SOLOPOS.COM - Penyintas TBC RO asal Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Solo, Diky Kurniawan, tiga tahun setelah dinyatakan sembuh. Foto diambil 21 November 2020. (Solopos/Mariyana Ricky PD)

Solopos.com, SOLO — Sudah tiga tahun, Diky Kurniawan sembuh dari Tuberkulosis Resistan Obat atau Multi Resistant Drugs (TB RO/MDR). Pria 47 tahun itu didiagnosis penyakit itu 12 tahun setelah terpapar TBC reguler pada medio 2001-2002.

Kala itu, ia tak melanjutkan pengobatan yang sedianya rampung enam bulan. Diky hanya mengonsumsi obat selama dua bulan yang membuat penyakitnya menjadi lebih parah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pengobatan TB RO butuh waktu 20-24 bulan. Jumlah obat yang diresepkan pun jauh lebih banyak dan membutuhkan obat injeksi. Tata laksana pengobatan lebih rumit, pendampingan keluarga tak boleh terlewat, hingga antisipasi efek obat.

Tinggalkan Motor, Laki-Laki Misterius Diduga Loncat ke Sungai Bengawan Solo dari Jembatan Jurug

“Saat dinyatakan TBC RO saya langsung masuk ICU di RSUD dr Moewardi. Berat badan saya tinggal 40 kilogram. Alhamdulillah keluarga mendukung mengingat pasien TBC RO itu harus dites macam-macam seperti HIV/AIDS, jantung, kemudian psikiater,” katanya kepada Solopos.com, Sabtu (21/11/2020).

Warga RT 006/RW 007 Kelurahan Sumber, Banjarsari, Solo, itu mengaku di RSUD dr Moewardi itulah ia berjumpa rekan sesama pasien TBC RO. Mereka dikelompokkan sesuai tanggal masuk RS, sehingga seolah satu angkatan pengobatan.

Ekspedisi Mudik 2024
Diky Kurniawan sebelum menjalani pengobatan untuk TBC RO sekitar 2012. (Istimewa)

Selama pengobatan, ia melihat rekan sesama pasien meregang nyawa. “Persentase TBC RO sembuh itu memang banyak. Tapi yang meninggal ada 60% dan 40% pengobatan gagal. Tapi, niat saya untuk sembuh tinggi. Meski efek obat sangat terasa. Bahkan teman saya ada yang tuli,” kisahnya.

Hujan Deras, Rumah dan Pertokoan Jl Wimbo Harsono Kartasura Sukoharjo Kebanjiran

Perkumpulan Semar

Bulan ke-13 pengobatan, Diky mulai dikenalkan dengan Perkumpulan Semar Jawa Tengah. Semar itu merupakan akronim dari Semangat Membara Berantas Tuberkulosis.

Lewat perkumpulan tersebut, ia bertemu pasien lain dan para penyintas TBC RO. Dari situ obrolan mengalir. Seluruh anggota perkumpulan saling berbagi pengalaman. Dukungan moral dan semangat menjadi obat mental.

Terlebih, ia bisa mendengar kisah sukses penyintas yang menjadi bara motivasi baru. Akhir 2016, Diky akhirnya dinyatakan sembuh. Seluruh perjuangan selama dua tahun itu terbayar tuntas. Sebagai wujud syukur, ia tergerak menjadi pendamping pengobatan pasien TBC RO.

Bengawan Solo Meluap, 12 Rumah Warga Kampung Putat Tergenang

“Saya ingin berbagi optimisme bahwa TBC RO itu bisa disembuhkan. Terutama untuk pasien di daerah tertinggal, banyak diskriminasi dan stigma. Pasien berobat pun susah apalagi yang kondisinya kurang mampu,” katanya.

Sejak sembuh itulah, Diky menjadi pendamping pasien TBC RO. Ia mendapatkan data dari programer TBC Puskesmas dan RS untuk kemudian ia datangi. Kendati begitu, pandemi Covid-19 rupanya sangat berdampak pada kerja sosialnya.

Pertemuan rutin yang semula digelar di RS batal. Pasien yang sudah memiliki TBC lebih rentan terpapar virus tersebut. Pengawasan minum obat pun dilakukan jarak jauh. Padahal, tatap muka lebih menguatkan mental pasien dibanding hanya berbincang lewat aplikasi perpesanan.

Saluran Irigasi Meluap, Air Banjiri Jalan Raya Matesih-Tawangmangu Karanganyar

Pendampingan Sempat Dihentikan

Akibatnya, jumlah pasien yang mendapat pendampingi dari Diky jauh berkurang. Dari yang semula 15 pada tahun lalu menjadi hanya tiga orang pada tahun ini.

Maret 2020 itu saat awal pandemi, pendampingan benar-benar dihentikan. Padahal sebelumnya, ia bisa berkunjung untuk mengecek pengobatan pasien. Pasien yang biasanya ke RS tiap hari jadi hanya sepekan sekali.

“Obat dikasih per lima hari dan tidak perlu minum di depan petugas. Kalau tidak diminum harus diulang. Sehingga kesembuhan ada di tangan pasien sendiri, keluarga, dan pendamping,” ucap Diky.

Pria Diduga Loncat Ke Bengawan Solo Tunjukkan Gelagat Mencurigakan Sebelum Menghilang

Ia juga menyebut saat awal Pandemi, banyak pasien takut melanjutkan pengobatan. Mereka tak mengambil obat ke RS lantaran takut tertular Covid-19. Tak hanya itu, kondisi ekonomi yang terbatas membuat mereka urung berangkat.

Biaya transportasi mahal dan melonjaknya harga masker ikut mendorong fakta itu. Komunitas pun lantas patungan membuat masker dan membagikannya. Beruntung, kebijakan itu berubah sehingga pasien bisa dilayani di puskesmas terdekat, meski tatap muka untuk berbagi pengalaman tetap ditiadakan.

“Pendampingan tidak mudah karena ada pasien yang saya dampingi meninggal dunia. Dia sampai tuli, tetap jualan karena single parent. Rasanya sesak sekali. Saya merasa gagal,” imbuhnya.

Diterjang Puting Beliung, Puluhan Rumah Warga Cawas Klaten Rusak

Meski demikian, Diky melanjutkan ada pula pasien usia 72 tahun yang sembuh. Memang tingkat kesembuhan TBC RO ini tinggi saat yang terkena berusia di bawah 40 tahun. Di atas 50 tahun sudah tipis. “Makanya yang saya dampingi usia 72 tahun itu sangat beruntung,” katanya.

Lebih Berat Dari Kemoterapi

Diky mengatakan efek samping pengobatan TBC RO itu lebih parah dari kemoterapi. Kemoterapi maksimal hanya menelan belasan obat, namun pasien TBC RO hingga puluhan, masih ditambah injeksi. Belum lagi tata laksana setelah sembuh.

Paru-paru mereka sudah rusak, sehingga risiko bepergian di masa pandemi menjadi lebih tinggi. Saat foto toraks pun paru-paru mereka akan tampak bercak putih hingga bisa menjadikannya suspek Covid-19.

Kali Ranjing Meluap, Banjir Rendam 4 Desa Di Polokarto Sukoharjo

Dari situ, Perkumpulan Semar Jawa Tengah berusaha menekan agar angka TBC MDR tidak tinggi dengan melatih kader ketuk pintu. Kader diminta intensif mendampingi pasien TBC reguler agar tidak meningkat ke TBC RO.

Mereka juga menyampaikan bahwa pasien TBC RO akan menularkan TBC RO, bukan TBC reguler. Bahkan, Diky sempat mendampingi satu keluarga yang saling menularkan TBC RO, meski belakangan bisa sembuh.

Hal yang bikin Diky sedih adalah banyak pasien TBC tidak berani membuka diri karena takut dengan stigma. Ada keinginan dari komunitas agar warga bisa menganggap TBC seperti demam berdarah.

Kasus Positif Tembus 2.153 Orang, Satgas Covid-19 Sukoharjo Minta RS Lakukan Ini

Sehingga saat ada warga yang terkena TBC, mereka akan mengingatkan untuk berobat dan saling mencegah. “Solo bagus di pelayanan, pasien TBC RO mendapatkan dana transportasi khusus untuk berobat, enggak setiap bulan dapat, tapi dapat. Makanya, saya lebih sering pendampingan di luar Solo,” tandasnya.



Penolakan

Díky mengaku membujuk penderita TBC RO tak selalu mudah. Dia pernah setahun penuh mendekati penderita TBC RO yang enggan berobat. Sebulan sekali, Diky mengunjungi rumahnya dan berbincang agar ia mau berobat.

Penolakan demi penolakan terus terjadi sampai kemudian kesehatan orang tersebut mulai menurun. Dari situ, Diky memiliki celah untuk masuk dan membujuk. Lama kelamaan, dia bersedia minum obat hingga sembuh. “Enggak hanya satu orang. Sulitnya membujuk ini saya alami berulang,” kata dia.

Pemilu Ketua RT Di Mojosongo Solo, Yang Terpilih Dapat Fasilitas Sepeda Motor Baru Swadaya Warga

Ia menyebut makin terdidik seseorang, makin sulit ia menempatkan diri sebagai pendamping. Orang tersebut lebih cuek dan sulit dibujuk. Jika secara langsung anjurannya tak diperhatikan, ia kemudian mendekati keluarga mereka.

Mayoritas keluarga penderita kooperatif, meski ada pula yang acuh. Biasanya lewat keluarga itulah, bujukannya mulai bisa diterima penderita.

“Saya memosisikan bukan sebagai pendamping atau penyintas, tetapi sebagai teman. Jika mereka bisa menganggap saya teman, masukan saya bisa diterima, mereka mau berobat dan sembuh, maka saya sudah ikut menekan persebaran TBC RO,” tutupnya.

 

Artikel ini untuk Fellowship AJI Jakarta dan Stop TB Partnership Indonesia (STPI)







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya