SOLOPOS.COM - Wiyono Slamet, 85, warga eksodan asal Aceh di Dusun Pakem, Desa Watuagung, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, menunjukkan rapuhnya hunian sementara (Huntara) yang ia tempati sejak 2002, Minggu (11/9/2022). (Solopos.com/Luthfi Shobri M.)

Solopos.com, WONOGIRI–Wakijan, 64, masih teringat betapa baik keadaan finansialnya saat masih tinggal di unit permukiman transmigran (UPT) di daerah Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.

Keadaan baik yang berlangsung hampir 20 tahun itu tiba-tiba berbalik 180 derajat pada 1999, ketika ia terpaksa kembali ke kampung halamannya di Eromoko, Kabupaten Wonogiri, guna mencari perlindungan atas pergolakan yang terjadi di Aceh.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Bersama istri dan dua anaknya yang masih berusia belasan tahun, Wakijan meninggalkan Aceh yang telah menghidupinya sejak 1982. Di sana, ia memiliki lahan seluas dua hektare (Ha).

Satu hektare ditanami sawit, seperempat hektare untuk pekarangan rumahnya, dan sisanya berupa hutan belantara. Selama bertahun-tahun, lahan tersebut ia garap dan berhasil membuatnya berkehidupan lebih baik.

Sementara saat Wakijan masih berada di Wonogiri, tak ada tanah yang bisa digarap. Latar belakang dari keluarga miskin membuatnya berupaya agar kehidupannya berubah lebih baik.

“Waktu itu ada program transmigrasi dari pemerintah, tahun 1982. Bagi yang mau transmigrasi ke Aceh, pemerintah telah menyiapkan lahan siap garap seluas dua Ha. Tapi rumahnya masih berupa gubuk sederhana,” kisahnya kepada Solopos.com, Minggu (11/9/2022).

Wakijan mengambil peluang itu. Bersama ratusan warga Wonogiri lainnya, ia diberangkatkan menuju UPT di Meulaboh.

Selama beberapa bulan awal tinggal di sana, ia menerima bantuan sembako. Seiring tanah yang diberi pemerintah mulai ia garap dan berhasil, bantuan pun tak lagi diberikan kepadanya.

“Rumah yang tadinya gubuk pun sedikit demi sedikit mulai saya bangun. Lebih enak memang kerja di sana, karena setiap hari pasti ada saja yang dikerjakan,” ucapnya.

Di sisi lain, Aceh pada saat itu dikenal sebagai daerah konflik yang bersumber dari perbedaan cara pandang masyarakat setempat dan pemerintah Indonesia. Konflik yang digerakkan sekelompok orang yang dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memanas pada 1998, seiring mundurnya presiden Soeharto dari jabatannya.

Wakijan terkena imbasnya lantaran menjadi subjek yang tak disenangi GAM. Konflik yang makin panas hingga awal 2000-an membuatnya mau tak mau pergi dari Aceh Barat, menuju kampung halamannya di Wonogiri. Hal itu mesti dilakukan untuk berjaga-jaga semisal ada yang mencarinya lalu dibunuh.

Ia, istri, dan dua anaknya, pulang ke Wonogiri berbekal uang saku senilai Rp200.000/orang. Dari Aceh, mereka naik bus, menyusuri jalan-jalan di Sumatra-Jawa, dengan waktu lebih kurang enam hari. Harta benda, lahan seluas dua hektare yang biasa digarap, ia tinggalkan semuanya.

Wakijan tak sendiri. Kala itu, puluhan hingga seratusan orang bereksodus ke Wonogiri. Mereka sama sepertinya, mengadu nasib dengan mengikuti program transmigrasi dari pemerintah, lalu pulang dengan tanpa harta benda.

Wiyono Slamet, 85, mengaku ikut program transmigrasi pada 1977. Berbeda dengan Wakijan, Wiyono ditempatkan di Aceh Utara. Kala konflik di Aceh memanas pada 1999, ia berupaya secepat mungkin melarikan diri. Tujuannya hanya satu, tetap hidup dan berkumpul dengan keluarga di kampung halamannya di Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri.

Saat mencoba melakukan eksodus dari Aceh ke Wonogiri, Wiyono hanya membawa tas berisi pakaian dan sisa uang saku senilai Rp5.000 di dompet.

Sementara sisa uang lainnya digunakan menyewa mobil untuk membawanya pergi ke Kota Medan. Ia terpaksa membawa bekal seadanya, pasalnya, ia tahu namanya berada di daftar merah yang bakal dibunuh kelompok yang mengatasnamakn GAM.

“Sewaktu mobil carteran menuju Medan sampai di sebuah jembatan, saya tahu ada yang berusaha menghadang di depan. Saya turun dari mobil, lalu menceburkan diri ke sungai. Sedangkan tasnya saya tinggal di mobil. Yang saya tahu sesudah itu, mobil dan sopirnya udah dibakar,” kisah Wiyono, Minggu.

Seusai kejadian itu, ia mendatangi kantor polisi. Oleh polisi setempat, ia diberi uang untuk melanjutkan perjalanan dan singkat cerita sampai di kampung halamannya di Wonogiri.

Tukijan, 65, koordinator transmigran dari Wonogiri ke Aceh pada 1982, menyebut setidaknya ada 94 keluarga yang ikut dalam program pemerintah Orde Baru.

Masing-masing keluarga transmigran diberi lahan seluas dua Ha dan rumah sederhana. 94 keluarga tersebut menempati UPT di daerah Meulaboh, Aceh Barat.

Saat konflik di Aceh pecah menjelang 2000, Tukijan memperkirakan ada ratusan keluarga yang melakukan eksodus dari Aceh ke Wonogiri. Jumlahnya lebih banyak, lantaran program transmigrasi tak hanya dilakukan pada 1982. Namun ia memastikan, seluruh keluarga yang eksodus tersebut berasal dari Aceh.

“Waktu itu saya jadi kepala desa di Meulaboh, tapi saya memilih pulang ke Gendayakan, Kecamatan Paranggupito, dan enggak kembali lagi ke Aceh. Sekitar 2000,” ucapnya kepada Solopos.com, Minggu.

Pada 2002, seiring banyaknya eksodan asal Aceh yang kembali ke Wonogiri, Pemkab setempat mengumpulkan mereka.

Tukijan, Wiyono, Wakijan, dan puluhan keluarga lain diberi tempat singgah sementara yang berlokasi di tiga desa. Antara lain Desa Watuagung (Baturetno), Desa Selomarto (Giriwoyo), dan Desa Sirnoboyo (Giriwoyo).



“Dulu ada banyak yang tinggal di Huntara [Hunian sementara yang disediakan Pemkab], tapi sebagian ada yang memilih kembali ke keluarganya, merantau lagi ke daerah lain, hingga kembali ke Aceh. Sisanya, huntara di Watuagung ini ada 14 keluarga, Selomarto 13 keluarga, dan Sirnoboyo 15 keluarga,” kata dia.

Pada 2016, 15 keluarga eksodan asal Aceh di huntara Sirnoboyo telah mendapat bantuan rumah di desa setempat. Bantuan rumah tersebut belakangan diketahui berasal dari CSR BRI.

Sedangkan 27 keluarga eksodan yang tinggal di huntara Selomarto dan Watuagung, tak lama lagi mendapat rumah permanen dari hasil bantuan Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperakim) Jateng dan Pemkab Wonogiri.

Sebanyak 27 rumah tersebut sudah selesai dibangun. Namun rumah tersebut belum ditempati warga eksodan lantaran listrik dan air bersihnya belum tersedia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya