SOLOPOS.COM - Ilustrasi keluarga. (freepik)

Solopos.com, SOLO—Desa dulu identik dengan wilayah yang dianggap ketinggalan zaman, jauh dari sesuatu yang bersifat modern. Terkadang ada yang menyebutnya dengan kata ndeso.

Seiring perkembangan zaman, kata ndeso/wong ndeso menjadi kebanggaan tersendiri bagi seseorang. Penyebabnya, tokoh-tokoh besar dan orang-orang sukses di negeri Indonesia banyak yang berasal dari desa.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Cerita ini berkaitan dengan sebuah desa di Sukoharjo bagian selatan, tepatnya di Kecamatan Bulu. Tinggal sepasang suami istri dengan delapan anak mereka.
Sang suami bekerja sebagai penarik becak di Solo, istrinya bekerja serabutan, terkadang sebagai buruh tandur (menanam padi) di desanya. Penghasilan yang tidak menentu membuat sepasang suami istri bersemangat dalam bekerja, yang penting halal demi dapur tetap mengebul untuk menghidupi anak-anak.

Sang suami sepekan sekali pulang ke desa untuk menemui anak-istri, tepatnya tiap Sabtu sore. Anak-anak dengan setia menanti sang ayah pulang membawa oleh-oleh. Mi kuning basah yang masih mentah adalah kesukaan mereka.

Sesampai di rumah, mi diolah dan dicampur dengan aneka sayuran supaya bisa dinikmati rata satu keluarga yang terdiri atas 10 anggota. Thiwul (makanan berbahan singkong) adalah makanan sehari-hari keluarga itu. Lauk juga seadanya, terkadang hanya dengan sambal bawang kesukaan.

Untuk bisa makan dengan lauk daging ayam atau telur kampung, menunggu tetangga mengundang acara kenduri. Saat pulang biasanya ada berkat (nasi daging ayam atau telur). Acara kenduri biasanya dilaksanakan malam hari, terkadang sampai larut malam.

Anak-anak biasanya menunggu perwakilan keluarga pulang membawa berkat agar bisa makan bersama lalu tidur. Kondisi keluarga yang serba kekurangan menggugah semangat anak-anak untuk mandiri bekerja, menambah penghasilan keluarga.

Anak pertama atau si sulung menjadi motivator utama adik-adiknya. Berbekal sepeda kayuh, sehabis pulang sekolah, anak laki-laki pertama, kedua, ketiga, dan keempat berjualan koran.

Anak kelima, keenam, dan ketujuh yang perempuan serta si bungsu, bocah laki-laki, berada di rumah. Hasil penjualan koran sebagian digunakan untuk biaya sekolah, sebagian untuk sang ibu menutup kebutuhan sehari-hari, sementara sisanya ditabung.

Hasil menabung dapat digunakan untuk mengontrak kios yang digunakan untuk jualan koran. Kios inilah yang akhirnya melahirkan jiwa wiraswasta/pengusaha di keluarga itu. Dari kedelapan anak, tujuh di antaranya sudah memiliki kios sendiri. Bahkan si bungsu sudah memiliki beberapa kios yang menjual aneka roti, kue, dan sejenisnya di beberapa kota di Kabupaten Sukoharjo, Klaten, Boyolali, dan Gunungkidul dengan puluhan karyawan. Hanya anak yang kelima yang sampai saat ini belum memiliki kios karena kesibukannya mengabdi sebagai tenaga kesehatan di sebuah puskesmas sedangkan suaminya bekerja sebagai guru di SMKN di Sukoharjo.

Legislator

Kedua orang tua mereka sudah tidak bekerja lagi sebagai pengayuh becak dan buruh serabutan. Di rumah, mereka berdua berjualan sembako.
Berkat kerja keras, si sulung mampu mengantar adik-adiknya menjadi orang sukses. Ia kini menjabat sebagai anggota legislatif di Kabupaten Sukoharjo selama dua periode ini. Bahkan, kini, ia masih memegang beberapa jabatan di sejumlah perusahaan miliknya dan anaknya.

Si sulung mempunyai anak yang mampu membangun beberapa perusahaan dengan ratusan tenaga kerja. Cita-cita keluarga untuk memiliki sebuah PT terwujud sudah.

PT Sutarub menjadi kebanggaan keluarganya. Sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat Sukoharjo, dalam waktu dekat PT itu akan membangun objek wisata di Kecamatan Bulu, Sukoharjo.

Narsi, begitulah sebutan untuk anak kelima yang sampai kini belum memiliki kios. Narsi adalah tenaga medis/perawat di sebuah puskesmas di Kabupaten Sukoharjo. Cita-citanya sejak kecil memang ingin menjadi perawat.

Meskipun sebagai tenaga homorer sejak 2010 sampai saat ini, Narsi masih bekerja layaknya tenaga medis lain tanpa memandang honor. Baginya, bekerja adalah panggilan hati nurani untuk kemanusiaan tanpa panda bulu. Teman-teman seprofesipun dalam bertugas juga tak membedakan status yang mereka sandang.

Sejak pandemi covid-19 melanda Indonesia, Narsi bersama teman-temannya sesama tenaga medis berjuang sekuat tenaga untuk menolong penderita yang terpapar covid-19. Resiko yang teramat besar tak membuat ciut nyalinya. Pengabdian untuk menolong sesama menjadi penyemangat dalam mengemban tugas dan kewajiban.

Februari 2021 menjadi bulan yang tidak terlupakan bagi Narsi. Kepala puskesmas tempat ia mengabdi positif terpapar Covid-19. Setelah dirawat di rumah sakit selama bebarapa hari, dia dipanggil Sang Pencipta. Dia bersama anak buahnya, para tenaga medis, masih berjuang mengatasi pandemi Covid-19.

Sepeninggal pimpinannya, kesehatan Narsi menurun. Narsi mengira penyakit typhusnya kambuh. Oleh dokter puskesmas tempat dia bekerja, Narsi disarankan beristirahat di rumah dengan pemantauan. Selama hampir satu pekan beristirahat di rumah, kesehatan Narsi belum juga menunjukan tanda-tanda pulih. Kondisinya justru memburuk.

Karena kondisi makin mengkhawatirkan, sekitar pukul 08.30 WIB, Narsi dibawa ke rumah sakit swasta di Sukoharjo agar segera mendapatkan penanganan. Setelah melalui rapid test, Narsi dinyatakan negatif Covid-19. Sebagai tenaga medis, logika Narsi belum bisa percaya 100%.

Narsi meminta rontgen. Hasilnya menunjukkan gejala yang mengarah pada Covid-19. Narsi harus dirawat di rumah sakit (RS) lain untuk isolasi karena RS penuh.

Beberapa rumah sakit di Solo dan sekitarnya sudah dihubungi, namun semua ruangan penuh. Atas usaha seorang dokter tempat Narsi mengabdi, ada rumah sakit swasta di Surakarta yang melayani isolasi tenaga medis. Masih ada ruangan kosong. Siang itu juga, Narsi diantar ambulans menuju RS tersebut.

Narsi mendapatkan penanganan medis tanpa harus mengantre. Narsi yang muslim mendapatkan layanan yang sangat baik dari RS di bawah yayasan nonmuslim itu. Direktur RS bahkan menyempatkan diri menemui Narsi untuk memberi motivasi. Narsi ditempatkan di ruang VVIP.

Empat hari dirawat, ada kabar duka datang dari kakaknya. Kakaknya yang sempat dirawat di rumah sakit swasta di Solo meninggal dunia. Bukan karena Covid-19, namun karena sakit paru-paru yang sudah lama dideritanya.

Narsi terpukul hatinya, tekanan darah naik, saturasi menurun. Namun, dia menyadari semua sudah takdir Sang Pencipta. Setelah delapan hari di rawat di RS, kesehatan Narsi membaik. Tekanan darah normal, saturasi juga normal. Oleh dokter yang menanganinya, Narsi diperbolehkan pulang, dijemput ambulans dari puskesmas. Dua pekan berikutnya, Narsi diharuskan kembali untuk kontrol.



RS lalu Isoman

Sesampai di rumah, Narsi harus mengikuti aturan isolasi mandiri (isoman) selama dua pekan. Narsi menempati ruangan di depan. Semua aktivitas terpisah dengan keluarganya (anak-anak dan suami). Sang suami dengan setianya menyiapkan kebutuhan makan, minum, dan lainnya. Selama Narsi isoman, seluruh kebutuhan keluarga juga dicukupi warga satu RW lewat Program Jaga Tangga. Dua hari sekali, perwakilan Jaga Tangga mengirimkan kebutuhan sehari-hari. Ada daging ayam, telur, tahu, tempe, buah, susu, roti, beras, dan masih banyak lagi.

Ada juga warga yang secara mandiri mengirimi lauk pauk, baik yang sudah matang maupun masih mentah dan kebutuhan hidup lain. Untuk bahan yang masih mentah, sayuran maupun daging, Narsi meminta tolong kakaknya untuk mengolah menjadi lauk/sayur karena sang suami tidak bisa membuat sayur. Setiap hari kakaknya mengirimi sayuran dan lauk lain.

Teman-teman Narsi saat kuliah, sekolah, dan lainnya juga tidak ketinggalan mengirimi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengiriman ada yang langsung dan ada yang lewat jasa pengiriman. Rumahnya hampir seperti kios kecil, saking banyaknya barang kiriman/pemberian. Bahan makanan dan minuman yang tidak tahan lama dimanfaatkan terlebih dahulu.

Motivasi dari keluarga menjadi penyemangat untuk sembuh. Kakak-kakak dan adik-adik Narsi setiap hari secara bergantian menengok dan mengirimi kebutuhan sehari-hari. Walaupun rumah mereka agak jauh (rata-rata sekitar tujuh km), rasa kekeluargaan yang tinggi tertanam dalam setiap anggota keluarga.

Dua pekan isoman di rumah sudah dilalui. Jumat menjadi masa untuk berkumpul dengan keluarga. Pagi itu, Narsi harus kontrol ke RS sesuai pesan dokter yang dulu menanganinya. Berdua dengan sang suami, Narsi berangkat ke RS.

Atas izin Allah SWT dan doa para teman, saudara, tetangga, dan lain-lain, dokter menyatakan Narsi sudah sembuh. Selanjutnya, ia siap berjuang lagi bersama rekan-rekan seprofesi untuk mengatasi pandemi.

Penulis adalah guru di SMKN 3 Sukoharjo

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya