SOLOPOS.COM - Surat dari Alif untuk ayahnya (Twitter @mdeandi)

Kisah inspiratif kali ini tentang seorang pemuda yang menolak beasiswa S3 demi menjadi gudu di pelosok Indonesia.

Solopos.com, SOLO – Wisuda merupakan momen yang sangat dinantikan oleh para mahasiswa. Momen ini terasa sangat spesial karena menandai akhir kuliah dan awal menata kehidupan sesungguhnya. Jadi, bukan hanya si mahasiswa, orang tua mereka pun turut bergembira merayakan momen spesial itu.

Promosi BRI Siapkan Uang Tunai Rp34 Triliun pada Periode Libur Lebaran 2024

Tapi, tidak semua orang merasa bahagia saat wisuda, seperti dirasakan seorang pemuda bernama Alif yang merupakan anak dosen Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada, I Made Andi Arsana. Di hari wisudanya, Alif malah merasa galau. Sebab, ia sama tak didampingi oleh orang tuanya di momen spesial itu.

Sepanjang prosesi wisuda, Alif menuliskan surat untuk sang ayah. Lewat surat itu, ia menceritakan kesedihannya berangkat wisuda tanpa didampingi orang tuanya. Padahal, saat itu ia lulus dengan predikat cumlaude, seperti yang diminta oleh sang ayah. Surat itu pun sontak menarik perhatian netizen seusai diunggah oleh I Made Andri Arsana lewat akun Twitter @madeandi, Rabu (23/8/2017).

Ekspedisi Mudik 2024

“Aku menulis surat ini di tangga Graha Sabha Pramana (GSP) yang termasyur itu. Di kepalaku masih ada toga dan gantunganya berjuntai dimainkan angin di dekat wajahku. Aku sudah lulus, pa. Aku lulus seperti yang papa syaratkan: cepat dan indeks prestasi (IP) tinggi. Aku tadi ikut berdiri ketika para wisudawan cumlaude dipaggil dan diperkenalkan pada hadirin. Sayang sekali papa tidak ada di sana,” tulis Alif mengawali suratnya.

Meski merasa kecewa, Alif tetap mendoakan kedua orang tuanya yang tengah bertugas di luar negeri. Ia harus puas melewatkan momen wisuda hanya bersama bibinya, Parmi. Ia menceritakan keluarga temannya dari Bali yang menyambut bahagia prestasi sang anak. Ia kagum ibu temannya yang hanya seorang penjual nasi bungkus dan tidak tamat SD rela datang jauh-jauh dari Bali ke Jogja demi melihat anaknya diwisuda.

Alif juga menceritakan seorang kakak kelasnya yang terlambat lulus. Saat surat ini ditulis, ia menjadi saksi kebahagiaan semua orang yang berada di sana. Semua orang dari berbagai daerah tumpah ruah dan hanyut dalam kebahagiaan. Ia pun ikut bahagia melihat keceriaan di wajah setiap orang yang dijumpainya.

Tapi, tiba-tiba Alif menjadi galau setelah menerima email dari seorang dosen di University of New South of Wales Sydney, Australia. Dosen tersebut menerimanya sebagai mahasiswa dan menjaminnya mendapat beasiswa langsung ke jenjang S3. Tapi, ia malah ragu mendapat kesempatan emas itu. “Dia bilang aku enggak perlu S2 karena nilaiku setara dengan first class honor. Dia kirim salam untuk papa. Dia berkelakar telah melihat papa pada diriku dan itu membuatku tidak nyaman. Apa benar aku diterima karena kemampuanku, atau karena papa temannya? Aku kadang ragu,” ungkapnya.

Alif semakin ragu lantaran ingat pesan sang mama yang menginginkannya melanjutkan kuliah ke Oxford University, Inggris, atau Harvard University, Amerika Serikat. Ia takut membuat mamanya kecewa jika tak berhasil menjadi salah satu mahasiswa di kampus bergengsi itu.

Alif sempat berpikir ingin bekerja terlebih dahulu seperti seorang temannya. Ia mendapat tawaran pekerjaan dari seorang kerabat sebagai programmer dengan gaji awal sekitar Rp11 juta. Namun, ia juga bingung dengan tawaran itu. Ia takut dihina kerabat lainnya yang pernah mendapat gaji lebih besar saat baru lulus kuliah. Ia merasa sangat galau dan tak mengerti apa yang harus dilakukan.

Tapi, setelah berpikir panjang, Alif akhirnya membuat pilihan yang cukup mengejutkan. Ia yang terlahir dari keluarga yang terlihat sempurna justru memilih hidup sederhana dengan bekerja menjadi seorang guru.

“Pa, kali ini aku mohon papa mengabulkan permintaanku. Aku ingin melihat Indonesia dari tepi Danau Toba atau lereng Gunung Rinjani atau tepian Sungai Mahakam. Aku ingin melihat Indonesia dari pinggiran hutan di pedalaman Papua. Aku ingin melihat puncak Monas dari sabana di Bima. Aku ingin mengagumi julangan Indonesia yang tinggi sambil duduk bergelayut di akar pohon ratusan tahun di hutan Kalimantan. Aku ingin bergabung dengan Indonesia Mengajar. Menjadi pengajar muda. Aku mohon restu papa,” tulis Alif di akhir surat.

Kisah yang ditulis Alif lewat surat itu pun membuat netizen terharu. Mereka tak menyangka Alif yang terlihat sangat cerdas dan memiliki kemampuan menimba ilmu ke luar negeri justru memilih menjadi pengajar. Ia memilih membagikan ilmunya kepada anak-anak kurang beruntung di pedalaman Indonesia.

“Sedih dan terharu. Buat Alif, lakukan semua hal sesuai hati nuranimu nak,” komentar @devi_yoan.

“Sederhana banget si Alif. Padahal dari track record-nya, hidupnya Alif jauh lebih baik dari teman-temannya, apalagi saya. Tapi salut sama down to earth-nya,” imbuh @tikaapz.

“Hebat, sukses terus nak,” imbuh @_segitiga_. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya