<p><b>Semarangpos.com, SEMARANG —</b> Bagi warga Kota Semarang dan sekitarnya, Gilo-Gilo bukanlah sesuatu yang asing. Gilo-Gilo bagi warga Kota Semarang bukanlah sebutan untuk mendeskripsikan sesuatu yang memalukan maupun menjijikan seperti halnya orang gila.</p><p>Gilo-Gilo di Semarang justru kerap diburu dan dicari oleh warga. Gilo-Gilo ini tak lain merupakan nama yang disematkan bagi penjual makanan maupun kuliner serba ada di Kota Semarang.</p><p>Penjual Gilo-Gilo bisa ditemui di berbagai sudut Kota Semarang. Biasanya, para penjual Gilo-Gilo ini menjajakan dagangannya dengan membawa gerobak yang didorong di pusat keramaian, seperti pasar, taman, hingga kawasan perkantoran.</p><p>Sama seperti pedagang Angkringan atau Hik yang jamak ditemui di Yogyakarta dan wilayah Soloraya, pedagang Gilo-Gilo juga menyajikan beraneka makanan dan kuliner. Pelanggan bisa menemukan berbagai jenis makanan dari penjual Gilo-Gilo, mulai dari nasi bungkus, sate kikil, gorengan, hingga buah-buahan.</p><p>Seorang budayawan Kota Semarang, Gunung Mahesa, menyebutkan penjual Gilo-Gilo sudah ada di Semarang sejak lama. Para penjual Gilo-Gilo yang mayoritas berasal dari Klaten itu datang ke Semarang sekitar tahun 1930-an atau pada masa penjajahan.</p><p>“Dulu mereka berjualan tidak dengan gerobak yang didorong, melainkan dengan cara dipikul. Pada tahun 1970-an, mereka mulai berkembang. Banyak jalan yang sudah diaspal, mereka pun beralih dari gerobak pikul ke gerobak dorong agar lebih efisien dalam memasarkan dagangannya,” ujar Gunung saat berbincang dengan <em>Semarangpos.com</em> di kawasan Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), beberapa waktu lalu.</p><p>Gunung menjelaskan ada beberapa versi asal mula para penjual makanan serba ada itu dijuluki Gilo-Gilo. Nama Gilo-Gilo disematkan karena mereka menyajikan aneka makanan yang sesuai dengan kebutuhan pembelinya.</p><p>“Ada yang bilang Gilo-Gilo itu berasal dari kependekan kata <em>gi lo ana </em>[ini lo ada]. Kata-kata itu disematkan tak lain karena lengkapnya makanan yang dijajakan penjualnya. Mulai dari sate babi, hingga <em>didih </em>[saren],” ujar Gunung.</p><p>Meski demikian, Gunung mengaku saat ini sulit ditemukan penjual Gilo-Gilo yang menjajakan saren atau sate babi. Kultur masyarakat Semarang yang identik dengan budaya Islam membuat para penjual Gilo-Gilo tak mau lagi menjual sate babi maupun saren yang haram bagi kaum muslim.</p><p>“Penjual Gilo-Gilo itu kan sering keluar masuk kampung. Nah, di kampung-kampung kan banyak masyarakat yang memegang teguh budaya Islam, sehingga mereka [penjual Gilo-Gilo] mau tak mau harus menyesuaikan,” terang pria berambut gondrong tersebut.</p><p>Sementara itu versi lain dari nama Gilo-Gilo, lanjut Gunung, tak terlepas dari perilaku para penjualnya. Konon saat masih menjajakan dagangan dengan cara dipikul, para penjual Gilo-Gilo kerap menggeleng-gelengkan kepala.</p><p>“Dari situlah masyarakat akhirnya menyebut mereka Gilo-Gilo, karena saat membawa dagangannya dengan cara dipikul sering mengeleng-gelengkan kepala atau <em>gela-gelo,” </em>terang Gunung.</p><p><strong><i><a href="http://semarang.solopos.com/">KLIK</a> dan <a href="https://www.facebook.com/SemarangPos">LIKE</a> di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya</i></strong></p>
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi