SOLOPOS.COM - Budi Sarjono didampingi istrinya, Sudarti saat ditemui Harian Jogja belum lama ini. (JIBI/Harian Jogja/MG Noviarizal Fernandez)

Budi Sarjono didampingi istrinya, Sudarti saat ditemui Harian Jogja belum lama ini. (JIBI/Harian Jogja/MG Noviarizal Fernandez)

Rumah kayu itu terlihat kusam. Rasa iba segera membuncah begitu melihat rumah itu. Begitu masuk, di beberapa sisi rumah tersebut mulai terlihat rusak, tidak mendapatkan perawatan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Rumah kayu itu sudah berusia 27 tahun dan mulai rusak. Selain bocor saat hujan, penyangga atapnya juga mulai melorot.

Di rumah itulah tinggal, Budi Sarjono,73, yang harus hidup prihatin lantaran sudah 18 tahun ia tidak lagi bisa bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya karena mengalami kelumpuhan secara tiba-tiba. Meski demikian, dengan penuh kesetiaan, Sudarti,73, istrinya tetap mendampingi di saat-saat kritis tersebut.

Awalnya Budi yang merupakan warga RT 9 RW 2 Dusun Tapen, Desa Hargomulyo, Kokap, mengaku tidak mengalami gejala sakit sama sekali. Suatu pagi saat bangun tidur, kakinya tidak bisa untuk menapak, padahal sore sebelum tidur kondisinya masih sehat. “Sore sebelum tidur tidak apa-apa, masih bergurau juga,” kisah, Sudarti,73, belum lama ini.

Semula, berdasarkan pemeriksaan dokter, kelumpuhan Budi Sarjono dikarenakan ada syaraf yang terjepit. Tidak ingin menyerah, berbagai upaya keluarga agar Budi kembali sembuh sudah berkali-kali dilakukan baik memeriksakan ke dokter, ke puskesmas, rumah sakit, maupun pengobatan-pengobatan alternatif tapi semuanya menjadi sia-sia lantaran pria tersebut sudah tidak memiliki biaya untuk berobat.

Lantaran itulah, pihak keluarga hanya bisa pasrah. Sehari-hari, pria tua itu hanya berbaring di kamar yang sempit dalam rumah kayu tersebut. Walaupun bisa duduk, namun ayah tiga anak ini tetap tidak bisa produktif seperti sebelumnya.

Sebelum lumpuh, Budi merupakan seorang kepala keluarga yang pekerja keras. Sehari-hari dia bekerja sebagai tukang membajak sawah dengan peralatan manual yang ditarik kerbau, serta menjadi penderes nira kelapa. “Sekarang sama sekali tidak produktif, hanya menunggu uluran anaknya dan harus diladeni,” kata putrinya, Budi Suryati,42,

Dengan kondisi itu, anak perempuannya, Budi Suryati,42, harus bekerja keras untuk menopang kehidupan mereka. Bekerja menjadi penjual tape di pasar dengan hasil yang tidak menentu harus dilakoninya dengan ikhlas. Bahkan, setiap hari dia harus berjalan ke gunung-gunung mencari biji melinjo, dan empon-empon untuk dijual agar bisa menghidupi keluarganya.

“Ya harus kami jalani seperti ini, tidak perlu mengeluh. Harapannya ada bantuan untuk menyambung hidup, untuk makan dan lauk-pauk. Kalau rumah apa adanya saja,” lanjut dia.

Budi Sarjono, sempat mengirimkan surat yang dia tulis sendiri kepada Bupati Kulonprogo. Diakui, perhatian dari Pemkab sudah ada, karena tidak lama setelah itu pihak Dinsosnakertrans berkunjung dan berencana memberikan bantuan. Meskipun hingga kini bantuan tersebut belum juga terealisasi.“Sebenarnya saya tidak mau meminta bantuan, tapi karena terpaksa saya tidak bisa bekerja, tidak tahu harus bagaimana lagi,” pungkas Budi Sarjono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya