SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Keterbatasan ekonomi bukan menjadi batu sandung dalam mengejar kesuksesan. Keinginan dan dukungan dari orang terdekat menjadi modal utama, selain faktor keberuntungan.

Buah keteguhan hati Sri Harmini, 23,mahasiswi Program Studi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, membuatnya bisa keliling Swedia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Putri dari seorang tukang baso keliling di Mlandangan, Minomartani, Ngaglik, Sleman, tak menjadikannya patah arang dalam meraih cita-citanya hingga setinggi langit.

Kendati tak pernah diberitahu berapa penghasilan ayahnya, dia sangat mengerti pendapatan orang tuanya tak cukup banyak dan apalagi untuk membiayai seluruh kebutuhannya, terlebih setelah penjual baso menjamur.

“Setelah banyak penjual bakso lainnya dan warung-warung, pendapatan tak sama dengan sebelum-sebelumnya. Belakangan banyak yang lebih memilih jajan yang bisa sambil nongkrong,” katanya.

Keinginannya untuk terus menjadi yang terbaik tersulut setelah berhasil masuk di SMPN 1 Jogja. Dia bermimpi bisa melanjutkan ke SMAN 3 Jogja yang terkenal sebagai SMA favorit di Jogja.

“Orang tua saya selalu mengajarkan, yang dimiliki oleh siswa lain [yang kaya] bukan milik mereka, tapi orangtua mereka,” ujar Sri yang asli Kedungampel Kulon, Cawas, Klaten, saat dihubungi Harian Jogja, Jumat (18/11).

Mimpi Sri akhirnya jadi kenyataan. Pada 2004, ia tercatat menjadi pelajar SMAN 3. Kekhawatirannya jadi minder di tengah lingkungan anak-anak burjois, ternyata tak terbukti. “Teman-teman [SMAN 3 Jogja] tidak membedakan. Apalagi kultur di SMAN 3 mendukung untuk perbedaan,”ujarnya.

Tak berhenti disitu, Sri lalu berangan melanjutkan kuliah di UGM. Keinginannya tersebut sempat terancam kandas. Sebab ketika Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, ayahnya, Supar, mendadak sakit hernia dan harus segera di operasi.

“Bapak sakit karena keseringan berjualan keliling.Uang yang telah dikumpulkan untuk membiayai kuliah mau tak mau harus dipakai biaya operasi, totalnya sampai Rp5 juta,” ujarnya.

Kabar sakit ayahnya itu didengar sampai guru BP, yang kemudian menawarinya agar mengikuti program Penelesuran Bibit Unggul Tidak Mampu. “Saya lolos. Selama 8 semester saya kuliah gratis,”celetuk Minni, panggilan akrabnya.

Gratis bukan berarti kebutuhan lainnya terpenuhi. Oleh karena itu, dengan modal kepandaiannya, dia  menyambi memberi les pada anak SD dan SMP, bahkan SMA. “Per satu setengah jam, saya dibayar Rp25.000. Untuk pelajaran SMA cuma matematika dan kimia saja yang saya kuasai,” jelasnya.

Pekan depan, Minni bakal diwisuda kelulusan sarjana di Graha Sabha Pramana. Boleh jadi ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagi Minni dan kedua orangtuanya.

Selain lulus dengan nilai indek prestasi (IP) predikat cumlaude 3,7. Kebanggaan lain karena pada Januari-Juni 2011 silam, dia memperoleh kesempatan studi di Chalmers University of Technologi, Swedia.

Kesempatan itu diperolehnya setelah ia berhasil menembus tes proyek studi ke universitas tersebut. “Di sana saya bersama satu orang yang lolos lainnya menggarap proyek studi pemanfaatan limbah tandan kosong pohon sawit,” terangnya.

Perjalanan hidupnya ini menjadikannya kian mantap mengejar cita-citanya  menjadi dosen. “Itu cita-cita saya sejak awal,” pungkasnya.(Wartawan Harian Jogja/Andreas Tri Pamungkas)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya