SOLOPOS.COM - Girah, 56, memanen tanaman cabai di area persawahan Dusun Sidokerto, Desa Purwomartani, Kalasan, Sleman, Kamis (9/1/2014). Musim hujan yang tidak menentu menjadikan cabai mudah terserang hama patek yang belum ada pupuknya. Petani tersebut menjual cabainya ke pedagang Rp25.000 per kilogram.(Harian Jogja/Gigih M. Hanafi)

Kisah petani cabai tak seindah harga cabai, karena butuh perjuangan keras

Harianjogja.com, SLEMAN- Cabai menjadi bahan makanan utama untuk melengkapi menu masakan sehari-hari. Bagaimana jerih payah petani merawat tanaman ini? Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Sunartono.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sinar matahari tepat berada di atas kepala. Sebuah lahan produktif yang masih bebas dari jejalan gedung bertingkat ditumbuhi berbagai tanaman hijau. Tampak seorang berdiri di tengahnya. Kepala tertutup topi kain, sedang punggungnya tergantung sebuah tangki. Pundaknya terbalut tali, tangan kanan perlahan mengayunkan selang besi ke arah tanaman. Tangan kiri mengendalikan pompa agar cairan pupuk keluar dari tangki secara normal.

Siang itu Amin, 50, tengah merawat tanaman lomboknya di lahan pertanian Dusun Getas, Tlogoadi, Mlati, Sleman. Tanaman lombok yang baru berkuncup bunga, berumur 1,5 bulan. Belum berbuah, tapi sudah tak terhitung berapa kali ia datang ke sawah untuk merawat tanaman yang buahnya berasa pedas itu.

Setiap satu batang tanaman, tidak kurang dari satu menit Amin merawat di siang itu. Tangannya lebih dahulu memutus dedaunan batang bagian bawah tanaman Lombok. Itu dilakukan agar bisa memacu tumbuhnya ketinggian tanaman.

Ia lalu memeriksa daun bagian atas, memastikan tidak ada hama. Baru kemudian tangan kiri Amin menekan pompa tangki diikuti keluarnya cairan pupuk dari selang besi yang digenggam telapak kanannya. Begitu seterusnya, satu baris tanaman Lombok menghabiskan waktu 30 menit.

“Ini termasuk cepat karena saya gabung menyemprot sekaligus membersihkan. Harusnya semprot sendiri, lalu mengambil daun bagian bawah sendiri, membersihkan hama ada waktu sendiri,” ujar Amin saat ditemui Harian Jogja, Selasa (11/8/2015) lalu.

Pupuk daun dan perangsang pertumbuhan buah adalah cairan yang disajikan pada tanaman lomboknya siang itu. Itu saja menurut dia sudah agak telat beberapa hari. Keterlambatan dalam melakukan perawatan bisa langsung berdampak pada tanaman. “Ada yang keriput tidak sehat,” ujarnya sembari menunjukkan daun Lomboknya.

Dalam sepekan minimal tiga kali ia menyambangi tanaman cabainya. Untuk memberikan pupuk daun, pupuk buah dan merawat batang. Sekali datang setidaknya harus menyediakan uang Rp50.000. Angka itu diasumsikan paling minimal harga pupuk untuk bisa ditakar dengan satu tangki air. Tiap tangki jika diirit bisa disemprotkan untuk dua hingga empat larik tanaman Lombok.

“Satu gulutan [dua larik] yang bagus satu tangki, biar hemat saya lebihkan bisa dua gulutan,” kata dia.

Selain pupuk cair, ia juga harus menyediakan pupuk NPK untuk bagian akar. Kemudian menancapkan lanjaran atau batang bambu berdekatan dengan tanaman cabai agar tidak merunduk. Perawatan itu dilakukan selama tiga bulan sampai cabai berbuah dan bisa dipanen.

Untuk mendapat hasil maksimal, setelah panen perdana ia belum bisa berpangku tangan. Karena setiap usai dipanen harus disemprot dengan pupuk cair untuk merangsang pertumbuhan buah. Soal untung rugi, pasar yang menentukan. Jika harga cabai di pasaran mahal, dalam panen dua pekan saja bisa balik modal untuk lahan seluas 1000 meter. Tapi jika murah panen sampai habis berbulan-bulan belum bisa mengembalikan modal.

“Biasanya tiga hari sekali dipanen. Tapi merawatnya lebih pedas dari rasanya,” kata saat mengibaratkan susahnya merawat cabai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya