SOLOPOS.COM - Warga sedang bersantai di dekat rumahnya (HARIAN JOGJA/BHEKTI SURYANI)

Warga sedang bersantai di dekat rumahnya (HARIAN JOGJA/BHEKTI SURYANI)

Tak jauh dari pusat perbelanjaan di Jl Solo, tepatnya di selatan jalan di dekat lampu merah Sagan, terdapat jalan menurun menuju perumahan kumuh para pengemis. Rumah dengan bangunan sangat seadanya ini dihuni belasan Kepala Keluarga (KK) kaum miskin.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Suara tangisan anak balita beradu dengan hingar bingar kendaraan lalu lalang saat Harian Jogja tiba di perumahan kumuh, akhir pekan lalu.

Dikelilingi dua anak lelaki seusia SD yang tengah mengisap rokok dan seorang ibu, si anak balita tengah dikerik karena masuk angin.  Ada pula waria yang mengaku bernama Nabila ikut nimbrung di dekat si anak balita.

Ekspedisi Mudik 2024

Nabila mengungkapkan, ada belasan anak kecil yang tinggal di perumahan kumuh berdinding dan beratap spanduk plastik berukuruan satu sampai dua meter persegi tersebut. Hanya saat siang hari, satu persatu anak-anak bertebaran ke berbagai keramaian kota mengamen dan mengemis.

“Ada sekitar 12 KK di sini, kalau sore atau malam banyak anak-anak yang sudah datang,” kata Nabila sembari menggaruk-garuk sekujur kakinya yang penuh bekas luka.

Namun banyak pula ibu-ibu dan orang jompo yang menghuni rumah yang tanahnya becek di sana-sini akibat hujan itu. Atun dan Welas di antaranya. Welas menceritakan, ia terpaksa pindah dari rumahnya di daerah Gondolayu, Jogja dan memilih menjadi pengemis karena suaminya berselingkuh. Warga Jogja ini terpaksa tinggal bersama pengemis-pengemis lainnya dan menggelandang di Kota Jogja. “Nasib saya sudah begini, suami saya selingkuh sama tetangga makanya saya ikut ke sini,” ungkapnya.

Menurut Welas, penghuni kampung kumuh ini beragam asalnya. Ada yang dari Jogja, Jawa timur, Jawa Tengah dan Sumatra seperti Medan dan Palembang. Tinggal di perumahan kumuh yang suatu saat dapat tergusur itu dianggap lebih baik, ketimbang menyewa indekos, kontrakan atau Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) yang menurutnya lebih mahal.

Selama ini pun kata dia, tak ada perhatian dari pemerintah untuk membuat kehidupan para kaum miskin kota ini lebih baik. Entah dengan menyediakan lapangan kerja maupun perumahan yang lebih layak. Padahal banyak di antara pengemis tersebut juga merupakan warga Jogja.

“Nggak ada perhatian dari pemerintah, makanya mending kami tinggal seperti ini. kalau indekos saja sebulan sudah berapa, mahal,” tuturnya.

Demikian pula Atun, perempuan renta asal Jawa Timur yang mengaku baru dua bulan tinggal di tempat itu. “Enggak ada perhatian sama sekali dari pemerintah, kami malah dirazia kalau mengemis. Saya dulu ke sini ikut teman,” akunya.

Dari pantauan Harian Jogja, kondisi belasan gubuk para pengemis tersebut memang sangat jauh dari memadai untuk ditinggali. Di sebelah barat gubuk berdempetan dengan tempat pembuangan sampah yang membumbung tinggi. Demikian pula sanitasi tak ada air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Terpisah Temu, pemilik warung di dekat gubuk tersebut mengatakan sudah lebih dari lima tahun gubuk-gubuk itu ditempati. “Dulu tanahnya milik orang Sagan sini tapi sudah dijual enggak tahu dijual ke siapa. Itu kalau orang yang punya tanah mau bangun sesuatu, mungkin baru mereka pindah,” tuturnya.(Wartawan Harian Jogja/Bhekti Suryani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya