SOLOPOS.COM - Blasius Haryadi, 44, (belakang) bersama turis yang menggunakan jasa becaknya.(IST)

Blasius Haryadi, 44, (belakang) bersama turis yang menggunakan jasa becaknya.(IST)

Blasius Haryadi, 44, bukan penarik becak biasa. Popularitasnya terkerek karena menulis artikel di surat kabar, tampil di televisi, berjejaring di media sosial dan menulis buku. Dia putus kuliah dan kehilangan istri ketika gempa bumi mengoyak Bantul pada Mei 2006.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Blasius juga dikenal sebagai Harry Van Yogya. Dia supir becak yang biasa mangkal di depan Hotel Airlangga, Jalan Prawirotaman, salah satu jalan di selatan Kota Jogja yang riuh karena geliat jasa penginapan serta warung makan.
Pada 1988 Blasius lulus dari SMA de Britto di Jogja. Blasius remaja melanjutkan jenjang studi ke jurusan matematika Universitas Sanata Dharma. Hari-hari sebagai mahasiswa tidak disokong dana berlimpah. Blasius perlu cari uang tambahan untuk membiayai hidup.

“Saya narik becak kalau malam hari. Pagi sampai sore kan kuliah,” kata Blasius ketika berbincang dengan Harian Jogja di lingkungan Gereja Ganjuran, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul beberapa waktu lalu.

Ekspedisi Mudik 2024

“Dulu saya menginap di Wisma Sadhar [Sanata Dharma]. Kalau kerja bawa buku. Kebetulan saya enggak pernah malu, asal perlakukan saya enggak pernah merugikan orang lain,” kenang Blasius. Setelah lulus SD Blasius sempat jadi kuli bangunan, begitu pula saat lulus SMP.

“Secara garis besar, keadaan saya waktu itu dilatarbelakangi sebuah keadaan zona ketidaknyamanan, ketidamampuan secara ekonomi,” kenang Blasius. Waktu berlalu. Perjalanan kuliah Blasius memasuki semester ke-5. Registrasi wajib dilakukan. Tapi Blasius tak punya uang.

Akhirnya, sampai hari ini, Blasius tidak punya gelar kesarjanaan. Tak ada ujian skripsi apalagi pesta wisuda. Blasius tidak lulus universitas, tapi kemudian belajar di universitas kehidupan bersama alam raya. Blasius meneruskan pekerjaan narik becak dan mulai berpikir tentang banyaknya wisatawan asing.

“Saya mikir, dulu pernah dapat pelajaran bahasa Inggris kenapa saya hanya jadi tukang becak pada umumnya. Kenapa saya enggak memanfaatkan bahasa Inggris,” kata Blasius. Meski perlahan bisa berbahasa Inggris, Blasius tidak setiap hari dapat penumpang.

Kurun 1991-1995 Blasius mengaku hidupnya memasuki zona nyaman. Meski berprofesi tukang becak, Blasius mampu hidup layak dari rupiah atau dolar dari wisatawan yang memakai jasanya. Pada 1996, Blasius menikah dengan Anastasia Suyatni.

Selepas badai krisis ekonomi 1998, pariwisata Jogja ikut terhempas. Blasius tidak mudah lagi meraih lembar-lembar uang, terlebih situasi sosial di kalangan pelaku wisata ikut berubah. Blasius menjelajah kemungkinan inovasi: medium internet. Dia promosi becak lewat chatting.

Kurun waktu 1999-2006 dianggapnya sebagai suatu zona ketidaknyamanan lagi. Tidak jarang dalam seminggu Blasius tidak dapat pemasukan sama sekali. Untuk membeli keperluan sehari-hari, Blasius kadang sampai utang di warung kampung.

Blasius sempat menggadaikan sepeda gunung di pegadaian. Pada 26 Mei 2006 pagi, Blasius hendak mengurus perpanjangan pegadaian sepeda itu Jogja. Namun karena tutup, Blasius ke Prawirotaman yang saat itu sedang ramai wisatawan. Waktu panen bagi para penarik becak.

“Saya sampai tidur gelar tikar di bawah pohon mangga sama teman-teman,” kata Blasius yang hari itu tidak pulang ke rumah di Trirenggo, Bantul. Keesokan harinya, pukul 05.00 Blasius bangun, cuci muka dan bersiap pulang.

Tidak sampai satu jam kemudian, Blasius merasakan goncangan. Orang-orang berlarian. Sejumlah bangunan runtuh. Suasana kacau. Blasius sempat mengantar rekan menggunakan becak. Setelah itu Blasius pulang naik bus dan turun di penitipan sepeda. Blasius mengayuh sepeda ke rumah.

“Dari Prawirotaman ke Selatan jalan semakin parah, semakin parah dan semakin parah. Saya kepikiran anak,” katanya. Anak ketiga, Veronika Natalia Agnes Destriana, yang belum genap berumur setahun berada di rumah bersama ibunya.
“Saya lihat kampung saya terang benderang. Ternyata enggak ada bangunan, cuma ada pohon. Banyak orang yang bersimbah darah dan sedih. Anak saya selamat, tapi istri belum ditemukan,” kata Harry yang tiba pukul 08.00 dan melihat kampung yang hancur lebur.

Istrinya, Anastasia, dicari-cari di antara reruntuhan. Tiga jam pencarian, Anastasia tak jua ditemukan. Pukul 12.00 siang perempuan itu didapati tidak bernafas lagi. Badan istrinya digerak-gerakkan, nadi dipegang dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Air mata membasahi pipi Blasius saat itu.

“Istri masih di kamar tidur. Istri ada di dalam rongga antara lemari dan bongkahan tembok. Leher ke atas nggak tertimbun. Cuma jari kaki yang lecet. Diduga kehabisan nafas,” katanya.

“Saya mulai menyalahkan diri sendiri. Saya sampai mukulin kepala sendiri. Seandainya saya di rumah pasti kan bisa tertolong. Kenapa saya kerja [dan menginap kemarin]? Kenapa saya nggak di rumah saja?” kata Blasius yang harus menjadi orangtua-tunggal.

“Tapi waktu ketemu Agnes, saya sadar itu bukan salah saya. Kemudian saya sadar itu adalah kehendak-Nya,” kata Blasius. Menurutnya, orang yang menemukan mengatakan Agnes berada di atas reruntuhan, tidak lecet sedikitpun. Di bawah reruntuhan yang sama ada Anastasia.(Wartawan Harian Jogja/Yodie Hardiyan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya