SOLOPOS.COM - Petugas ARFF bersama dengan TNI AU bahu-membahu membersihkan landasan Bandara Adi Soemarmo yang terkena dampak abu vulkanik erupsi Gunung Kelud (Istimewa/Dokumen ARFF SOC)

Solopos.com, BOYOLALI — Sepak terjang airport rescue and fire fighting (ARFF) atau sering disebut Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) dalam hal keselamatan penerbangan tidak perlu diragukan.

Proses latihan rutin yang dilakukan personel ARFF mampu membangun kecakapan regu. ARFF Operation Supervisor Bandara Adi Soemarmo, Winarno, saat dihubungi Solopos.com, Selasa (6/9/2022), mengungkapkan bahwa ARFF secara khusus memiliki tupoksi menangani kecelakaan penerbangan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Akan tetapi tidak menutup kemungkinan personel ARFF atau petugas pemadam kebakaran bandara memiliki fungsi lain. Tak hanya bertugas di lingkup bandara, Winarno mengungkapkan bahwa personel ARFF juga bisa berfungsi sebagai sukarelawan bencana alam.

Dia menyebut sejumlah personel ARFF Bandara Adi Soemarmo pernah dikirim ke lokasi bencana alam untuk menjadi sukarelawan. Dua di antara pada saat bencana alam tsunami yang melanda Aceh tahun 2006 dan bencana alam gempa bumi dan tsunami yang meluluhlantakkan sejumlah kawasan di Sulawesi Tengah pada tahun 2018.

Tak hanya dua kisah tersebut, Winarno juga membagikan kisah saat petugas pemadam kebakaran Bandara Adi Soemarmo melakukan evakuasi kecelakaan pesawat Lion Air MD-82 di Solo tahun 2004. Berikut ini, Solopos.com bagikan kisah dan pengalaman personel ARFF Adi Soemarmo saat melakukan evakuasi kecelakaan pesawat maupun bencana alam:

Baca Juga : 2 Kecelakaan dalam 3 Bulan, Panglima TNI Minta Evaluasi Seluruh Pesawat

Lion Air MD-82

Lion Air MD 82 yang mengalami kecelakaan di ujung landasan Bandara Adi Soemarmo pada 30 November 2004
Lion Air MD 82 yang mengalami kecelakaan di ujung landasan Bandara Adi Soemarmo pada 30 November 2004 (Solopos/Sunaryo Haryo Bayu)

Pesawat MD 82 Lion Air JT 568 rute Jakarta-Surabaya ketika itu mengalami kecelakaan di end runway 26 Bandara Adi Soemarmo di Boyolali pada 30 November 2004. Sebagaimana diberitakan Solopos.com pada Sabtu (30/11/2019) dan dikutip pada Jumat (9/9/2022), pesawat mengangkut 146 penumpang.

Pesawat tersebut tergelincir sejauh 130 meter ke arah barat melewati ujung landasan. Pesawat tersebut berhenti di area permakaman umum dengan kondisi setengah hancur. Sebanyak 26 penumpang meninggal dan 55 orang lain terluka saat itu.

Fire Fighting Maintenance Supervisor, Sonny, sedang bertugas saat peristiwa tersebut terjadi. Dia membagikan kisahnya saat dijumpai Solopos.com di Fire Station Bandara Adi Soemarmo, Jumat (9/9/2022).

Sonny saat itu tengah duduk di depan fire station. Dia terkejut melihat pesawat Lion Air tergelincir. Tak lama, crash bell berbunyi sehingga seluruh personel ARFF PT Angkasa Pura I bersama 4 orang personel TNI AU menuju ke area kecelakaan pesawat.

Baca Juga : Ini Dia ARFF Unit Pemadam Kebakaran di Bandara Adi Soemarmo

“Kami langsung naik kendaraan dan menuju area kecelakaan melalui runway. Ketika mengetahui posisi pesawat berada di luar pagar, kami putar balik ke luar bandara. Ketika itu bandara masih jadi satu dengan TNI AU. Bisa dibayangkan kondisi [tempat] parkir yang tidak terlalu luas dan padat kendaraan. Mobil kami harus melewati kerumunan [kendaraan] untuk mencapai tempat kejadian,” ungkapnya.

Sonny mengingat kondisi pesawat Lion Air JT 568 saat itu setengah hancur. Bahan bakar pesawat tumpah hingga menggenangi area persawahan. Saat itu, dia heran karena mesin pesawat masih menyala pada kondisi tersebut.

“Kondisi saat itu hujan. Entah kalau tidak hujan akan jadi seperti apa, mungkin sudah habis [terbakar]. Engine masih hidup, suaranya masih terdengar kencang. Saat itu saya berada di tim pertolongan [rescue] langsung lari membawa kapak ke depan,” ujar dia.

Sonny menggambarkan saat kejadian itu kondisi gelap karena tidak ada lampu penerangan di sekitar lokasi kejadian. Dirinya merasa terbantu dengan pencahayaan dari lampu kamera milik wartawan yang bertugas di lokasi kejadian.

Kejadian itu kebetulan berbarengan dengan event besar di Embaskasi Haji. “Saya dan Mas Tetuko waktu tiba itu langsung ditarik oleh seorang pramugari. Dia panik, minta dibantu menolong temannya yang terjepit badan pesawat. Proses evakuasi terbantu dengan kilat yang kadang muncul karena kondisi hujan. Juga dari lampu flash kamera wartawan,” ungkapnya.

Baca Juga : Ini Perbedaan Pemadam Kebakaran Bandara & Kota dari Tugas hingga Fasilitas

Sonny menceritakan sempat terjadi ledakan kecil saat proses evakuasi berlangsung. “Jika diingat, mesin pesawat masih menyala. Bahan bakar tumpah. Sempat ada ledakan kecil. Para personel langsung tiarap di tengah genangan air sawah bercampur avtur untuk melindungi diri. Pascakejadian itu, besoknya, kulit kami ngglodoki [terkelupas], merah-merah,” tuturnya.

Insiden pertama yang dihadapi Sonny bersama tim ARFF Adi Soemarmo ini sempat membuatnya tak dapat beristirahat. Sehari setelah kejadian, dia mengaku sempat tidak bisa tidur karena teringat kecelakaan yang terjadi tepat di depan matanya.

Tsunami Aceh

Sonny dan Kusyanto, 2 personel ARFF yang diberangkatkan menuju Aceh
Sonny dan Kusyanto, 2 personel ARFF yang diberangkatkan menuju Aceh sebagai personel perbantuan operasional Bandara Sultan Iskandar Muda pada kejadian bencana tsunami Aceh, 2006 lalu. (Istimewa/ Dokumen Pribadi Sonny)

Pada tahun yang sama, hanya selang beberapa bulan setelah kecelakaan Lion Air di Solo, bencana besar melanda Aceh, tepatnya pada 26 Desember tahun 2004. Gempa berkekuatan Magnitudo 9,3 menjadi awal datangnya gulungan ombak raksasa setinggi 30 meter.

Kejadian tersebut menarik simpati masyarakat dari seluruh penjuru dunia. Sebanyak lebih dari 200.000 jiwa meninggal. Berbagai jenis bantuan dikirimkan untuk masyarakat Aceh yang terdampak. Pengiriman bantuan dilakukan melalui Bandar Udara Sultan Iskandar Muda.

Baca Juga : Breaking News: Pesawat Latih TNI AL Jatuh di Perairan Selat Madura

Kala itu, PT Angkasa Pura I mengirimkan petugas operasional bandara untuk bergabung menjadi sukarelawan di Aceh. Sebanyak 2 personel ARFF Adi Soemarmo diberangkatkan menuju Bumi Serambi Mekah. Salah satunya Sonny.

Sebelum menuju Aceh, Sonny dan sejumlah personel lain transit di Jakarta untuk mengikuti briefing dan proses serah terima. Di Aceh, mereka ditugaskan di Fire Station Bandar Udara Sultan Iskandar Muda untuk membantu operasional bandara sebagai back up personel.

Sonny mengungkapkan bahwa tak hanya dari unit PKP-PK, namun petugas security dan Air Traffic Controller (ATC) juga diperbantukan saat itu. Mengingat banyak dari petugas bandara terdampak musibah tersebut.

“Bencana yang terjadi mengejutkan banyak orang. Meskipun bandara tidak ikut diterjang tsunami, tetapi banyak dari keluarga petugas bandara yang menjadi korban. Bahkan ada teman PKP-PK yang harus kehilangan istri dan dua anak. Sudah beberapa minggu sejak kejadian namun saat itu tak kunjung ditemukan,” ungkap dia.

Kala itu, Sonny berpikir tak gentar jika terjadi gempa susulan. Dirinya justru lebih takut dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang saat itu aktif dan dapat mengancam sewaktu-waktu.

Baca Juga : Pesawat TNI AU yang Jatuh di Blora Jenis T-50i Golden Eagle

“Jadi kami saat bertugas itu selalu diingatkan TNI AU untuk menghindari tempat-tempat tertentu. Penjagaan cukup ketat bahkan disertai persenjataan juga untuk melindungi warga sipil. Saat itu bandara sedang ramai dan sibuk. Bantuan banyak sekali dari seluruh dunia, pesawat misi kemanusiaan naik-turun tidak berhenti. Kondisi Aceh masih rawan GAM,” tuturnya.

Sonny yang ditugaskan hampir 2 pekan di Aceh itu baru keluar dari bandara dan berkesempatan melihat kota Aceh pada akhir masa tugas. Saat itu, ia dibawa berkeliling oleh rekannya menuju Pantai Ulee Lheue. Sejauh mata memandang tak ada bangunan yang berdiri kokoh, kecuali masjid yang ada di bibir pantai.

Mengalami dua kejadian luar biasa di tahun yang sama sempat membuat Sonny trauma.

“Jika ditanya mana yang paling diingat, tidak ada. Jika diminta menceritakan, saya masih dapat menggambarkan secara detail setiap kejadian demi kejadian yang pernah saya alami. Meskipun sempat trauma, tapi tidak berlarut-larut. Ini sudah menjadi tugas kami sebagai bagain dari ARFF. Harapannya semoga musibah-musibah semacam ini tidak terjadi lagi, dimanapun.”

Erupsi Gunung Kelud

Petugas ARFF bersama dengan TNI AU bahu-membahu membersihkan landasan Bandara Adi Soemarmo
Petugas ARFF bersama dengan TNI AU bahu-membahu membersihkan landasan Bandara Adi Soemarmo yang terkena dampak abu vulkanik erupsi Gunung Kelud (Istimewa / Dokumen ARFF SOC)

Baca Juga : Susi Air Jatuh di Papua, Susi Pudjiastuti: Alhamdulillah Semua Selamat



Anda masih ingat Kota Solo dan sekitarnya pernah terdampak hujan abu akibat erupsi Gunung Kelud. Kejadian tersebut mengakibatkan wilayah Soloraya tertutup debu abu vulkanik cukup tebal.

“Saat itu seluruh petugas bandara gotong royong membersihkan area airport apron sampai dengan runway dari debu vulkanik. Kami sendiri [ARFF] bertugas melakukan penyemprotan menggunakan air karena debu vulkanik itu berbahaya bagi pesawat,” ujar Winarno.

Dilansir dari nasa.gov, volcanic ash berbahaya bagi keselamatan penerbangan karena dapat menyebabkan kerusakan fungsi pada baling-baling atau mesin pesawat. Unuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Bandara Adi Soemarmo harus ditutup selama 7 hari saat itu.

“Kami harus pastikan bahwa bandara, terutama landasan harus bersih sehingga dapat menghindari kecelakaan,” tambahnya.

Gempa Bumi dan Tsunami Palu

Proses evakuasi bencana gempa dan tsunami Palu (Antara Foto)
Proses evakuasi bencana gempa dan tsunami Palu (Antara Foto)

Baca Juga : Pesawat China Eastern Airlines Celaka di Guangxi, Garuda Ikut Waspada

Berikutnya peristiwa gempa dan tsunami yang melanda wilayah Sulawesi Tengah pada 28 September 2018. Seperti diberitakan Solopos.com pada Selasa (9/10/2018) dan dikutip pada Jumat (9/9/2022), lebih dari 2.000 jiwa meninggal.

PT Angkasa Pura I dan II kala itu mengirimkan sejumlah personel ARFF dari berbagai bandara untuk diperbantukan dalam penanganan pascabencana. ARFF officer Bandara Adi Soemarmo, Diki, membagikan kisahnya kala itu melalui pesan WhatsApp kepada Solopos.com.

Diceritakan bahwa Diki masuk ke kloter kedua setelah rombongan dari Makassar diberangkatkan. Dirinya didaulat menjadi perwakilan dari Solo bersama satu orang personel lain. Diki diberangkatkan pada 6 Oktober 2018 dan bertugas selama 10 hari di wilayah tersebut.

“Kami berkolaborasi antara AP I dan AP II. Satu kontingen kurang lebih ada 18 sampai 20 orang. Dari Solo, saya berdua dengan Mas Chakra. Cukup kaget karena sesampainya kami di sana, kondisi runway bengkah dan berlubang parah. Kondisi terminal juga rusak parah,” ungkapnya.



Diki ditempatkan di fire station. Kegiatannya mempersiapkan kendaraan serta peralatan operasional PKP-PK, mobilisasi korban gempa dari wilayah sulit menuju ke fasilitas kesehatan, dan mendistribusikan bantuan logistik ke wilayah sulit menggunakan helikopter.

Baca Juga : Kecelakaan Pesawat Boeing 737 di Indonesia dan Dampaknya di Dunia

Apabila sedang libur, Diki bersama dengan regunya mengisi kegiatan dengan membersihkan wilayah terminal dan akses aerodrome. Saat ditanyai seputar pengalamannya ketika diperbantukan di Palu, dia mengungkapkan bahwa banyak hal yang tak dapat Diki lupakan hingga kini.

“Pengalaman tak terlupakan ada banyak, ya. Harus mandi bareng, satu bilik dengan kompi Brimob dan TNI. Kemudian salat di tengah gempa susulan. Lalu membersihkan kotoran manusia di selokan. Pada waktu itu bandara adalah fasilitas yang dapat diakses untuk keluar dari wilayah Palu sehingga dijadikan tempat mengungsi para korban gempa.”





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya