SOLOPOS.COM - Wuriasih Wijayanti, ibu single parent asal RT 004/ RW 001 Desa Ngesrep, Ngemplak, Boyolali, berjualan susu keliling bersama anak balitanya, Putra Wijaya Ilhamuddin, di Ngesrep, Ngemplak, Senin (24/10/2016). (Aries Susanto/JIBI/Solopos)

Kisah inspiratif, Wuriasih Wijayanti tak menyerah meski beban berat menantinya setiap hari demi menghidupi dua anaknya.

Solopos.com, BOYOLALI — Sudah empat bulan ini Wuriasih Wijayanti, 35, berkeliling tiap hari menjajakan susu. Anak bungsunya, Putra Wijaya Ilhamuddin, yang masih duduk di TK nol kecil, selalu menyertainya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sejak empat bulan lalu, anak berusia 4 tahun ini tak lagi bisa melihat ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarganya.  Ayah Putra, Bahrudin, meninggal dunia karena sakit kronis di kepalanya. Cobaan itu membuat kehidupan ekonomi keluarga itu terguncang.

Wuriasih pun menyingsingkan lengan bajunya. Orang tua tunggal asal RT 004/ RW 001 Desa Ngesrep, Ngemplak, Boyolali, ini akhirnya berjualan susu keliling.  Perjuangan Wuriasih sungguh berat.

Ekspedisi Mudik 2024

Karena tak ada yang menjaga Putra, si bungsu itu pun terpaksa dibawa ke mana pun Wuriasih keliling berjualan susu.  Biasanya, Putra duduk membonceng di jok belakang motor ibunya.

“Anak saya dua masih kecil-kecil semua. Saya jualan susu keliling sejak suami meninggal dunia,” ujar Wuri saat berbincang dengan Solopos.com di sela-sela berjualan susu keliling, Senin (24/10/2016).

Wuri berjualan susu kemasan dari pagi sampai mentari menjelang lingsir. Selepas Salat Subuh, Wuri memasang rombong berisi susu kemasan di jok motor bagian belakangnya.

Di atas rombong itulah, anaknya yang masih balita itu duduk menemaninya. Setelah jalan raya mulai ramai dengan anak-anak berangkat sekolah, Wuri mulai memacu motornya.

Ia mencari pembeli di dekat sekolah-sekolah bersama anaknya itu hingga sore tiba. Harga susu kemasan yang ia jual Rp2.500/ bungkus.

“Kalau pas laris, ya bisa dapat untung Rp50.000. Tapi kalau musim hujan begini, ya paling hanya dapat Rp20.000,” ujar dia.

Wuri menyadari mengajak putranya berjualan susu cukup berisiko. Apalagi, anak balitanya itu ditempatkan di jok motor bagian belakang sehingga rawan jatuh.

Namun, hanya itulah yang mampu ia lakukan. Di rumah tak ada saudara yang menunggu dan merawatnya. Pun tak ada uang untuk menyewa penjaga anak.

“Kakek-nenek dari pihak saya dan suami juga sudah meninggal semua. Anak sulung juga masih kecil,” jelas dia.

Beberapa bulan lalu, putra pertama Wuri, Cahaya Aprilia, baru saja masuk SD. Sekolah Cahaya bukannya tanpa masalah. Sudah beberapa bulan ini Cahaya menunggak membayar pembelian lembar kegiatan sekolah (LKS).

“Biaya tunggakan LKS masih Rp120.000. Saya belum punya uang,” kata dia.

Anak bungsu Wuri juga bernasib sama. Meski kini sudah mengenakan seragam TK nol kecil, Putra masih menunggak biaya pendaftaran masuk TK.

“Saya baru bisa mengangsur Rp300.000. Sisanya saya angsur setiap bulan semampu saya,” ujar dia.

Putra adalah anugerah terindah keluarga Wuri. Selama menemaninya berjualan, Putra tak pernah rewel. Itulah yang membuat Wuri sangat bersyukur. “Saya seperti dibantu anak saya ini,” kata dia.

Wuri mengaku selalu terkenang nasihat mendiang suaminya agar merawat dengan baik kedua anaknya itu. Kini, meski ekonominya pas-pasan, Wuri tetap berjuang gigih menyekolahkan kedua anaknya itu.

Wuri tak menyerah meski harus mengajak anak bungsunya yang masih balita itu berjualan keliling di kampung-kampung dan sekolah-sekolah di wilayah Kecamatan Ngemplak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya