SOLOPOS.COM - Sadek Ali Hassan (Malaysiandiggest.com)

Kisah inspiratif tentang pria yang mendirikan sekolah khusus untuk anak Rohingya di Malaysia.

Solopos.com, SOLO – Krisis berkepanjangan yang dialami etnis Rohingya terus menjadi sorotan dunia. Meski telah mendapat banyak kecaman, sampai saat ini pemerintah Myanmar belum bisa mengatasi krisis tersebut secara tuntas.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Terbukti, sebagian besar warga Rohingya memilih meninggalkan kampung halaman di Rakhine, Myanmar, dan mengungsi ke negara tetangga, seperti Bangladesh, India, dan Nepal. Kisah tragis itu membuat pria keturunan Rohingya, Sadek Ali Hassan, 44, sedih. Ia tak menyangka saudaranya menjadi korban kekejaman tentara Myanmar hingga terusir dari tanah kelahiran.

Sama seperti warga Rohingya lainnya, Sadek juga mengalami nasib yang sama. Namun, ia sudah meninggalkan kampung halamannya dan menetap di Malaysia selama 25 tahun. Ia ingat betul kekejaman tentara Myanmar yang membuat kehidupannya berubah.

Ekspedisi Mudik 2024

“Aku berasal dari keluarga mampu. Ayahku adalah tuan tanah. Kami memiliki kebun sayur dan buah-buahan yang subur. Kami juga punya kolam ikan yang produktif. Kehidupanku saat itu sangat sempurna. Aku sekolah di pagi hari dan malamnya bermain dengan anak-anak tetangga,” kenang Sadek seperti dilansir South China Morning Post, Selasa (26/9/2017).

Kehidupan masa kecil Sadek berjalan normal dan penuh kebahagiaan. Ia dan warga muslim lainnya bisa beribadah di masjid dengan bebas. Namun, keadaan berubah saat terjadi aksi demonstrasi besar-besaran pro-demokrasi menyebar ke seluruh penjuru Myanmar pada 1988. Akibatnya, desanya dijaga ketat oleh aparat keamanan.

Myanmar

Tentara Myanmar memaksa penduduk lokal bekerja sebagai buruh. Kondisi itu lama-kelamaan membuat Sadek tidak nyaman. Sebagai mahasiswa yang aktif, ia sering dihukum dan ditahan karena dianggap melakukan kesalahan. Akhirnya,  ia memutuskan meninggalkan kampung halaman pada 1992.

“Saya dulu ketua aktivis mahasiswa yang sering ditahan. Saya diberi hukuman yang sangat mengerikan. Saya harus berdiri selama dua sampai tiga jam dengan kaki ditekuk layaknya pengendara motor. Saya juga harus mengeluarkan bunyi sepeda motor, jika tidak mereka akan menendang dan memukul,” ungkapnya.

Sadek melarikan diri saat melihat kerusuhan di pasar Ramadan dekat kampungnya. Saat itu, para petugas keamanan menembaki orang-orang yang terlibat bentrokan tanpa ampun. Kejadian itu membuatnya sadar nyawanya terancam. Ia lantas memutuskan kabur ke Bangladesh setelah menjual hasil kebun. Tak hanya sendiri, ia bersama tujuh temannya menjadi yang pertama tiba di Bangladesh.

Tapi, Sadek hanya singgah sebentar di Bangladesh. Ia melanjutkan perjalanan ke India, Thailand, dan akhirnya memutuskan menetap di Malaysia pada 2006. Di sana, ia mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak Rohingya yang menjadi korban seperti dirinya.

“Sekarang ada lebih dari 5.000 orang Rohingya di Ampang, Kuala Lumpur, dan 103 di antaranya adalah anak-anak. Mereka hampir tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Nah, di sekolah ini aku mengajarkan mereka cara membaca, menulis, dan mengaji,” paparnya.

Meski tidak mudah, Sadek berharap usahanya memperbaiki nasib anak-anak Rohingya berbuah manis. Ia berharap mereka mendapat pendidikan yang layak agar bisa mengubah nasib keluarga. “Meski sangat sulit, aku tidak akan menyerah. Aku berharap mereka mendapat pendidikan yang layak untuk mengubah masa depan menjadi lebih baik,” tandasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya