SOLOPOS.COM - Anjun Maulana, 20, bersama kedua orang tuanya di Perumahan Gemolong Permai, Gemolong, Sragen, Rabu (8/7/2020). (Solopos.com/Moh Khodiq Duhri)

Solopos.com, SRAGEN – Seorang pemuda di Sragen, Jawa Tengah, Anjun Maulana, 20, terpaksa putus sekolah karena kondisinya lumpuh. Dia hanya merasakan bangku sekolah hingga jenjang SMP.

Kondisi fisik Anjun yang tidak sempurna membuat orang tuanya memutuskan tidak mendaftarkannya sekolah di jenjang SMA. Mereka khawatir kondisi Anjun kian memburuk.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Keputusan itu sudah saya konsultasikan dengan guru, dengan pertimbangan dokter dan saya bicarakan sendiri dengan anak saya. Kalau mau masuk SMA, akan semakin repot karena aktivitas yang dijalani bakal lebih berat,” terang Rahmat, ayah Anjun saat berbincang dengan Solopos.com, Rabu (8/7/2020).

Rahmat menjelaskan Anjun Maulana mudah lelah karena tubuhnya hanya mampu menyerap 50% nutrisi yang dikonsumsi.

Dita Leni Ravia, Remaja Cantik dari Gunungkidul Sekolah di Jurusan Otomotif Loh

“Apalagi, anak saya itu mudah sekali capai karena asupan nutrisinya hanya terserap 50% ke tubuh. Jadi, sehari-hari anak saya ya hanya berdiam diri di rumah,” sambung Rahmat.

Lahir Normal

Anjun Maulana terlahir dalam normal pada 20 Juni 2000 silam. Dia merupakan anak pertama dari pasangan Rahmat, 44, dan Eko Sriwinarti, 46, warga Perum Gemolong Permai RT 012/RW 001, Gemolong, Sragen.

Kelahiran Anjun Maulana melengkapi kebahagiaan Rahmat dan Eko Sri Winarti pada masa itu. Namun, kebahagiaan itu berubah jadi haru saat mereka menemukan kejanggalan pada pertumbuhan buah hatinya yang baru berusia beberapa bulan.

“Perut anak saya membengkak besar dan harus menjalani perawatan selama 30 hari. Ternyata ada pembengkakan pada ginjal sebelah kanan. Ada 1,5 liter nanah yang tertampung di ginjal sehingga anak saya harus menjalani operasi pengangkatan ginjal kanan pada usia enam bulan,” kenang Sriwinarti saat ditemui wartawan di rumahnya, Rabu (8/7/2020).

Cerita Mbah Tarso Purwokerto 5 Tahun Hidup di Gubuk Reyot dari Karung Bekas di Pinggir Kali

Pada usia sembilan bulan, Anjun Maulana harus dikhitan sesuai saran dokter. Ini setelah terjadi gangguan pada saluran urine. Segalanya berjalan seperti normal hingga Anjun berusia lima tahun.

DBD

Ia tumbuh menjadi anak seperti pada umumnya yang suka bermain dan berlari. Hingga usia sembilan tahun, Anjun kembali dilarikan ke rumah sakit karena serangan penyakit demam berdarah dengue (DBD). Namun, sesuatu yang tidak terduga justru terungkap setelah Anjun menjalani perawatan karena DBD itu.

“Saat itu baru ketahuan ternyata ada penyempitan pembuluh darah dari jantung. Dampaknya, nutrisi makanan yang dikonsumsi tidak bisa diserap ke organ tubuh yang paling jauh yakni kaki. Hal itu membuat kaki dia mudah lemas,” ujar Rahmat menimpali.

Selama belajar di SD, Anjun Maulana dikenal sebagai anak yang cerdas. Di SD SBI Gemolong Sragen [sekarang SDN Gemolong], Anjun Maulana selalu mendapat peringkat lima besar dalam setiap ujian semester.

Ngambek Tak Dibelikan Kue Ultah, Bocah Tanon Sragen Nekat Gowes Sampai Ngawi

Anjun Maulana yang mahir berbahasa Inggris itu pun bisa diterima di SMPN 1 Gemolong, salah satu SMP favorit di Kabupaten Sragen. Pada usia 14 tahun, tepatnya kelas VIII SMP, kedua kaki dia sudah mulai goyah saat digunakan berjalan.

“Setiap hari, saya harus menggendongnya sampai kelas dan menjemputnya pulang. Baru pada Kelas IX, anak saya sudah tidak bisa jalan sama sekali. Kadang teman-temannya sampai kerepotan membopong jika anak saya tiba-tiba terjatuh,” papar Rahmat yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga sekolah itu.

Pembengkokan Tulang Belakang

Rahmat kemudian membawa Anjun ke RS Ortopedi Prof. Dr. Soeharso Solo. Dari sana diketahui adanya pembengkokan tulang belakang dari Anjun. Dokter kemudian menyarankan Anjun memakai alat penyangga tulang belakang senilai Rp3,5 juta.

Setelah Mbah Minto, Giliran Mbah Suro Dembik Klaten Jadi Idola, Siapa Dia?

Namun, alat yang sudah terbeli itu pada akhirnya tidak terpakai karena Anjun merasa tidak nyaman. Setelah dinyatakan lulus SMP, Rahmat harus mengambil keputusan berat yakni tidak menyekolahkan Anjun ke jenjang pendidikan berikutnya.

Bagi Rahmat yang sehari-hari bekerja sebagai petugas jaga sekolah, ujian yang ia hadapi terbilang berat. Dengan gaji bulanan yang tidak lebih dari Rp1 juta, Rahmat cukup kesulitan membiayai seluruh pengobatan anaknya. Beruntung pada 2012, anaknya bisa diikutkan program BPJS Kesehatan.

“Sebelum 2012, semua biaya pengobatan anak saya harus ditanggung sendiri. Setelah ada BPJS Kesehatan, sedikit banyak membantu. Namun, untuk obat yang mahal dan tindakan medis seperti rekam jantung tidak dikaver BPJS. Sekali rekam jantung dulu habis biaya Rp600.000,” papar Sri Winarti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya