SOLOPOS.COM - Pakubuwono (PB) VI atau Raden Mas Sapardan (Wikipedia)

Solopos.com, SOLO — Paku Buwono atau PB VI adalah salah satu pahlawan yang berasal dari lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo yang berjuang bersama Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa, 1825-1830.

Peristiwa itu menjadi salah satu kisah yang membuat namanya harum. Namun, hal tersebut harus ditebus dengan kematiannya yang hingga kini penyebabnya masih menjadi perdebatan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

PB VI lahir dengan nama Raden Mas Sapardan, putra dari PB V dan Raden Ayu Sosrokusumo. Jurnal Penelitian dan Pendidikan Sejarah: Candi terbitan Program Studi (Prodi) Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, menyebut PB VI naik takhta pada Senin Kliwon, 9 Sura tahun Dal 1751 atau 15 September 1823.

Saat itu, patihnya adalah Kanjeng Raden Arya Sosrodiningrat II, pengasuh sekaligus paman PB VI. Selain itu ia juga dibantu Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi (Putra PB III), Kanjeng Gusti Pangeran Hadinagoro, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Buminoto dan Kanjeng Gusti Pangeran Kusumoyudo.

Konflik PB VI dengan Pemerintah Kolonial Belanda sudah dimulai sejak ia naik takhta, karena pahlawan dari Keraton Solo itu memiliki sebutan Souvereign. Hal itu berarti ia bisa lepas dari kewajiban memberikan bantuan kepada pemerintah kolonial.

Baca Juga: Presiden Jokowi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada 5 Tokoh

Namun kenyataannya ia harus membayar kepada pemeirntah kolonial. Selain itu PB VI adalah sosok yang tidak percaya atas isu berpulangnya Hamengkubuwana IV disebabkan ulah Pangeran Diponegoro yang berambisi menjadi raja. PB VI juga meyakini berita tersebut hanyalah karangan Belanda.

pahlawan dari solo
Sebuah lukisan memuat gambar PB VI bersama Pangeran Diponegoro dan Raden Tumenggung Prawirodigdoyo di salah satu sudut kamar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. (Istimewa)

PB VI mempunyai sikap yang sama dengan Pangeran Diponegoro yang anti penjajahan. Adanya faktor-faktor persamaan membuat kedua pangeran saling menghormati dan saling membantu mengusir penjajah. Mereka membuat Perjanjian Ariroto berisi kerja sama antara keduanya.

Siasat Condrodimuko

Pangeran Diponegoro yang dibantu PB VI dari Solo melakukan perlawanan yang sangat hebat kepada Belanda. Ada beberapa hal yang dilakukan PB VI dalam menjalankan siasat politiknya melawan Pemerintahan Kolonial Belanda.

Bersama Pangeran Diponegoro, pahlawan dari Solo ini membentuk siasat mengelabui Belanda, yakni Siasat Mimis Kencana, Siasat Condrodimuko, melakukan pertemuan rahasia, dan perang gerilya.

Baca Juga: Sosok dr. Wahidin Sudirohusodo, Namanya Diabadikan di Kapal Bantu RS TNI AL

Siasat Mimis Kencana adalah berpura-pura perang ketika PB VI dan Pangeran Diponegoro sama-sama membawa pasukan dengan tujuan mengelabui Belanda yang tujuan utamanya justru membantu Pangeran Diponegoro.

Sedangkan Siasat Candradimuko adalah sandi dari PB VI untuk membicarakan strategi melawan Belanda. Menurut Ketua Solo Societeit, komunitas pencinta sejarah Kota Solo, Dani Saptoni, siasat ini merupakan perjanjian keduanya untuk menghadapi Kolonial Belanda sekaligus menghimpun kekuatan. 

“Keduanya melakukan perjanjian untuk saling menghimpun kekuatan, jadi PB VI membantu Pangeran Diponegoro dengan memberikan pasukan untuk membantu perjuangan Diponegoro yang terdiri dari para santri dan ulama, sekaligus memecah konsentrasi Belanda saat itu,” ucapnya saat diwawancarai Solopos.com melalui telepon, Selasa (8/11/2022).

Perang Jawa benar-benar menyudutkan Belanda di mana-mana, hingga pada 1827, Jenderal De Kock menerapkan siasat perang baru yang dikenal dengan nama Benteng Stelsell atau siasat Benteng. Tujuannya mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dengan mendirikan pusat-pusat pertahanan berupa benteng-benteng di daerah-daerah yang telah dikuasai. 

Baca Juga: Misteri Makam Tengah Waduk Mulur: Petilasan Pahlawan Sukoharjo Kiai Sayidiman

Konflik Internal Keraton

Siasat ini sukses. Pada 1829, semua pendukung Pangeran Diponegoro dan PB VI tersudut di sekitar Magelang, hingga akhirnya pada 1830 Pangeran Diponegoro ditangkap. PB VI juga tersudut karena tekanan dari Kolonial dan kondisi ekonomi di sekitar Keraton saat itu menimbulkan tekanan dari internal.

Sejak awal posisi PB VI sebagai raja ditentang. Pada 1825 muncul kelompok oposisi dari dalam yang menentang kekuasaan dan kedudukan pahlawan nasional ini di Keraton Solo.

Kelompok oposisi yang menentang kekuasaan PB VI dipimpin beberapa pangeran senior yang gagal mendapatkan takhta kerajaan dalam proses suksesi tahun 1823. Mereka yakni Pangeran Purbaya, Pangeran Adipati Hangabehi, dan Pangeran Arya Mataram. 

Puncaknya pada 1830, ketika pemerintah Kolonial di Jawa mengalami krisis finansial ditambah kondisi ekonomi Keraton pascaperang Jawa yang juga kekurangan, bahkan mengakibatkan kelaparan. 

Baca Juga: Yos Sudarso, Pahlawan asal Salatiga yang Sangat Menyayangi Keluarga

Pemerintah Kolonial mencoba mengambil kesempatan dengan mengakusisi seluruh wilayah kerjaan Surakarta dan Yogyakarta atau yang biasa disebut wilayah Mancanegara. Dalam praktik awal pelaksanaan rencana penambilalihan wilayah mancanegara, pemerintah kolonial membentuk komisi kerajaan.

Komisi ini terdiri dari Nahuys van Burgst, JI van Sevenhoven dan P Merkus. Komisi kerajaan tersebut bertugas melakukan perundingan penyerahan wilayah mancanegara dengan Keraton Surakarta.

Dianggap Pemberontak dan Dibuang ke Ambon

Konflik antara PB VI dengan pemerintah kolonial dalam proses perundingan pengambilalihan wilayah mancanegara Keraton Surakarta terjadi pada Mei-Juni 1830. Pada dasarnya, konflik ini bersifat nonfisik sehingga tidak berwujud peperangan bahkan tidak dapat diamati secara fisik.



Aspirasi PB VI dalam konflik penyerahan wilayah mancanegara mulai melunak karena adanya tekanan dari internal Kerajaan, hingga akhirnya pahlawan nasional dari Solo itu menyetujui perjanjian dan lengser pada 1830. Ia digantikan PB VII.

Baca Juga: Mengenal S.K. Trimurti: Tokoh Wartawan Perempuan Hebat, Pahlawan dari Boyolali

Sementara PB VI dibuang ke Ambon karena dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah kolonial. Ia wafat pada 5 Juli 1849 dalam pembuangannya. Jasadnya sempat dimakamkan di Ambon sebelum dipindahkan ke Imogiri, Yogyakarta, pada 10 Maret 1957.

Atas jasanya dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda, PB VI ditetapkan oleh pemerintah RI sebagai pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI No 294 Tahun 1964, tanggal 17 November 1964.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya