga ampyang.

Selain mengecilkan ukuran, sambungnya, variasi produk ampyang juga ditambah dengan penggunaan kelapa sebagai bahan utama pengganti kacang. Variasi itu juga digunakan sebagai usaha kreativitas Misih di tengah kondisi yang menghimpit.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya