SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Madiunpos.com, MADIUN — Jamu tradisional Jawa seperti kunir asem, beras kencur, temulawak, biasa dijual di pasar-pasar tradisional atau berkeliling dari rumah. Biasanya penjual jamu adalah wanita dengan membawa rinjing.

Jamu itu dijual per gelas atau per botol menggunakan botol air mineral bekas. 

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Di Kota Madiun, jamu tradisional dibuat secara profesional. Jamu tradisional tak lagi sekadar jajanan sekali teguk, tapi menjadi oleh-oleh khas Madiun.

Adalah Oktavia Purnawati W., 39, warga Madiun yang berkreasi mengemas jamu tradisional menjadi lebih berkelas dan higienis yang dinamai D’jamoe. Saat Madiunpos.com mendatangi rumah produksi D’jamoe di Kelurahan Mojorejo, Kecamatan Taman, Kota Madiun, Minggu (11/11/2018) malam, puluhan botol jamu tertata rapi di kulkas showcase.

“Itu sebagian pesanan dan sebagian lagi stok kalau ada yang beli di rumah,” kata Oktavia Purnawati W. yang akrab disapa Vivi sambil menunjuk kulkas showcase.

Saat ini, ungkap dia, orderan D’jamoe cukup banyak. Order tidak hanya datang dari dalam kota, tetapi juga luar kota mulai Jakarta, Surabaya, dan daerah tetangga Madiun. Pada hari Senin sampai Rabu, Vivi bisa memproduksi jamu sebanyak 60 liter. Sedangkan pada saat hari Kamis sampai Minggu, Vivi mampu memproduksi jamu sebanyak 150 liter.

Ibu satu anak ini tidak menyangka hasil jerih payahnya bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Dia mengaku tak mudah memasarkan produk jamu supaya diterima khalayak apalagi sampai dikirim ke luar Madiun.

Kisah awal D’jamoe bermula dari keisengannya mengutak-atik resep hingga akhirnya menemukan resep jamu beras kencur pada pertengahan tahun 2015. Vivi berulang kali memodifikasi resep jamu hingga menemukan resep yang pas. Setelah resep beras kencur ditemukan, selanjutnya ia mencoba membuat jamu temulawak dan kunir asem.

Setelah yakin dengan rasa yang ditawarkan, Vivi dengan penuh percaya diri memasarkan produk jamu ke kerabat dan relasinya. Saat itu kemasan jamunya masih biasa berupa botol air mineral.

“Saya kan memang suka masak dan hobi coba-coba. Di keluargaku ga ada yang punya history bisa membuat jamu. Ya ini hasil keisenganku,” kelakarnya.

Optimistis dengan produk yang ia buat, Vivi kemudian mengurus izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) dan membuat logo produk ala kadarnya. Vivi yang kala itu masih menjadi karyawan di salah satu perusahaan swasta di Madiun mencoba untuk menawarkan D’jamoe ke Hotel Aston Madiun.

Setelah proses uji dari tim manajemen Hotel Aston yang cukup panjang, hingga akhirnya D’jamoe layak dijadikan salah satu menu minuman saat sarapan di hotel berbintang itu. Dengan diterimanya produk jamu itu di Aston, Vivi mengaku semakin percaya diri dalam membesarkan usahanya itu. Istri Rizki Oktavian itu menatap masa depan cerah di bisnis minuman tradisional ini.

Keberhasilannya memasukkan produk di Hotel Aston, kemudian dilanjutkan dengan langkahnya menawarkan D’jamoe ke Hotel Sun Madiun. Setelah menjalani prosedur pengujian dari tim hotel, D’Jamoe pun diterima dan dijadikan sajian di Hotel Sun.

Karena saat itu Vivi masih kerja kantoran, dia pun kerap menawarkan D’jamoe ke relasi dan teman kerja. Selain itu, promosi melalui Facebook dan Instagram juga digencarkan supaya jamu tradisional ini bisa dikenal secara luas oleh khalayak.

Kala masih merintis, Vivi hanya memproduksi D’jamoe dua kali sepekan. Pada hari Senin dan Selasa, Vivi mengumpulkan orderan kemudian hari selanjutnya baru memproduksi dan mendistribusikannya. Dalam sekali produksi, ia menghasilkan 40 botol jamu. Pada hari Minggu, Vivi memanfaatkan arena car free day di Jl. Pahlawan Kota Madiun untuk berjualan. Hasilnya, puluhan botol D’jamoe bisa terjual di arena CFD.

Perbaiki Kemasan

Setelah produknya mulai dikenal masyarakat, Vivi mengikuti forum komunitas para start up atau pengusaha baru di Madiun. Lulusan Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu banyak mendapatkan motivasi dan sharing pengalaman dari mentor. Hingga akhirnya pada November 2017, Vivi semakin yakin dengan usahanya itu.

Mentor komunitas yang dia ikuti menyarankan packaging atau kemasan produk jamu diperbaiki dan logo diperbarui. Saran itu ia turuti. Vivi mengganti kemasan dari yang awalnya hanya berupa botol air mineral menjadi botol khusus.

“Saat itu sempat galau juga, karena untuk membeli botol itu kan juga perlu modal besar. Tapi kemudian saya nekat untuk memesan botol. Awal itu saya pesan botol dengan nilai Rp1,2 juta,” kata dia.

Ternyata kemasan yang bagus itu berbanding lurus dengan jumlah permintaan. Padahal harga yang ditawarkan lebih tinggi dibandingkan jamu yang dijual di pasar tradisional. Untuk botol kecil D’jamoe ukuran 350 ml dijual dengan harga Rp9.000 dan botol besar 600 ml dijual dengan harga Rp15.000. Namun, konsumen justru mau merogoh kocek untuk membeli jamu yang dikemas higienis dan lebih ramah dipandang.

Dengan kemasan yang lebih higienis itu, D’jamoe kini diterima di beberapa toko oleh-oleh dan kafe seperti toko roti khas Madiun Bluder Cokro di Jl. Hayam Wuruk, Kota Madiun. D’jamoe bersanding dengan minuman soft drink dari pabrik. Di toko oleh-oleh itu, puluhan botol D’jamoe setiap hari terjual.

Lantaran orderan D’jamoe semakin membeludak, pembuatan jamu yang awalnya dikerjakan sendiri bersama suami tidak lagi cukup. Akhirnya, Vivi mengambil dua karyawan untuk membantu produksi jamu.

“Saya ambil warga Madiun. Mereka saya latih bagaimana membuat jamu yang sesuai dengan resepnya. Resep jamu miliknya saya jaga supaya rasanya terjamin,” ujar dia.

Setelah orderan banyak, Vivi kewalahan mambagi waktu untuk urusan pekerjaan, bisnis, dan keluarga. Akhirnya, dia memantapkan diri untuk resign atau keluar dari pekerjaannya. Vivi memutuskan untuk keluar dan fokus membesarkan D’jamoe serta mengurus keluarga.



“Sempat ga yakin juga. Kalau saya keluar dari pekerjaan apa hasil di bisnis bisa mencukupi kebutuhan hidup. Tetapi dengan berbagai pertimbangan dan motivasi dari mentor akhirnya saya mantap untuk resign,” terang Vivi.

Setelah keluar dari pekerjaan, Vivi fokus mengembangkan bisnisnya. Rata-rata omzet D’jamoe setiap bulan bisa menembus angka Rp17 juta. Dia pun bersyukur bisnis tersebut menjadi jalan rezeki bagi keluarganya.

Vivi berharap D’jamoe semakin tenar dan digemari masyarakat. Menurut dia,  jamu merupakan minuman tradisional asli Indonesia dengan beragam manfaat. Seperti beras kencur bisa menyegarkan badan, meredakan maag, menambah nafsu makan, dan lainnya. Sementara, ungkap dia, kunir asem berkhasiat memperlancar datang bulan, memperbanyak air susu ibu (ASI) untuk ibu menyusui, dan lainnya.

Satu cita-cita besar yang ingin direalisasikan Vivi yaitu membangun outlet resmi penjualan D’jamoe. Dengan adanya outlet ini, ungkap dia, konsumen bisa langsung datang dan memilih berbagai minuman jamui. Selain itu, dia berharap D’jamoe bisa diterima menjadi oleh-oleh khas Madiun. 

Silakan KLIK dan LIKE untuk lebih banyak berita Madiun Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya