SOLOPOS.COM - Chen berusaha menggagalkan aksi bunuh diri di sebuah jembatan di Tiongkok (Dailymail)

Kisah inspiratif mengenai Chen Si, 48, yang setia berpatroli di Jembatan Sungai Nanjing Yangtze, Tiongkok setiap akhir pekan.

Harianjogja.com, TIONGKOK — Setiap akhir pekan, selama 13 tahun, Chen si bepergian menggunakan scooter elektroniknya dan menempuh jarak 20 Km dari rumahnya menuju tempat yang sering digunakan untuk bunuh diri. Rutinitas ini dilakukan saat hujan maupun matahari bersinar cerah.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dikutip dari Dailymail, Jumat (25/11/2016), pria berusia 48 tahun sekaligus pekerja di sebuah perusahaan logistik ini setiap akhir pekan bepergian menggunakan uang pribadi untuk mencegah upaya bunuh diri dari Jembatan Sungai Nanjing Yangtze. Tempat ini merupakan jembatan besar yang melintasi sungai terpanjang di Tiongkok.

“Dengan menyelamatkan orang yang putus asa, saya merasa speerti menyelamatkan masa lalu saya sendiri,” terang Chen yang mengaku pernah mengalami tekanan sebagai pekerja migran di kota metropolitan seperti Nanjing.

Jembatan Sungai Nanjing Yangtze merupakan salah satu jembatan terkenal di Tiongkok. Selesai dibangun tahun 1968, infrastruktur dengan dek ganda ini menjadi simbol kekuatan industri Komunis Tiongkok. Di sisi lain, tempat ini dipercaya sebagai lokasi bunuh diri yang paling sering digunakan. Jembatan ini terletak 60 meter dari Sungai Yangtze.

Menurut People’s Daily Online, data statistik menunjukkan lebih dari 2.000 orang bunuh diri dari jembatan ini pada tahun 1968-2006.

Sejak 2003, Chen yang tinggal di desa Suqian, menyelamatkan 321 nyawa. Banyak dari mereka merupakan migran yang tertekan dan merasa tak ada masa depan di kota baru tetapi mereka malu untuk pulang kampung.

Aksi penyelamatan Chen dilakukan dengan berbagai upaya. Dia berbicara, memeluk hingga menahan orang asing dengan tangannya sampai mereka berhenti memberontak.

“Saya pernah menjadi salah satu dari mereka,” kata Chen kepada MailOnline. “Saya dibantu seseorang dari desa yang baik hati saat mengalami masa berat menjadi penjualan sayuran di Nanjing.”

Laki-laki yang berbicara dengan bahasa mandarin dan logat berat ini menambahkan,”Ketika saya mendapati hidup saya lebih baik, saya ingin membantu orang lain menemukan harapan.”

Chen dahulu merupakan pemuda dari sebuah desa miskin dan pindah ke Nanjing pada tahun 1990. Kala itu, dia membawa 50 Kg beras untuk memastikan tidak akan kelaparan di kota asing.

Sebagai ibukota Jiangsu, Nanjing merupakan kota paling modern dan bersejarah di Tiongkok. Jumlah penduduk di kota ini lebih dari delapan juta. Bekas ibukota Tiongkok ini memiliki istana kuno yang telah runtuh dan gedung pencakar langit dengan ketinggian 450 meter. Kendati demikian, kota ini juga membuat migran tertekan.

“Terkadang, Anda menghadapi masalah berat saat hidup sendiri dan jauh dari rumah, saat itu terjadi, yang Anda butuhkan adalah dukungan dari yang lain,” papar Chen.

Selama lima tahun pertama hidup di Nanjing, Chen mengaku mengalami masa-masa berat. Bekerja sebagai kuli bangunan daripada penjual sayuran menyulitkan dia menyewa rumah yang layak serta sulit mendapatkan kekasih.

Sampai suatu saat, teman di desanya memberikan nasihat serta dukungan untuk Chen membuka toko kelontong. Upaya inilah yang menjadi tumpuan hidupnya kemudian. Dia menikah pada tahun 1997 dan memilki seorang putri.

Melihat banyaknya jumlah orang bunuh diri di beriya, Chen mendedikasikan hidupnya untuk mencegah upaya tersebut. Menurut dia, apa yang dilakukan saat ini, sama seperti yang dulu dilakukan temannya.

Ketika ditanya mengenai pemberitaan sebuah media yang menyatakan Chen pernah berusaha bunuh diri dari jembatan itu, dia mengatakan,”Saya tidak pernah berpikir menghabisi nyawa saya sendiri saat menjadi penjual sayuran.”

Chen berpartroli setiap Sabtu dan Minggu dari pukul 08.00 hingga 17.00 waktu setempat. Dua dibantu dua universitas lokal yang memiliki program studi psikolofi sehingga dapat memberikan konsultasi bagi yang memerlukan.

Chen menuturkan masih ingat hari pertamanya menjadi sukarelawan di jembatan itu.

“Saat itu 19 September 2003. Saya berada di jembatan, lalu saya berkata pada istri saya akan berkeliling untuk membantu orang yang membutuhkan,” papar dia.

Dia pun berada di jembatan selama seharian dan berusaha membantu satu orang yang hendak bunuh diri saat sore hari. Chen mengatakan laki-laki dengan nama keluarga Wang itu merasa kehilangan harapan di dalam hidupnya lantaran dituduh melakukan sesuatu yang tak dilakukan dan dipenjara selama dua tahun.

Chen pun membujuk Wang turun dari tangga, lalu membimbingnya turun dari jembatan. Kemudian dia membantunya menulis dukungan untuk membuktikan Wang tak bersalah.

“Ketika saya menyelamatkan dia, saya tidak memiliki pengalaman. Namun saya dapat berkata orang tersebut berusaha bunuh diri atau tidak hanya dari punggungnya,” terang Chen.

“Biasanya, kepala, bahu, pantat dan kakinya kaku karena mereka memiliki satu pikiran, yakni mati.”



Kebanyakan orang yang dia selamatkan mengalami lima masalah, mental, trauma emosional, utang, kekerasan rumah tangga atau penyakit kritis.”

Menurut dia, orang yang paling sulit ditangani adalah mereka yang mengalami kekerasan rumah tangga atau penyakit kritis. Sebab sulit bagi mereka mengingat masa yang lebih berat dari saat ini.

Tiap hari, Chen berusaha membawa kembali orang dari ambang kematian. Teladan Chen ini menggerakan orang dari seluruh dunia. Pada 2015, apa yang dilakukannya didokumentasikan. Film berjudul Angel of Nanjing yang disutradari Jordan Horowitz dan Frank Ferendo ini meraih penghargaan.

19 September lalu, Chen memperingati 13 tahun aksinya di jembatan. Melalui blog, A Bridge Journal, dia menuliskan pengalaman yang bermakna.

Dia sukses menghentikan 321 orang dari usaha bunuh diri, mendampingi 280 orang yang membutuhkan dan menghabiskan 12.650 jam untuk mencari mereka yang membutuhkan.

Upaya ini menghabiskan sekitar 748.750 yuan atau setara dengan Rp1,463 Miliar. Sebagian dari kebutuhan ditopang oleh yayasan aksi sosial.

Chen tidak hanya menyelamatkan orang, tetapi juga membantu kepercayaan diri mereka.

Dia menyewa sebuah kamar dengan dua ruang di Utara, Sungai Yangtze, sehingga mereka yang berhasil diselamatkan dapat tinggal di sana sementara waktu. Biaya sewa kamar ini mencapai 1.000 yuan atau Rp1,9 juta per bulan. Dua pertiga uang sewa dibiayai donatur dan sisanya ditutup Chen.

Tiap bulan, Chen berpendapatan 4.000 yuan atau Rp7,6 juta. Dia menghabiskan separuh uangnya untuk aksi sosial dan sisanya untuk sang istri.

“Saya tidak berkata istri saya senang dengan aksi sosial ini,” terangnya pada MailOnline. “Siapa sih yang mau suaminya menghabiskan uang sebanyak itu untuk orang asing?”

Kendati demikian, dia tetap ingin meneruskan aksi ini.

“Sebentar lagi saya berusia 50 tahun. Saya tidak dapat mengatakan akan selamanya melakukan hal ini, karena saya juga tidak ingin terlalu keras. Namun saya akan memberikan yang terbaik.”

Jembatan Sungai Nanjing Yangtze digunakan sebagai simbol komunis lantaran infrastruktur ini yang pertama dibangun dengan usaha sendiri di sungai tersebut.

Saat ini, fasilitas publik ini menggambarkan harapan dan iman. Sebab Chen mengajarkan mengenai kebaikan setiap hari dalam kehidupan kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya