SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO – Dokter Lie Agustinus Dharmawan merupakan pendiri rumah sakit apung gratis pertama di Indonesia. Dia mendirikan Rumah Sakit Apung dr. Lie Dharmawan karena tak sanggup melihat perjuangan pasiennya menyeberangi lautan.

Dikutip dari laman Doctor Share, Rabu (28/8/2019) ide mendirikan rumah sakit apung (RSA) itu muncul setelah dokter Lie menemukan kenyataan pahit yang dialami oleh pasiennya. Seorang ibu membawa anak perempuan berusia sembilan tahun nekat menyeberangi lautan selama tiga hari dua malam untuk mendapat pengobatan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Lie Dharmawan dan rekan-rekan dokternya yang tergabung dalam doctorShare (Yayasan Dokter Peduli) akhirnya mendirikan RSA dr. Lie Dharmawan yang diluncurkan pada 16 Maret 2009. Kini, RSA itu telah melayani ribuan pasien dari penjuru negeri.

Lie Dharmawan adalah putra keempat pasangan Lie Goan Hoey dan Pek Leng Kiau (Julita Diana). Dia sudah merasakan kejamnya kehidupan sejak kecil. Ia lahir di Padang, Sumatra Barat, 16 April 1946 bertepatan dengan masa kerusuhan antara Tentara Rakyat Indonesia dan Belanda. Dia dan ketujuh saudaranya harus bertahan hidup dengan keterbatasan ekonomi.

Ekspedisi Mudik 2024

Nahas, adik pertama Lie Dharmawan yang saat itu berusia satu tahun meninggal karena diare. Kehidupan keluarganya yang serba kekurangan membuat sang adik terlambat diobati. Kepergian sang adik lantas membangkitkan semangatnya untuk menjadi dokter.

Ibunda Lie Dharmawan sangat mendukung cita-cita putra keempatnya itu. Dia berpesan agar Lie Dharmawan menjadi dokter yang benar-benar mengabdikan diri untuk rakyat kecil.

“Lie, kalau kamu jadi dokter, jangan memeras orang kecil atau orang miskin. Mungkin mereka akan membayar kamu berapapun. Tetapi diam-diam mereka menangis di rumah karena tidak punya uang untuk membeli beras,” tutur Lie menirukan ucapan sang ibunda, dikutip dari laman Suara.

Perjuangan keluarga etnis Tionghoa tersebut semakin berat setelah sang ayah meninggal dunia pada 1956. Ancaman bahaya dan tekanan sosial yang tinggi serta krisis ekonomi semakin mencekik keadaan keluarga Lie Dharmawan. Namun, tekad Lie Dharmawan untuk menjadi dokter tak pernah padam.

Sayang, Lie Dharmawan ditolak fakultas kedokteran berbagai universitas di Jakarta. Dia dianggap tidak berbakat. Sempat diterima salah satu kampus di Jakarta, dia kembali menemukan kenyataan pahit. Kampusnya itu dibakar setelah beberapa hari berkuliah di sana. Tak patah semangat, dia banting setir menjadi buruh kasar dan mencari biaya untuk melanjutkan studi ke Jerman.

Musim semi Oktober 1967, Lie Dharmawan belajar bahasa Jerman di Fakultas Filosofi, Studien Kolleg, Jerman. Pada 1974, dia berhasil merampungkan pendidikan dokter umumnya dan memperoleh gelar Medical Doctor (M.D.). Kemudian pada 1978, gelar Ph.D. berhasil ia sandang dari Freie Universitat, Jerman. Tak hanya menghidupi dirinya sendiri, ia juga membiayai pendidikan adik-adiknya. Dia terus mengusahakan agar saudaranya tak putus sekolah.

Lie Dharmawan berhasil lulus dari Unikliniken Koeln, Jerman pada 1984 dengan empat spesialisasi. Kini, dia bergelar doktor spesialis bedah umum, toraks, jantung, dan pembuluh darah. Kelancaran bidang akademis Lie Dharmawan sejalan dengan keaktifannya dalam berorganisasi. Dia mendirikan komunitas Mahasiswa Kedokteran Indonesia di Berlin, Jerman pada 1971. Ia juga menjadi pengurus Perhimpunan Dokter Indonesia di Jerman pada 1981-1984.

Kehidupan yang terjamin dan karier cemerlang di Jerman tak lantas membuat Lie Dharmawan melupakan Tanah Airnya. Dia ingin menolong rakyat kecil di Indonesia dan melaksanakan amanat ibundanya.

Dokter Lie akhirnya memboyong sang istri, Tan Lie Tjhoen (Listijani Gunawan) dan anak-anaknya pulang ke Indonesia. Setibanya di Tanah Air, dokter Lie terpaksa mengganti nama lahirnya, Lie Tek Bie, menjadi Lie Agustinus Dharmawan karena selalu ditolak oleh rumah sakit tempatnya melamar kerja. Akhirnya dia berhasil diterima di Rumah Sakit (RS) Kariadi, Semarang, Jawa Tengah pada 1985 dan dilanjutkan ke RS Rajawali, Bandung, Jawa Barat (1986-1988).

Ayah dari Lie Mei Phing, Lie Ching, dan Lie Mei Sing ini berkarier di RS Husada, Jakarta pada 1988-1999. Kemudian, Lie Dharmawan bertugas di Cardiac Center Bodensee, Jerman pada 1999-2000. Namun, dia kembali ke Indonesia dan menjabat menjadi Kepala Ruang Bedah RS Husada sejak tahun 2000 hingga sekarang.

Sempat tergabung dalam gerakan reformasi tahun 1998, membuat nyawa Lie Dharmawan terancam dan melarikan diri ke Jerman pada 1 April 1999. Dia kembali ke Indonesia pada Mei 2000 dan bergabung dengan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI).

Kiprah kemanusiaan dokter Lie pun tak pernah padam. Dia terjun membantu korban tsunami Aceh dan Nias, bencana di Bengkulu, Padang, serta daerah terdampak bencana lainnya. Akhirnya, dia diangkat menjadi Ketua INTI Pusat Bidang Kesehatan (2005-sekarang) dan Wakil Ketua INTI DKI Jakarta (2000-sekarang).

Semua inovasi dan pencapaian Lie Dharmawan di dunia kesehatan membuat dirinya menjadi tokoh inspiratif. Pada 2014, dia menjadi ikon Majalah Gatra. Dokter yang kini menginjak usia 73 tahun itu menerima Kick Andy Heroes Awards, Anugerah Lencana Bakti Kesra Utama, dan menjadi nominator dalam Liputan 6 SCTV Awards di tahun yang sama. Tak hanya itu, pada 2015 ia masuk dalam nominasi Penghargaan Anugerah Seputar Indonesia. (Enggar Thia Cahyani/Solopos.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya