SOLOPOS.COM - Mbah Dirjo di depan makam Adipati Jayaningrat (JIBI/Harian Jogja/Switzy Sabandar)

Mbah Dirjo di depan makam Adipati Jayaningrat (JIBI/Harian Jogja/Switzy Sabandar)

Sebagian orang tentunya tidak mau bekerja tanpa digaji. Apalagi pekerjaanya itu adalah menunggu dan merawat makam.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sepintas sosoknya tak jauh berbeda dengan laki-laki yang sudah berusia senja. Wajahnya dihiasi puluhan kerutan, penanda dia telah menjalani ribuan hari. Kesehariannya pun mirip dengan warga desa lainnya, bercocok tanam. Namun, di balik kesahajaannya siapa sangka tersimpan kesetiaan luar biasa pada laki-laki yang berdomisili di Dusun Gadingan, Argomulyo, Cangkringan ini.

Orang kampung setempat mengenal laki-laki kelahiran 75 tahun silam ini dengan sebutan Mbah Dirjo, sedikit lebih ringkas dan akrab ketimbang nama aslinya, Dirjo Utomo.

Predikat juru kunci makam Adipati Jayaningrat melekat padanya sejak berusia 18 tahun karena warisan dari kakek buyut yang diturunkan hingga ayah serta pamannya.

Loyalitas pula lah yang telah membawanya untuk senantiasa peduli terhadap keberadaan makam yang menjadi bagian dari sejarah Kasunanan Solo ini. Bagaimana tidak, jika untuk perawatan, Dirjo tanpa segan merogoh koceknya untuk merenovasi perisitirahatan terakhir sang Adipati supaya tetap terjaga.

“Dulu kondisinya tidak seperti sekarang,” ujarnya sembari menunjukkan makam yang terletak di seberang jalan rumahnya, belum lama ini.

Makam yang terletak di sebelah timur Sungai Gendol pada jarak kurang lebih 200 meter ini terlihat cukup bersih dan terawat, dengan dasar conblock dan cungkup yang layak.

Dikatakannya, cungkup atau bangunan berbentuk tembok  yang menaungi makam Adipati memang sudah berdiri, namun bentuknya tidak sebagus sekarang. Pada 1987, ia merombak cungkup dan memperbaiki, tujuannya agar makam terlihat sedap dipandang, terawat, dan layak. Biayanya, didapat dari sumbangan para peziarah dan jika belum mencukupi, Dirjo tanpa segan merogoh koceknya sendiri.

“Kalau ada peziarah datang, sebagian akan meninggalkan uang untuk perawatan, tapi sukarela, kalau semisal tidak memberi uang juga tidak masalah,” urai suami dari Suparti ini.

Keberadaan makam, dinilai Dirjo, bagi yang percaya telah melindungi Dusun Gadingan dari lahar Merapi. Pada erupsi Merapi 2010, justru wilayah barat dan selatan makam yang terdampak, sedangkan daerah seputar makam tetap aman.

Kedukaan meliputi hatinya, ketika makam yang sudah menjadi bagian dari kehidupannya itu terlihat kotor dan ada kepuasan saat mendapati kondisi sebaliknya.

Merawat makam Eyang Dipati, demikian ia menyebut Adipati Jayaningrat, kerap membawanya pada pengalaman spiritual. Misal, ketika sedang suntuk ia kerap didatangi sosok laki-laki tegap berbeskap putih, memakai destar dan membawa keris. “Saya yakin sekali itu eyang Dipati,” tukasnya.

Disinggung perihal perhatian Kasunanan Solo terhadap pengabdiannya, kakek dari 12 cucu ini mengaku  tidak mendapat gaji dari Kasunanan dan tidak mempunyai keinginan untuk menuntut penghargaan. Bahkan, ia menolak gelar Demang yang dianugerahkan kepadanya. “Biarlah saya tetap menjadi orang seperti ini,” ucapnya lirih.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya