SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Hidup manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh keikutsertaan di lembaga pendidikan formal. Kemampuan dasar seperti membaca dan menulis tidak serta-merta harus dipelajari di sekolahan. Subono, 50, warga Kecamatan Playen, Gunung Kidul membuktikan itu.

Belajar adalah persoalan kemauan. Meski memiliki keterbatasan fisik sekalipun jika seorang pembelajar bertekad ingin berpendidikan maka banyak jalan yang bisa ditempuh. “Dulu saya ditolak masuk SD,” kata Bono, panggilan akrab Subono, ketika bercengkrama dengan Harian Jogja di rumahnya, Minggu (3/7).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bono adalah seorang pelukis. Pertumbuhan badannya tidak seperti manusia kebanyakan. Di usia 50 tahun, tinggi badannya tidak jauh berbeda dengan balita. Rambutnya berwarna keemasan. Lingkaran anting ditindik di telinga kiri.

Bono tinggal serumah dengan ibunya, Ngadikem dan seorang keponakan, Julian. Di dinding kamar Bono terpajang sejumlah lukisan karyanya, ada yang berusia hingga belasan tahun. Beberapa dibungkus koran. Agar tidak kotor, kata Bono. Seperempat ruang kamar terisi kerajinan kayu seperti topeng dan patung dari Bantul.

Lelaki kelahiran Gunung Kidul 22 Mei 1961 ini mengaku gemar melukis sejak umur tiga tahun. Kala itu ia menggambar di sembarang media seperti subak, bungkus kopi, teh, rokok, hingga daun pisang. “Kertas masih jarang waktu itu,” kata Bono. Ia menggambar pakai lidi di daun pisang.

Ayahnya, Karto Utomo, seorang tukang kayu. Bono berujar ia dulu kerap meminjam pensil milik sang ayah untuk menggambar. Apa yang dilihat dan dirasakan akan digambar oleh Bono. Namun, hingga umur 12 tahun Bono belum bersekolah.

Suatu ketika ia mendaftar sekolah. Tapi ditolak oleh kepala sekolah. Argumennya kala itu, seingat Bono, dikhawatirkan ia tidak memiliki teman. Bono malu, sedih dan terpukul. Di saat anak-anak seusianya bersekolah ia tidak bisa merasakan hal sama.

“Dulu saya trauma lihat pensil,” kata Bono. Padahal sebelumnya Bono menggemari pensil untuk menggambar. Trauma itu berangsur lenyap selama satu tahun. Setelah itu kondisinya berangsur-angsur pulih. “Traumanya hilang sendiri,” kenang Bono.

Bono mulai melukis lagi. Uniknya, teman-teman Bono yang mendapat tugas pekerjaan rumah dari guru sekolah untuk menggambar malah meminta tolong Bono. Ia memberikan uluran tangan. PR teman-temannya dikerjakan Bono.

“Dapat nilai delapan,” katanya. Tapi Bono tidak paham makna “nilai” kala itu. Maklum, ia tidak pernah mengecap lembaga pendidikan formal. Tak lama setelah itu ia tahu jika ponten delapan adalah nilai baik. Artinya, karya Bono bagus.

Di rumah Bono terus menggambar, melukis dan menulis. Ia menyimpan hasil karya di kolong-kolong kayu milik ayahnya. “Kayak sarang tikus aja,” kata Karto seperti ditirukan Bono. Seorang rekan Karto mencermati karya Bono, seorang bocah yang tidak bersekolah namun bisa menulis dan membaca aksara latin.

Rekan Karto itu memuji. Bono dianggap tidak perlu sekolah dan didukung untuk belajar mandiri. Kepiawaian Bono dalam menatah huruf mulai dilirik. Suatu ketika ada orang yang minta Bono mengisi lembar-lembar ijazah dengan goresan penanya.

Awalnya Bono menerima pekerjaan itu. Namun, setelah diberitahu jika salah sedikit saja mengisi lembar-lembar ijazah akan berakibat fatal, Bono mengembalikannya. “Daripada salah,” katanya. Bono tidak ingin ambil banyak resiko.

Dalam bekerja, ujar Bono, sangat perlu mengukur kemampuan diri sendiri. Berdasarkan penilaiannya, ia tidak termasuk tipe orang yang gemar mengambil resiko tinggi atau seperti diktum sehari-hari: high risk high return.

Bono mengatakan dalam hidup ini ia tidak ingin pintar, tapi ingin paham. Menurutnya, jika kita “paham” (bukan “pintar”) maka bisa menghadapi persoalan dengan lancar. “Saya lihat banyak orang yang gembar-gembor pinter, tapi punya banyak kesalahan,” kata Bono.

Ketika ditanya apa tujuan hidupnya, Bono menjawab hidup ini dijalaninya dengan waton nggelinding. “Saya bukannya tidak punya cita-cita, tapi saya bersyukur atas karunia Tuhan,” kata Bono pelan.

Dengan keterbatasan fisik dan minus pengalaman sekolah, menurutnya lukisan yang ia lukis pernah dipamerkan di Belanda, Jepang, China hingga Amerika Serikat. Tutur Bono, lukisan-lukisannya banyak dibeli orang.

“Tidak bisa dibilang jualan [lukisan], tapi kalau ada orang seneng ya dijual,” kata Bono. Menurut Bono, karya seni yang digarapnya tidak pernah dipikirkan untuk diuangkan. Karena ia melukis bukan untuk uang melainkan untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan.

Sebelum 1991, Bono tidak banyak mengkoleksi lukisannya sendiri. Lukisannya lebih banyak dimiliki orang. Setelah itu ia merasa perlu mengumpulkan lukisan dan tatahan huruf-huruf di kertas-kertas. Bagi Bono, membuat karya seni itu seperti memelihara hewan.

“Kalau kehilangan [maksudnya karya Bono dibeli orang] rasanya ya gitu,” kata Bono. Rasanya seperti kehilagan hewan yang dipeliharanya. Meski begitu, ujar Bono, lukisan karyanya pernah laku terjual hingga puluhan juta rupiah.

Apakah Bono merasa kaya? Iya, tapi bukan karena uang melainkan karena semua karunia Tuhan yang ia miliki. “Kalau hidup lebih tulus itu terasa lebih damai,” katanya. Menurut Bono, hidup itu yang penting optimis, bukan ambisius. “Ambisius itu menakutkan,” katanya.

Dari mana Bono belajar tentang hidup ini? Ia terkekeh. Menurutnya, hal itu dipelajari dari kehidupan. “Tidak ada gurunya,” katanya. Jika perlu, Bono akan merenung untuk memahami kehidupan.(Wartawan Harian Jogja/Yodie Hardiyan)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya