SOLOPOS.COM - Petani tembakau di Tegalharjo, Eromoko, Wonogiri, menjemur tembaku rajang di halaman rumahnya, Rabu (8/11/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Musim panen tembakau pada 2023 ini benar-benar membuat wajah para petani di Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri, semringah. Mereka akhirnya bisa panen dan bisa menjual tembakau dengan harga tinggi tanpa harus merasa waswas hasil panennya tak terbeli.

Angga, petani muda asal Tegalharjo, Eromoko, menceritakan petani di wilayahnya jarang bisa panen tanpa harus takut tembakaunya tidak terbeli. Meski panen, mereka biasanya tetap dihantui kekhawatiran.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Kebanyakan petani tembakau di Eromoko dan sekitarnya menanam dan menjual hasil panennya dengan skema kemitraan dengan perusahaan pengepul. 

Saat panen, tembakau petani Eromoko, Wonogiri, akan dibawa ke gudang tembakau perusahaan mitra untuk di-grading atau penilaian kualitas berdasarkan kelas, sangat baik, baik, atau buruk. Grader atau penilai itu merupakan orang perusahaan mitra.

Mereka yang berhak menentukan apakah tembakau petani layak dibeli atau tidak, seperti hakim memutuskan vonis suatu perkara di pengadilan.

“Jadi kalau panen, terus tembakau kami bawa ke gudang perusahaan mitra, itu seperti hari pengadilan buat petani. Seperti hari penentuan hidup matinya petani tembakau,” kata Anang saat berbincang dengan Solopos.com di Desa Tegalharjo, Kamis (9/11/2023).

Hanya melalui tangan grader dari perusahaan itu, tembakau petani bisa dikatakan baik atau buruk. Petani sama sekali tidak tahu bagaimana cara menilai baik dan buruk tembakau hasil tanamnya.

Petani tidak berhak melabeli tembakau mereka baik maupun buruk. Padahal penilaian kualitas kelas tembakau dari grader itu menentukan harga jual.

Tak Ada Transparansi Harga

Di sisi lain, Angga menyebut tidak ada keterbukaan dari perusahaan mitra ketika menghargai tembakau petani, termasuk di Eromoko, Wonogiri. Petani hanya bisa pasrah dan mengikuti harga yang ditetapkan perusahaan itu.

tembakau eromoko wonogiri petani
Seorang petani menyimpan daun tembakau sebelum dijemur di rumahnya di Tegalharjo, Eromoko, Wonogiri, Rabu (8/11/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Petani tembakau pun tidak tahu persis sebenarnya berapa kilogram tembakau mereka yang masuk kualifikasi baik dan berapa kilogram yang masuk kelas buruk. Tidak ada perincian.

Yang lebih parah, tidak jarang tembakau petani tidak diterima perusahaan mitra dan harus dibawa pulang. Padahal tembakau itu merupakan tembakau yang ditanam di lahan dan waktu yang sama dengan tembakau yang mereka terima dari petani yang sama pula.

“Misal petani bawa 10 bal [satu bal 50 kg], kadang yang dibeli cuma 5-7 bal. Kualitas dan harga tembakau petani seperti dimonopoli,” ungkap dia.

Kondisi itu sudah terjadi sejak kali pertama petani di Eromoko, Wonogiri, menanam tembakau pada 2009 silam. Akibatnya petani tidak selalu untung meski berhasil panen. Tetapi kini petani mulai menyiasati hal tersebut dengan tidak bermitra dengan perusahaan.

Ada pula yang tetap bermitra, tetapi hanya sebagian yang dijual ke perusahaan mitra. Sementara sisanya dijual ke tengkulak langsung yang sudah jelas bisa mengetahui harganya.

Angga menyebut baru pada masa panen 2023 ini petani seperti berdaulat atas hasil panen tembakau mereka. Sebab banyak petani yang langsung menjual ke tengkulak dengan harga tinggi sampai mencapai lebih Rp50.000/kg.

Harga itu jauh di atas harga yang biasa berlaku pada tahun-tahun sebelumya yang hanya Rp20.000-Rp30.000 per kg. “Petani sudah mulai menjual tanaman mereka ke tengkulak langsung. Ada yang sebagian tetap ke perusahaan mitra,” ujar Angga.

Petani tembakau asal Baturetno, Wonogiri, Asep, yang menjual tembakaunya ke perusahaan mitra belum lama ini pun mengalami hal serupa. Ia tidak tahu persis harga per kilogram tembakaunya. Dia hanya menerima uang tunai dari perusahaan mitra tanpa ada nota perincian harga per kilogram.

Sistem Grading yang Tidak Adil

Petani lain, Widodo, menyampaikan skema kemitraan tanaman tembakau itu dinilai dari pembenihan hingga panen. Petani membeli paket bibit, obat, dan pupuk dari perusahaan mitra.

Kemudian ketika panen harus menjual ke perusahaan yang menyediakan bibit itu. Dia juga mengeluhkan sistem penilaian yang dilakukan grader perusahaan mitra. Sistem grading itu dinilai tidak adil.

Bahkan kadang petani menyimpan tembakau yang tidak terbeli selama itu selama setahun. Kemudian tembakau itu dijual lagi ketika masa panen tahun berikutnya. Anehnya, tembakau petani yang dulu ditolak, akhirnya terbeli.   

“Kan jadi aneh. Itu kan yang menilai manusia. Bisa saja asal menilai. Kalau yang menilai mesin, okelah masih bisa diterima,” kata Widodo.

Widodo menyebut skema kemitraan tembakau itu, di satu sisi memang seolah memberikan jaminan kepada petani terkait pemasaran hasil panen. Tetapi pada kenyataannya tidak jarang tembakau petani tidak terbeli oleh perusahaan mitra hanya berdasarkan penilaian grader.

penghasil tembakau terbesar jateng Ilustrasi tembakau petani wonogiri
Ilustrasi pengelolaan tembakau (Solopos.com)

Skema itu seperti pisau bermata dua bagi petani. Dia menerangkan skema kemitraan membuat petani rentan merugi. Padahal banyak dari petani harus berutang untuk modal menanam tembakau.

Beruntung di Kecamatan Baturetno modal itu bisa dipinjam dari Badan Usaha Milik (BUM) Desa Bersama Kecamatan Eromoko melalui kelompok tani tanpa jaminan. “Biasanya sistemnya yarnen, bayar nek wis panen [bayar utang kalau sudah panen],” ucapnya. 



Sekarang, lanjut dia, petani sudah mulai mandiri dan tidak mengikuti skema kemitraan dengan perusahaan. Mereka sudah bisa menyediakan benih sendiri dari hasil pembuahan tembakau yang mereka tanam. Petani tidak perlu lagi membeli bibit dari perusahaan mitra. 

Pilih Menanam secara Mandiri

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Wonogiri, Wisnu, menyampaikan sistem kemitraan petani tembakau dengan perusahaan pengepul tembakau memang riskan merugikan petani. Apalagi kualitas tembakau itu hanya dinilai oleh perusahaan mitra.

Hal itu sangat mungkin dipermainkan. Bisa saja sebenarnya kualitas tembakau petani bagus, tetapi malah dinilai jelek. “Sementara dari pemerintah juga tidak ada pelatihan untuk menciptakan grader,” ujar dia. 

Kepala Dinas Pertanian dan Pangan (Dispertan) Wonogiri, Baroto Eko Pujanto, mengatakan mayoritas petani tembakau di Wonogiri mengikuti sistem kemitraan. Dia juga sepakat sistem kemitraan kerap tidak transparan.

Hal itu karena tidak adanya keterbukaan harga tembakau dari perusahaan mitra. Di sisi lain, tidak ada yang bisa menjamin grader sebagai penilai kualitas tembakau bersikap jujur.

Hanya, bukan berarti solusinya pemerintah menyediakan grader sendiri. Sebab perusahaan pasti sudah memiliki grader dan lebih percaya dengan grader yang mereka punya. “Kan dia yang beli, ya pasti tidak mau kalau gradernya dari luar,” kata Baroto saat dihubungi Solopos.com,  Kamis (9/11/2023).

Baroto menjelaskan saat ini sudah banyak petani yang menanam tembakau secara mandiri. Mereka tidak mau terikat dengan kemitraan dan lebih memilih menjual tembakau langsung ke tengkulak. Sebab hal itu dinilai lebih transparan meski sebenarnya tidak ada jaminan juga terus dibeli.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya