Kisah Sedih Di Balik Kirab Budaya Warga Soropaten Klaten 

<p><strong>Solopos.com, KLATEN</strong> –<a href="http://soloraya.solopos.com/read/20180911/493/939139/ada-kirab-legondo-di-klaten-ini-maknanya" title="Ada Kirab Legondo di Klaten, Ini Maknanya"> Arak-arakan</a> berjalan pelan karena di kiri-kanan jalan dipenuhi penonton yang berjejalan. Panas mentari membakar kulit siang itu tak dihiraukan demi menyaksikan kirab gunungan, pusaka, hingga kereta kencana.</p><p>Kirab Budaya Suro itu sepintas terlihat seperti kirab pada umumnya. Kirab dibuka dengan barisan pasukan pengibar bendera, marching band, lalu, sejumlah orang mengenakan beskap membawa pusaka dan aneka gunungan mulai dari apam hingga hasil bumi.</p><p>Iringan-iringan itu menjadi lebih meriah saat serombongan penari barongsai berpentas. Tak berselang kemudian, dua barong dari Reog asal Jogonalan juga berpartisipasi.&nbsp;</p><p>Penonton juga disuguhkan dua kereta kencana milik Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang ditarik dua ekor kuda berjalan di sela-sela<a href="http://soloraya.solopos.com/read/20180826/493/936201/di-klaten-15.000-tahu-bakso-dikirab-lalu-diperebutkan-warga" title="Di Klaten, 15.000 Tahu Bakso Dikirab lalu Diperebutkan Warga"> kirab gunungan.</a></p><p>Seusai berjalan mengelilingi Dukuh Pandanan, Desa Soropaten, Karanganom, Klaten, rombongan kirab tiba di pengujung rute sebelum memasuki pendapa di mana arak-arakan bermula.&nbsp;</p><p>Warga yang tak sabar menanti tergopoh-gopoh berebut aneka gunungan apam dan sayur-mayur. Di sela-sela rebutan gunungan, penumpang dari kereta kencana melemparkan udhik-udhik atau uang baik koin dan kertas kepada penonton.</p><p>Kirab itu sudah turun temurun digelar di desa tersebut. Kirab bermula dari pagebluk atau wabah penyakit menimpa Dukuh Pandanan 92 tahun lalu.</p><p>Pada 1926, penyakit aneh menyerang warga desa. Saat pagi hari, warga sakit lalu meninggal pada sore harinya. Begitu pula saat warga sakit pada sore hari, paginya meninggal dunia.&nbsp;</p><p>Kasus itu berulang hingga 80 warga desa meninggal dunia. Melihat hal itu, seorang sesepuh desa, Kyai Karsorejo, menggelar pentas wayang kulit dengan lakon Baratayudha Jaya Binangun.&nbsp;</p><p>Seusai pentas, warga berangsur sehat hingga terbebas dari pagebluk. Sebagai bentuk suka cita, Kiai Karsorejo lalu menggelar kirab sederhana yang diikuti sesepuh desa.&nbsp;</p><p>&ldquo;Mereka keliling kampung. Rutenya kurang lebih sama dengan yang dilalui kali ini. Kami hanya meneruskan. Istilahnya ngurip-uripi budaya Jawa,&rdquo; ujar Ketua Panitia Kirab Budaya Suro, Sri Nugroho, saat ditemui wartawan di sela-sela acara, Minggu (16/9/2018).</p><p>Kyai Karsorejo juga dikenal memiliki kekerabatan dengan Paku Buwono (PB) X. Hal itu terlihat dari keikutsertaan pusaka Keraton seperti tombak dan kerbau keturunan Kyai Slamet termasuk dua kereta kencana.&nbsp;</p><p>PB X pernah meminta Presiden Pertama RI Sukarno untuk menemui Kyai Karsorejo saat hendak meminta restu berjuang demi kemerdekaan Indonesia.&nbsp;</p><p>&ldquo;Sukarno mencari-cari Kyai Karsorejo tapi&nbsp; tidak ketemu. Keduanya akhirnya bertemu di sawah Dukuh Pandanan. Di lokasi pertemuan itu lantas dibangun Tugu Wases untuk memperingati pertemuan keduanya,&rdquo; terang Nugroho.</p><p>Bupati Klaten, Sri Mulyani, mengapresiasi pergelaran Kirab Budaya Sura di Desa Soropaten. Kirab itu diharapkan bisa menambah kerukunan warga Klaten.&nbsp;</p><p>Tak hanya itu, keberadaan kirab menjadi ajang promosi potensi desa setempat untuk menarik <a href="http://soloraya.solopos.com/read/20180519/493/916972/grand-canyon-socokongsi-dijadikan-wisata-spiritual-klaten" title="Grand Canyon &amp; Socokongsi Dijadikan Wisata Spiritual Klaten">wisatawan</a> datang ke Soropaten. &ldquo;Dampaknya adalah kesejahteraan masyarakat meningkat. Hal itu mewujudkan terbentuknya masyarakat yang maju, mandiri, dan berdaya saing,&rdquo; kata Bupati.&nbsp;</p>

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi