SOLOPOS.COM - Warung bakso Prima di Merauke (Rini Y/JIBI/Solopos)

Selama 30 Januari-3 Februari 2017, Media Freedom Commitee (MFC) Indonesia mengirimkan tiga jurnalis ke Merauke, Papua. Salah satunya dari Solopos.com.

Solopos.com, MERAUKE — Beberapa sudut jalanan selebar sekitar 7 meteran di Merauke, Papua masih tergenang air. Hujan deras disertai angin kencang melanda Kota Rusa dalam dua hari terakhir. Selasa (31/1/2017) sekitar pukul 19.00 waktu Papua, air dari langit baru saja red, namun, tak menyurutkan warga menjejali warung bakso di Jl Jenderal A Yani Merauke.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Yono pemilik warung bakso Prima, Merauke (Rini Y/JIBI/Solopos)

Yono pemilik warung bakso Prima, Merauke (Rini Y/JIBI/Solopos)

Warung bakso Prima berdinding papan kayu cat hijau seluas 24 meter persegi terletak di pusat kota Merauke. Oleh warga, bakso Prima dinilai sebagai jajaran bakso terenak di kabupaten seluas 44,07 km persegi.

Malam itu ada belasan orang yang memenuhi kursi-kursi dan meja panjang. Seperti halnya warung bakso di Solo, Prima menyediakan bakso tenis—bakso sebesar bola tenis, mi ayam, aneka jus dan minuman dingin/hangat. Yang berbeda, Prima menyediakan buras—mirip lontong terbuat dari beras dicampur santan. Harga semangkok bakso gurih Rp16.000, mi ayam Rp13.000 dan mi ayam bakso Rp18.000. Segelas es teh Rp6.000, es jeruk Rp8.000 dan aneka jus mulai Rp15.000.

“Kami tidak menyediakan bakso rusa. Pernah jual di sini, tidak laku,” ujar lelaki berkaos putih ketika melayani rombongan MFC Indonesia.

Pria bertubuh gempal itu bernama Sumadiyono, 51. Dia salah satu pemilik bakso Prima. Sudah enam tahun lamanya Sumadiyono bersama Yatno, 46, membuka warung bakso di tanah Merauke. Kedua pria yang masih punya hubungan kerabat ini berasal dari Jumapolo, Karanganyar. “Selepas warung sepi saja ya, nanti kita ngobrol,” ujarnya kepada Solopos.com.

Dua jam berlalu, selama itu pula Yono panggilan akrab Sumadiyono melayani pembeli yang datang silih berganti. Yono membuka kisah awal mula membuka warung di tanah rantau. Sulitnya mendapatkan kerja membuat dia memutuskan meninggalkan Karanganyar.

“Ada Pakde yang dulu ikut program transmigrasi. Kerja di Jawa susah, buka warung bakso di Karanganyar juga banyak pesaing, saya pilih ke sini yang masih jarang bakso,” jelas bapak dua anak ini.

Dari mulai berdagang bakso menggunakan gerobak secara keliling, Yono akhirnya menyewa petak tanah sempit hanya seluas 9 meter persegi yang dibangun warung ala kadarnya. Kian laris, selang dua tahun warungnya diperluas. Jumlah karyawan yang bekerja tambah banyak.

Kini ada 13 orang seumuran remaja bekerja di bakso Prima. Semua berasal dari Jumapolo, Karanganyar. “Ini tuh masih kerabat semua. Masih lajang semua itu. Ngajak saudara lah daripada di Jawa susah,” tambah Yatno.

Perjuangan Yono dan Yatno meninggalkan istri dan anak di Jumapolo tak sia-sia. Prima menjadi warung bakso yang digandrungi. Mayoritas konsumen mereka warga pendatang. Setiap hari, 40 kg daging sapi dan 40 kg mi ludes.

Omzet Prima bisa mencapai Rp11 juta-15juta/hari. Dengan keuntungan bersih sekitar Rp5 juta setiap harinya. “Sapinya kami beli dan sembelih sendiri,” jelas Yatno yang mengaku pulang ke Karanganyar setiap tiga hingga empat bulan sekali.

Tak ada rencana bagi Yono dan Yatno pulang kampung, baginya Merauke adalah kampung halaman kedua. “Buka usaha di Jawa susah,” tuturnya beralasan.

Baca Juga…Para Pembuat Pinisi di Kota Rusa

Kampung Pinisi di Kota Rusa

Kedua pria Jumapolo itu hanya bagian kecil dari kisah perantau sukses. Yanti, 41, ibu empat anak asal Magelang yang kini tinggal di Distrik Sota Merauke menjadi contoh lain. Ikut program transmigrasi tahun 1983-an, dia bersama suami membangun kehidupan ekonomi. Kini Yanti telah memiliki dua warung makan di Sota serta berhektare sawah di di Distrik Munting.

Galangan kapal di Kampung Buti, Pantai Lampu Satu Merauke (Rini Y/JIBI/Solopos)

Galangan kapal di Kampung Buti, Pantai Lampu Satu Merauke (Rini Y/JIBI/Solopos)

“Belum setahun ini suami saya meninggal. Kini saya berjuang sendiri di Merauke membesarkan anak-anak. Merauke sudah menjadi kampung halaman saya, tak ada niat kembali.”

Sekitar 3 km dari pusat kota Merauke tepatnya Kampung Buti kawasan Pantai Lampu Satu Merauke, terdapat galangan kapal dan rumah-rumah yang didiami warga dari Tanah Beru Bulukumba, Makassar. Mereka merupakan pembuat perahu handal. Di daerah asal mereka, Tanah Beru dikenal sebagai pembuat Pinisi.

Arsyad, pria kelahiran tahun 1982 ini pemilik salah satu galangan kapal. Dalam sebulan dia bisa mendapatkan satu hingga dua pesanan kapal Jolloro-kapal berukuran sekitar 13 meter dengan nilai Rp60juta-Rp200 juta. Bagi para perantau itu tak ada kerja keras yang sia-sia.

Merauke kini didominasi warga pendatang. Tak heran jika sepanjang jalanan dijumpai pedagang kaki lima yang menjajakan soto lamongan, tempe penyet, pecel lele, coto Makassar dan lainnya. Data tahun 2014 mencatat Merauke didiami 240.826 orang.

Terbaru, pemerintah setempat menyebut hingga 2015, dari sekitar 260.000 penduduk, hanya 25% warga asli Merauke yakni suku Marind dan 75% merupakan pendatang. Mereka berasal dari Sabang, Batak, Jawa, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara. Merauke bak miniatur Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya