SOLOPOS.COM - Agus Subakir, 40, guru yang juga sastrawan di rumahnya di Bulusari, Slogohimo, Wonogiri, Kamis (28/9/2022). (Solopos.com/Muhammad Diky Praditia).

Solopos.com, WONOGIRI — Laki-laki itu mengaku tengah sibuk mengoreksi cerpen-cerpen karya Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMA di Wonogiri saat Solopos.com mengunjungi rumahnya di Desa Bulusari, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri, Kamis (28/9/2022).

“Saya yakin guru-guru itu enggak suka membaca. Saya sedih bacanya, nyesek. Ironi, guru Bahasa Indonesia tapi tulisannya kaya ngene [seperti ini]. Lagi baca paragraf pertama saja, susunan kalimat dan tanda bacanya enggak bener, nangis saya ini,” kata Agus, 40.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Hampir semuanya, 90% lebih enggak ada yang bener. Sudah dipastikan mereka enggak suka membaca,” tambah Agus Tri Wibowo.

Sementara, jari telunjuk Agus yang lebih dikenal dengan Agus Subakir itu menunjuk tumpukan kertas yang berada di meja sebelahnya. Agus Subakir merupakan sastrawan asli putra Slogohimo. Teman-temannya menamai Agus sebagai sastrawan pilih tanding.

Sebutan itu muncul lantaran Agus lebih sering menciptakan karya sastra untuk diikutkan dalam sayembara penulisan sastra, khususnya novel. Sejauh itu, sedikitnya Agus telah menerbitkan lima buku, satu buku kumpulan puisi, satu buku kumpulan esai, dan tiga novel.

Baca juga: Mimbar Guru: Hibriditas dan Mimikri di Fasilitas Sekolah

Tiga novel yang sudah diterbitkan, yaitu Hujan dan Mereka yang Keliru (2018), Perempuan Kamar (2020), dan Lebih Mati dari Mati (2021) merupakan hasil dari keikutsertaannya dalam sayembara penulisan sastra.

Ketiganya berhasil menjadi salah salah satu karya terbaik dari ribuan karya yang ikut dalam sayembara pada tahun yang berbeda.

Dua buku lain, yaitu kumpulan puisi Agitasi Menjelang Diam (2005) yang ia tulis bersama temannya yang juga sastrawan, Gunawan Tri Atmodjo  dan kumpulan esai pendek Seribu Jalan Sejatinya Satu (2014) yang ia kumpulkan dari cuitannya di Facebook.

Dua buku itu ia terbitkan secara mandiri dan ia bagikan secara gratis  kepada orang lain.

“Saya menulis [sastra] itu ya enggak rutin. Kalau punya ide gitu baru saya menulis. Saya juga jarang banget mengirim karya sastra ke  media-media mainstream. Bagaimana ya, kadang saya itu males, sudah bikin cerpen misalnya, tapi enggak dimuat. Pun saya nggak mau ngikutin pasar,” ujarnya sembari berkelakar.

Baca juga: PENDIDIKAN BOYOLALI : Kompetensi Guru Bahasa Disesuaikan dengan Kurikulum 2013

Kendati begitu, setiap Agus menulis sudah pasti ia rencanakan secara masak. Meski dalam proses penulisannya, tidak jarang harus berbenturan dengan  hal-hal lain yang sudah menjadi kewajiban sehari-hari. Atas kondisi itu, ia memilih berdamai dan tak buru-buru untuk menyelesaikannya.

Terlebih, bagi Agus buku yang ia ditulis tidak sekadar dianggap buku, melainkan ia anggap sebagai anak. Anak ideologisnya. Novel-novelnya lahir dari ide yang semula sederhana.

Namun dengan kepiawaiannya dalam mengeksplorasi cerita, karyanya menjadi lebih kompleks dan hidup. Novel yang terbit kali terakhir misalnya, Lebih Mati dari Mati. Ide novel itu muncul bermula dari pengalaman masa kecil Agus yang hidup di sekitar pasar.

Kemudian ia kembangkan sehingga membentuk cerita yang menarik dan utuh. ia mengerjakan novel itu dalam waktu tiga bulan. Ada satu garis beras yang selalu ia tampilkan dalam setiap novelnya, yaitu kehidupan desa di Jawa.

Agus menuliskan latar tempat cerita hampir selalu di desa. Tak hanya menulis novel, Agus juga aktif menulis naskah-naskah drama untuk kelompok teater yang ia dirikan sejak 2009 silam. Ia menamakan kelompok teaternya sebagai Kelompok Janggleng.

Baca juga: SMA/SMK di Wonogiri Siapkan Skenario Pelaksanaan Ujian Sekolah

Komunitas seni peran itu kini sudah berumur 13 tahun. Komunitas Janggleng menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dalam dialognya. Ada alasan khusus  mengapa Kelompok Janggleng berbahasa Jawa dalam pentasnya.

Tidak lain karena pementasan  Kelompok Janggleng sajikan lebih relevan dan dekat  dengan penonton yang merupakan masyarakat desa di Wonogiri. Lakon-lakon yang dipentaskan pun bernafaskan budaya Jawa dan menangkat cerita-cerita rakyat lokal.

Agus tak ingin seni yang ia ciptakan justru jauh dari kehidupan masyarakat. Baginya, seni harus memiliki etos sosial. Tidak hanya mementingkan kepuasan pribadi, tapi juga memikirkan kepentingan masyarakat.

“Saya ini kan basic-nya kan sastra ya. Tapi kalau sastra [buku] itu segmennya sangat sempit dan eksklusif, hanya orang-orang itu saja. Sementara kalau melalui Komunitas Janggleng, bisa menyentuh ke masyarakat bawah di desa-desa. Gayeng,” ucap Agus.

Bisa dikatakan, Kelompok Janggleng menjadi sarana untuk Agus menyebarkan ide-idenya kepada masyarakat yang tidak dapat dijangkau dengan karya sastra seperti novel atau buku. Selain itu, Kelompok Janggleng berupaya menghidupkan desa dengan mengangkat local wisdom dan local genius di desa.

Baca juga: Kepala SMAN 1 Purwantoro Jabat Kepala Disdikbud Jateng, Ini Sosoknya



“Saya akan tetap mempertahankan komunitas ini. Bagi saya ini sebagai laboratorium untuk belajar bersama,” kata Agus.

“Anggotanya memang sering berubah-ubah karena ada kesibukan masing-masing. Tapi yang pokok ada empat orang,” ungkap pria yang pernah mengajar sebagai Guru Bahasa Indonesia tingkat SMA di Wonogiri ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya