SOLOPOS.COM - Martuti, 59, di warung angkringannya di Kelurahan Girpurwo, Kecamatan/Kabupaten Wonogiri, Rabu (14/9/2022). Sempat terpuruk saat pandemi Covid-19 2020-2021, kini Kondisi keluarga Martuti mulai pulih dan bangkit. (Solopos.com/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Martuti, 59, sudah setengah tahun lebih membuka usaha angkringan di depan tempat penimbunan kayu (TPK) Perhutani Wonogiri. Tidak jauh dari perlintasan rel kereta api yang biasa dilewati Kereta Batara Kresna Solo-Wonogiri. 

Sembari mengobrol dengan pelanggannya, tangan kanan Martuti sibuk mengaduk kopi hitam bercampur gula. Kepul asap keluar dari gelasnya saat Martuti menyajikan pesanan kopi dari pelanggannya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Suasana angkringan milik Martuti semakin riuh. Martuti pun memilih ke belakang warung. Ia menyapu halaman belakang warung yang bertepal warna oranye.

“Hla iya ya. Sekarang kondisinya semakin susah begini, apa-apa mundhak,” kata Martuti saat berbincang dengan Solopos.com, Rabu (14/9/2022)

Ekspedisi Mudik 2024

Sebelum membuka usaha angkringan, Martuti merupakan seorang penjahit dan suaminya memiliki usaha bengkel las di rumah, di Kelurahan Giriwono, Kecamatan/Kabupaten Wonogiri. Kala itu, bisa dibilang Martuti dan keluarga bisa hidup cukup.

Baca Juga: Sacha Inchi di Wonogiri Ternyata Dikenal sebagai Kacang Sejuta Manfaat

Namun, keadaan seketika berubah 180 derajat saat pandemi Covid-19 menghantam pada 2020-2021. Usaha Martuti dan suaminya ambruk.

Begitu juga dengan usaha yang baru dirintis anaknya sebagai kontraktor terpaksa gulung tikar. Sedangkan satu anak lain dirumahkan perusahaan yang mempekerjakannya. Nasib malang juga menimpa menantunya yang kehilangan pekerjaan.

“Setahun lebih kami benar-benar kembang kempis. Tidak ada lagi yang bisa dimakan sehari-hari. Kami sangat terpuruk. Orang satu rumah tidak ada yang punya penghasilan. Jujur saja, waktu itu saya stres, sangat stres,” kata Martuti.

Saat bercerita tersebut, bola mata Martuti sempat berkaca-kaca. Martuti melanjutkan kisahnya.

Baca Juga: SPBU di Wonogiri Kehabisan Stok BBM, Sejumlah Pembeli Kecele

“Bayangkan, rumah kami ukuran 5 meter x 8 meter ditempati sebanyak empat keluarga dan jumlah orangnya ada 10 orang. Semuanya tidak ada yang bekerja,” katanya.

Agar bisa makan, Martuti menjual segala macam aset usaha milik suami dan anaknya. Mesin las, alat bengkel lainnya ia jual dengan harga sangat murah.

Bahkan alat-alat bangunan yang baru saja dibeli dengan hasil utang di bank senilai Rp100 juta terpaksa dijual agar bisa bertahan hidup di tengah-tengah pandemi Covid-19.

Persis sebelum pandemi, anak Martuti merintis usaha sebagai kontraktor bangunan dengan modal dari tabungan dan pinjaman bank. Harapan menjadi kontraktor itu pupus karena tergilas virus corona. Sementara, utang tetap harus dibayar.

Baca Juga: Ini Tegal Simbah Wonogiri yang Super Kece, Tawarkan Spot Pesona Alam Terbaik

“Alat-alat bangunan yang masih baru, belum dipakai, bahkan masih di dalam kardus, saya jual dengan harga seberapa pun yang mau beli. Molen [alat pengecor] pun sampai saya jual. Agar kami bisa makan, tetap hidup dan tidak minta-minta,” kata dia.

Suatu waktu, Martuti menghubungi PLN. Ia bermaksud menurunkan daya listrik rumahnya agar bisa tetap membayar tagihan.

Kala itu daya listrik rumah Martuti sebesar 3.500 vol ampere (VA). Daya listrik sebesar itu semula untuk usaha las listrik.

Ia mengajukan daya listrik rumahnya diturunkan karena tidak sanggup membayar tagihan senilai Rp350.000/bulan. Terlebih, dia tidak ingin jika sewaktu-waktu pihak PLN memutus jaringan listrik rumahnya lantaran menunggak bayar tagihan.

Baca Juga: Harga BBM Naik, Harga Ikan Di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri Justru Turun

“Daripada malu, mending saya turunkan dayanya sebelum jaringan listriknya diputus sama PLN,” ucapnya.

Guna membayar tagihan listrik saat itu, Martuti meminjam uang saudara yang berada di luar Wonogiri. Kondisi itu merupakan fase terpuruk dalam keluarganya.

Ia menceritakan pada saat keluarga lain menerima bantuan sosial dari pemerintah, Martuti hanya bisa menggigit jari. Keluarga Martuti tidak masuk dalam daftar Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menjadi syarat utama mendapatkan bantuan sosial.



“Saat orang-orang dapat bantuan sosial, saya hanya duduk di depan rumah sambil melihat mereka menenteng bantuan sosial dari pemerintah. Saya hanya bisa mengamati mereka,” kata dia.

Baca Juga: Penggunaan Branjang Kian Menjamur, Nelayan Waduk Gajah Mungkur Wonogiri Resah

Setelah beberapa saat, Pemerintah Wonogiri menggulirkan bantuan sosial Sapu Jagad. Bantuan itu berupa sembako yang diberikan kepada masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat.

“Saya akhirnya dapat itu, bantuan Sapu Jagad dari pemerintah Wonogiri. Tapi setelahnya saya tidak lagi,” kata Martuti.

Desember 2021, keadaan dinilai berangsur-angsur pulih. Martuti mencoba membuka usaha angkringan.

Ia sempat terseok-seok dan lebih sering merugi pada awal-awal buka. Sudah beberapa bulan, usahanya tak kungkung menguntungkan.

Baca Juga: Kurangi Polusi Udara, Dishub Wonogiri Gelar Uji Emisi Gratis 

Ia hampir menyerah. Bahkan ia sempat menutup usahanya selama sebulan.

Kini, warungnya sudah mulai mendatangkan untung. Pelan-pelan Martuti dan keluarga mulai bangkit.

Suaminya kini menjadi buruh di bengkel las milik orang lain. Anaknya sudah bekerja di pabrik kertas.

Sementara anak lainnya sedang merintis usaha furnitur berbahan kayu.

Baca Juga: Warga Wonogiri Sulit Peroleh BBM Subsidi, Bupati Usulkan Penambahan Kuota

“Sejak harga BBM naik, pendapatan saya berkurang 50 persen, saestu. Sekarang sehari dapat Rp50.000,” kata perempuan setengah baya itu. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya