SOLOPOS.COM - Reklame jasa penyedia sales promotion girl (SPG) terpasang di tepi Jl Adisucipto, Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah, Minggu (11/5/2014). (Septian Ade Mahendra/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Besarnya kebutuhan publik atas sales promotion girls (SPG) memicu berkembangnya biro penyedia perempuan-perempuan pemasar itu. Nyatanya, citra miring SPG membuat biro itu menuai teror kala memublikasikan secara terbuka jasa penyediaan SPG itu.

Reaksi negatif itulah yang diterima pengelola usaha online yang berbasis website www.jasaspg.com itu. Lelaki yang mewanti-wanti agar identitasnya tak dipublikasikan itu mengaku menerima ancaman selang beberapa hari setelah reklamenya bertebaran di tepian jalan di seantero Solo, awal Mei lalu.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Sebuah pesan teror dengan nada penuh amarah. “Cabuti spanduk di tepi jalan, atau kantormu kami bakar,” begitu bunyi pesan yang diterima pengelola situs jasa pengerah SPG tersebut.

Iklan tersebut memang memampang foto seksi SPG. “Ada 200-an lebih spanduk yang kami pasang. Spanduk itu resmi dan bayar pajak. Kenapa diminta mencabuti?” ujarnya.

”Pemodal yang berkuasa. Agency itu kepanjangan tangan kapitalis.”

Peristiwa ancaman itu, bagi pengelola jasa SPG memiliki dua makna. Pertama, bahwa itu adalah respons ketergesaan publik atas profesi SPG.

Kedua, itu pertanda bahwa pesan atau strategi pemasaran jasa SPG di Solo mulai ditangkap masyarakat. “Saya maknai positif saja. Berarti, pesan atas iklan itu mengenai sasaran. Karena masyarakat kini sudah heboh,” jelasnya.

Ia tak menampik adanya kehebohan, untuk tak menyebut istilah kontroversial atas jasa SPG yang ia kelola secara vulgar di Solo. Menurutnya, citra miring atas SPG memang masih kuat.

Hal itu setidaknya terbaca dari sejumlah pesan di website yang ia kelola. “Hampir 80% pemesan SPG di website selalu bertanya tentang ada tidaknya SPG plus yang bisa dipakai pribadi,” ungkapnya.

Bukan Profesi Murahan

Fakta inilah yang menjadi pekerjaan rumahnya untuk menunjukkan kepada publik bahwa SPG bukanlah profesi murahan. SPG merupakan pekerjaan yang profesional.

“SPG di sini ada pembinaan, ada legalitasnya, ada pengawasan, dan proses rekrutmen melalui seleksi track record,” ujarnya.

Koordinator SPG Metro Girl, Tiara menjelaskan, rata-rata SPG memang lemah dari sisi pemahaman hukum dan legalitas pekerjaan. Mereka ketika diminta menandatangani perjanjian kerja selalu bertanya tentang kegunaannya.

“Padahal, perjanjian kerja itu bisa menjadi dasar SPG ketika menuntut agenci yang nakal atau tak segera bayar honor,” papar perempuan yang kini kerap berjilbab ini.

Ia menambahkan, peran agency SPG sebenarnya lebih pada pembinaan dan tempat keluh kesah para SPG. Maklum saja, problem SPG di lapangan selama ini cukup pelik, mulai ulah nakal SPG dan agenci, tak adanya proteksi SPG, hingga citra miring yang telanjur melekat pada SPG.

“Nah, peran agency SPG di sini sangat vital dalam mencarikan solusi atas persoalan di atas,” paparnya.

Kepanjangan Tangan Kapitalis

Menanggapi hal ini, aktivis perempuan dari Universita Muhammadiyah Surakarta (UMS) Dewi Candraningrum menyebut fenomena agenci SPG tak lebih sekadar kepanjangan tangan para kapitalis dalam mendesain perempuan agar punya nilai jual.

“Seperti iklan di TV. Perempuan yang diminta memamerkan tubuh itu karena ada kuasa sutradara di belakangnya. Nah, inilah pemodal yang berkuasa. Agency itu kepanjangan tangan kapitalis,” tudingnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya