SOLOPOS.COM - Mantan napi teroris, Yudi Zulfahri, 33 (kanan) memberikan materi tentang bahaya penyebaran radikalisme melalui media ekstrem di Workshop Media Tentang Isu Kekerasan dan Radikalisme di Syariah Hotel, Jumat (7/10/2016). (Muhammad Ismail/JIBI/Solopos)

Mantan narapidana terorisme menceritakan kisahnya setelah keluar dari penjara.

Solopos.com, SOLO — Yudi Zulfahri, 33, alias Barok tidak pernah menyangka terkena terpengaruh media ekstrem yang mengubah pemikirannya menjadi seorang radikal.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Berbicara dalam Workshop Media tentang Isu Kekerasan dan Radikalisme di Syariah Hotel Solo, Jumat (7/10/2016), Yudi mengatakan media ekstrem yang dia pelajari saat itu soal pemahaman syariah Islam dan negara Islam.

Ia dengan mudah mengakses media ekstrem itu dari Internet dan membaca buku. Sebagai seorang pemuda ia sangat bersemangat setelah memahami isi media ekstrem itu.

Ekspedisi Mudik 2024

Ia tidak pernah mencari referensi lain untuk mencari pembenaran tentang apa yang telah dipelajarinya. Semua ajaran dari media ekstrem itu dia telan mentah-mentah.

Pria kelahiran Banda Aceh, 18 Maret 1983, itu bergabung dengan kelompok radikal di Aceh. Di saat bersamaan, pada 2010 Aceh dijadikan kamp pelatihan militer.

Ia ikut bergabung dalam pelatihan tersebut yang berperan sebagai koordinator lapangan. Tugas utamanya menyediakan sarana dan prasarana (sarpras) pelatihan.

Tepat pada 22 Februari 2010 di perbukitan Jalin, ia ditangkap Densus 88 dan ditetapkan sebagai tersangka teroris dalam penggerebekan di kamp pelatihan militer. Ratusan orang dari Aceh, Jawa, dan sekitarnya ditangkap Densus 88 pada saat itu.

Pimpinan kamp militer pada saat itu adalah Dulmatin dan beberapa buron teroris lainnya. Di persidangan, Yudi divonis 5 tahun penjara.

Yudi menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Banda Aceh dan Polda Metro Jaya. Saat berada di LP Polda Metro Jaya, ia bertemu Ali Imron, salah seorang napi terorisme yang mengajaknya kembali ke jalan yang benar.

“Saya dua tahun bersama dia [Ali Imron] di penjara. Selama di penjara saya mampu menghilangkan pemikiran radikal dan mengajarkan ajaran Islam sesunguhnya,” kata dia.

Ia merasakan setelah keluar dari penjara stigma sebagai napi teroris masih melekat sampai sekarang. Bahkan orang yang sebelumnya tidak tahu profil dirinya menjadi tahu setelah mengakses Internet.

“Saya sudah berusaha menutupi identitas saat bergaul dengan masyarakat. Namun, nama saya sudah banyak tercatat di Google sehingga sulit menutupinya,” kata dia.

Yudi berharap pemerintah ikut mengembalikan nama baiknya agar dirinya tidak lagi dicap sebagai teroris. Ia mengaku kesulitan mencari kerja karena label tersebut.

“Saya sekarang masih berjuang mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarga. Banyak perusahaan menolak lamaran saya setelah mengetahui profil saya,” kata dia.

Yudi menjelaskan kesibukannya sekarang membantu pemerintah dalam memberikan pemahaman tentang bahaya paham radikalisme. Kesibukan lainnya menyelesaikan kuliah Program Pascasarjana Studi Kajian Ketahanan Nasional di Universitas Indonesia (UI).

“Saya mendapatkan kemudahan dari pemerintah terutama dalam mendapatkan paspor untuk belajar di luar negeri,” kata dia.

Sementara itu, Ketua PWI Jateng, Amir Machmud, yang juga menjadi pembicara dalam workshop tersebut, mengatakan media miliki peran penting sebagai penyeimbang ketika ada berita dari media ekstrem. Selama ini kesulitan media adalah mencari narasumber ketika terjadi penangkapan teroris.

“Kami berharap ke depan peran media benar-benar menjadi acuan masyarakat dalam memerangi media ekstrem. Hal ini sangat penting agar orang bisa mendapatkan pencerahan ketika membaca media,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya