SOLOPOS.COM - Ratu Keroncong Waldjinah mengikuti rilis film yang digelar di Galeri Batik Walang Kekek di Jl. Parang Cantel No 31 Mangkuyudan, Solo. Rilis film dokumenter ini ini bertepatan dengan ulang tahun ke-7 CV Mawar Magenta sebagai induk dari Maleopict Production House.

Solopos.com, SOLO — Maleopict Production House merilis garapan terbarunya, sebuah film pendek untuk Maestro Keroncong yang berasal dari Solo, Waldjinah. Film dokumenter ini menarik ditonton karena ikut mengisahkan batik yang kali pertama dipakai Waldjinah saat mulai menjadi penyanyi keroncong.

Rilis film diadakan di Galeri Batik Walang Kekek yang beralamat di Jl. Parang Cantel No 31 Mangkuyudan, Solo ini bertepatan dengan ulang tahun ke-7 CV Mawar Magenta sebagai induk dari Maleopict Production House.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Film pendek tribute to Maestro Keroncong Waldjinah mengambil setting Kota Solo dengan setiap sudutnya yang memberikan rasa hangat sebagai ‘rumah’.

Film pendek ini mengangkat citra Waldjinah yang selalu mengenakan kain batik (jarik) dan kebaya sejak ia mulai berkarier di dunia seni musik keroncong. Meski zaman terus berubah Waldjinah dan kebayanya tidak berubah. Produksi film dokumenter itu juga mendapatkan dukungan dari BNI.

Baca Juga: Kado Menyambut Ultah ke-76 Ratu Keroncong Waldjinah

Berkarier sejak usia 12 tahun, pada 1958 Waldjinah memberanikan diri mengikuti kontes Bintang Radio RRI. Sejak dari itu Waldjinah memakai kain batik. Dan masih tersimpan rapi hingga sekarang meskipun sudah ada bagian yang robek karena termakan usia.

Motif Kembang Kacang menjadi motif favorit Waldjinah. Pada kejuaraan menyanyi pertama yang diikuti oleh Waldjinah ini ia menjadi juara pertama dan mendapat julukan sebagai Ratu Kembang Kacang.

Nama batik kembang kacang sebagai penanda awal kariernya menuju penyanyi keroncong profesional. Ada kisah menarik di balik batik kembang kacang ini.

Berasal dari keluarga pembatik, saat mengikuti festival kejuaraan Bintang Radio RRI tersebut, Waldjinah diberi kain batik motif sandang pangan oleh saudaranya. Batik tersebut dibuat oleh keluarga jauh sebelum Waldjinah mengikuti kejuaraan.

Kain batik ini berusia hampir 100 tahun ini memiliki kisah yang begitu dalam bagi Sang Maestro Keroncong. Hingga saat ini, Waldjinah masih menyimpan pola-pola batik peninggalan dari ibunya, mbakyu-nya (kakak perempuan) dan kangmas-nya (kakak laki-laki).

Baca Juga: Ternyata Waldjinah Tak Suka dan Enggan Menyanyikan Lagu Ini

Kain batik terus dikenakan Waldjinah hingga saat ini. Bahkan setiap tahun, sebagai penghargaan untuk Sang Maestro, setiap 17 Agustus Waldjinah mendapat undangan untuk ikut upacara di Istana Negara, ia tetap mengenakan kebaya dan kain batik.

Selain motif Kembang Kacang, Waldjinah terus mengenakan batik-batik tulis buatan keluarganya dalam berbagai kesempatan. Seperti motif Kembang Kantil yang dikenakan oleh Waldjinah saat mendapatkan penghargaan sebagai Ratu Keroncong Indonesia dari Presiden Pertama RI Ir Soekarno pada tahun 1965.

“Kain batik tulis motif Kembang Kantil merupakan lambang cinta manusia kepada Tuhan dan kepada sesama,” tutur Waldjinah.

Saat mengikuti kejuaraan tersebut Waldjinah dalam kondisi hamil dan mendapatkan nama dari Presiden Soekarno untuk sang anak, Bintang.

“Tidak hanya Presiden Soekarno, waktu Wali Kota Joko Widodo, kami mendeklarasikan Solo sebagai Kota Keroncong bersama almarhum Pak Gesang,” ungkap Waldjinah.

Mawar Magenta

Kecintaan Waldjinah pada Batik

Bukan tanpa alasan, kain-kain batik yang dikenakan saat tampil menyanyi sebagai lambang kecintaan Waldjinah pada Indonesia.

Baca Juga: Mengintip Koleksi Jarik Waldjinah di Museum Batik Walang Kekek Solo

“Kain batik yang dibuat oleh kakak saya pertama kali dikenakan ketika menyanyi di Istana Negara pada saat upacara peringatan Kemerdekaan 17 Agustus,” jelas Waldjinah.

Setelah itu pada setiap upacara peringatan kemerdekaan Waldjinah selalu mengenakan batik motif Gurdo, antara lain: motif Bima Kurda yang dikenakan Waldjinah saat memenangkan lomba Bintang Radio. Bima memiliki makna hebat dan kuat dan kurda atau garuda merupakan lambang negara Indonesia. Motif Kurda Truntum dan Gurdo Ageng, Motif Garuda latar Truntum dan Kurda Ageng.

Motif Payung merupakan motif akulturasi budaya Jepang yang menggambarkan keelokan dan pengayom. Polanya adalah peninggalan keluarga Waldjinah yang dibuat tahun 1950-an. Motif langka dan ekslusif ini diwujudkan menjadi kain batik yang indah, detail, dan cantik dengan warna alam sogan.

Motif Ikan Koi juga pola peninggalan keluarga Waldjinah. Dibuat pada 1 September 1958. Motif Ikan Koi adalah akulturasi budaya Jepang yang memiliki pesan pembawa keberuntungan untuk pemiliknya. “Nama-nama batik ini saya ambil berdasarkan kecintaan pada negara tercinta,” katanya.

Baca Juga: Profil Waldjinah, Penyanyi Keroncong Asal Solo yang Terkenal hingga Mancanegara



Dengan memakai kain yang dikenakan hingga di luar negeri, Waldjinah mengungkapkan pernah mengalami pengalaman unik.

“Orang luar negeri yang bertemu selalu menyebut saya Indonesia, walau tidak tahu nama saya. Terus saya berpikir kalau mereka mengenal orang Indonesia dari batik jadi sampai sekarang saya pakai kain,” kenangnya.

Selama berkarier Waldjinah telah menyanyikan 1.600 judul lagu. Selama itu pula Waldjinah selalu mengenakan batik sebagai identitas busana Indonesia.

Terdapat kurang lebih 500 motif batik yg sudah menemani perjalanan karier Waldjinah. Seluruh kain batik tersebut kini terawat baik di Galeri Walang Kekek.

“Pesan saya untuk generasi muda jangan melupakan batik dan sejarah menyanyi keroncong. Karena batik dan keroncong itu kepunyaan kita sendiri, harus di-uri-uri,” pesan Waldjinah.

Baca Juga: Keroncong Mengalir Sampai Jauh

Produser film dokumenter Waldjinah, Irama Batik Ratu Kembang Katjang, Aria Bima, mengungkapkan sang maestro ini terus mentradisikan, mempopulerkan batik untuk disukai oleh rakyat Indonesia.

“Sejak beliau menyanyi pertama kali tahun 1958. Beliau tidak hanya maestro keroncong. Tapi ternyata pas saya lihat kedalaman beliau mengenai seni itu luar biasa. Tidak hanya membawa seni keroncong sebagai ekspresi jiwa bangsa kita tapi juga membawa ekspresi batik yang merupakan peninggalan para leluhur kita yang ternyata batik ini sangat korelatif dengan jiwa nasional negara kita,” ungkap Aria Bima.

Film dokumenter yang mengisahkan Waldjinah dan batik ini dapat dinikmati melalui tautan berikut ini.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya