SOLOPOS.COM - Alquran. (Reuters)

Solopos.com, SOLO -- Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI melakukan penelitian terkait dinamika penerjemahan Al-Qur’an ke-17 bahasa daerah. Penelitian ini perlu dilakukan sebagai upaya melestarikan bahasa dan kebudayaan lokal.

“Dengan demikian, kearifan lokal yang memiliki nilai-nilai luhur dan ditulis dalam bahasa daerah akan mudah dihayati dan membekas dalam masyarakat setempat,” tulis Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dalam rilis kepada Solopos.com, Jumat (8/5/2020).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Secara terperinci, penerjemahan Al-Qur’an ke-17 bahasa daerah itu meliputi Bahasa Aceh, Batak Angkola, Bahasa Palembang, dan Minang. Selain itu, ada pula Jawa Banyumasan, Sunda, Madura, Dayak Kanayatn, dan Banjar. Masih ditambah Mongondow, Kaili, Makassar, Bugis, Toraja, Sasak, Bali, dan Melayu Ambon.

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI memfokuskan penelitian itu terhadap lima tema pokok bahasan. Kelima pokok bahasan itu yakni ayat-ayat populer, ayat-ayat teologis, ayat-ayat fikih, ayat-ayat gender, dan ayat-ayat sosial-politik.

Hasil Riset Tematik Dibikin Bunga Rampai Agar Terindeks Global

Ayat-ayat Populer

Dinamika penerjemahan Al-Qur’an dalam ayat-ayat populer ditemui pada Surah Al-Fatihah, Al-Kahfi ayat 79, dan Surah Al-Ma’mun. Surah Al-Fatihah diterjemahkan ke bahasa lokal seperti Aceh diartikan dengan “Maha Geungaseh” atau “leupah that Geungaseh.”

“Dua-duanya kami rasa sudah mewakili. Namun, pada akhirnya kami memilih menggunakan kata 'leupah that' dikarenakan lebih bernuansa Aceh. Akhirnya, terjemahan basmalah menjadi ‘Deungon nan Allah Nyang Leupah that Geumaseh, Leupah That Peunyayang,’” lanjut Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Tak hanya itu, ditemukan pula kata “as-Safinah” di dalam Surah Al-Kahfi ayat 79, diterjemahkan dengan kapal dan yang lain perahu.

Sementara, Surah Al-Ma’mun ayat pertama kata “ad-din” diterjemahkan sebagai hari pembalasan atau hari kiamat. Maka, tim terjemah memilih yang kedua lantaran lebih cocok menurut pandangan para mufassir.

Ini 8 Strategi Memajukan Pendidikan Keagamaan Di Wilayah 3T

Ayat-ayat Teologis

Dalam ayat-ayat teologis, dinamika penerjemahan Al-Qur’an ditemukan dalam Surah Al-An’am ayat 74-79, yakni kisah Nabi Ibrahim sedang menjadi Tuhannya. Ini tidak tepat karena bisa menciderai kemaksuman seorang Nabi.

Hal serupa juga ditemui dalam beberapa teks ayat Al-Qur’an yang berbicara secara sepintas bermakna organ tubuh Tuhan seperti yadullah dalam Surah Al-Maidah dan Surah Al-Fath secara zahir bermakna tangan Allah.

Ayat-ayat demikian dinyatakan oleh ulama sebagai ayat-ayat sifat khabariyah yakni keberadaannya hanya bisa diketahui melalui teks Al-Qur’an dan hadits.

“Pembahasan ayat-ayat tersebut menjadi diskusi hangat di kalangan ulama klasik dan ulama sekarang. Ulama salaf mengambil metode tafwidh yakni memulangkan hakikat maknanya kepada Allah SWT,” imbuh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Dalam penerjemahan ini, peneliti mengambil metode ta’wil. Misalnya kata yadullah dalam Surah Al-Fath bermakna kekuasaan Allah SWT. Metode ini sama dengan yang dilakukan oleh ulama-ulama di Al-Azhar Mesir dan juga para ulama di Aceh.

Rektor Makin Progresif, Ini Dampak Positif PMA 68 Tahun 2015 Bagi PTKN

Ayat-ayat Fikih

Berikutnya, dinamika penerjemahan Al-Qur’an dalam ayat-ayat fikih ditemui dalam kasus kata quru’ dalam Surah Al-Baqarah ayat 228. Ayat itu menjelaskan iddah perempuan yang dicerai suaminya dan masih dalam usia menstruasi adalah tiga quru’.

Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad berpendapat quru’ itu bermakna suci. Sedangkan, Imam Abu Hanifah berpendapat quru’ itu bermakna haid. Perbedaan ini memiliki dampak yang cukup signifikan dalam hukum Islam yakni masa iddah wanita.

“Dalam hal ini tim terjemah sepakat memilih pemahaman jumhur atau pemahaman mayoritas ulama yang memahami kata quru’ dengan suci,” terang Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Ayat-ayat Gender

Pembahasan terkait ayat-ayat gender ditemukan misalnya pada Surah An-Nur ayat 6 yakni kata zaujah atau istri. Dalam budaya Aceh asli belum terjadi bias gender yakni suatu kondisi yang memihak atau merugikan salah satu jenis kelamin.

Jalan Terjal Karier Guru Pendidikan Agama

Laki-laki dan wanita di Aceh saling bekerja sama dalam beberapa bidang seperti bercocok tanam sampai panen di ladang. Munculnya subordinat kaum hawa di Aceh dewasa ini disebabkan adanya pengaruh dari luar yang datang kemudian.

Ayat-ayat Sosial-Politik

Ayat ini bisa ditemukan dalam Surah Al-Anfal ayat 42. Nuansa sosial-politik begitu terasa karena berbicara tentang strategi perang. Dalam memahami ayat ini, peneliti berpedoman kepada asbabun nuzul untuk mengetahui latar belakang peristiwa turunnya ayat itu.

Ayat itu turun pada peristiwa perang Badar. Kaum Muslimin waktu itu berada di lembah yang dekat dengan Madinah. Sedangkan, orang kafir di lembah yang jauh dengan Madinah. Sementara, kafilah yang dipimpin oleh Abu Sufyan dekat dengan pantai kira-kira lima mil dari Badar.



Dalam penelitian dinamika penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa daerah itu memberikan sejumlah rekomendasi. Salah satunya dibutuhkan tafsir keagamaan yang moderat dalam kaitannya dengan isu toleransi. Tafsir serupa juga perlu untuk isu politik yang adiluhung dan tafsir bernegara dalam masyarakat multikultural.

“Berhadapan ayat-ayat metafor perlu penafsiran kontekstual melalui pertimbangan nilai-nilai adat atau tradisi (‘aidah) yang berkembang di suatu tempat. Lalu, terkait ayat-ayat teologis perlu penafsiran yang rahmatan lil’alamin,” terang Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Belajar Ilmu Keagamaan via Medsos? Kenapa Tidak?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya